Part 6 ~ Ayah ....

Tidak menduga kalau kejadiannya seperti itu, bahkan masih jelas apa yang Ibu ceritakan tentang Ayahku di masa lalu. Kisah tragis yang baru kali ini aku dengar. Aku yatim sejak lahir, tapi tidak tahu penyebab Ayah meninggal.

Ibu akhirnya bercerita karena rencanaku ke luar kota masalah pekerjaan. Rasanya kepalanya berdenyut memikirkan masalah ini ingin marah, tapi entah marah ke siapa. Apa harus protes pada Tuhan? Semoga saja tidak ada dendam di hatiku.

Selembar foto Ayah dan Ibu di masa lalu, saat aku masih dalam kandungan. Di balik foto itu tertulis, “Aku tunggu di Kalimaya.”

Mengerikan, satu kata itu yang terlintas ketika mendengar cerita Ibu. Saat Ayah pindah tugas ke suatu daerah, tapi Ibu tidak bisa mendampingi karena sedang hamil besar dan mereka sepakat kalau Ibu akan menyusul setelah aku lahir.

“Nyatanya, ibu mendapat kabar menyedihkan. Yang mendengarnya saja membuat ibu emosi dan merinding.”

Aku masih menunggu penjelasan dari wanita yang sudah melahirkanku.

“Ayahmu meninggal dibunuh.”

Dadaku rasanya sesak, meski tidak mengenal dengan jelas hanya lewat foto. Mendapati kenyataan seperti itu, tentu saja membuatku ingin marah. Salah apa sampai Ayah harus pergi dengan cara seperti itu. Kelanjutan cerita Ibu lebih membuatku tidak bisa berkata-kata, hanya bisa meneteskan air mata.

Pengeroyokan dan tuduhan tukang teluh dan tukang santet. Padahal Ayah pindah ke sana, sebagai mantri atau petugas kesehatan.

“Ibu tidak melihat langsung, tapi mendengarnya saja membuat darah ibu bergejolak. Bahkan kamu lahir prematur karena ibu sempat terguncang mendapati kematian Ayahmu yang sangat tragis. Bukan hanya Ayahmu, kedua orangtuanya pun jadi sasaran amukan warga.”

“Apa tidak bisa diungkap dalang atau ….”

“Tidak terbukti, para pelaku sepertinya sepakat untuk tutup mulut. Termasuk juga warga masyarakat.”

Aku hanya menunduk sambil menautkan jemari. Entah harus berkomentar apa, rasanya lidahku kelu.

“Vita, ibu sebenarnya tidak ingin menceritakan hal ini.” Aku menatap Ibu yang duduk di sampingku. “Waktu ibu tahu kamu akan keluar kota, ke daerah yang tidak jauh dari tempat Ayahmu dulu bertugas. Ibu putuskan untuk menceritakan ini. Bukan untuk membuatmu mendendam atau marah apalagi kecewa. Melainkan hati-hati. Kita tidak tahu di sana akan seperti apa dan jangan cari tahu atau mengungkap lagi kejadian itu. Ibu tidak ingin kehilangan kamu.” Penuturan ibu disertai air mata saat mengusap wajahku.

“Kamu adalah harta paling berharga yang ditinggalkan Ayah, pria yang ibu cintai. Meskipun ibu sudah menikah lagi, dia masih ada tempat khusus di hati Ibu.”

Padahal aku masih harus menyiapkan perlengkapan untuk besok, tapi jiwa dan raga tidak sanggup. Biarlah besok pagi saja, saat ini aku perlu untuk … tidur.  Cerita ibu tentang kisah Ayah, membuat lupa kalau aku pun ingin menceritakan kejadian mistis yang aku alami. Mungkin lain kali saja.

***

“Masalahku … kamu.”

“Hahh.” Aku beranjak duduk dan terkejut. Ternyata bermimpi lagi. Pria yang semalam bersamaku di dalam lift, hadir di mimpi dengan kalimat yang sama.

Jam dinding menunjukan belum waktu subuh, mengingat belum mempersiapkan apapun. Akhirnya aku beranjak dan mengambil koper. Mengisi dengan berbagai perlengkapan, untuk beberapa hari. Termasuk laptop. Sedangkan dompet, ponsel serta kabel charge dan perlengkapan kecil lainnya masuk ke dalam ransel.

“Oke, sudah siap.”

Tepat pukul enam, aku sudah turun untuk sarapan. Sikap Ibu pagi ini berbeda, entah karena hal semalam atau karena aku akan pergi.

“Bu ….”

“Vit, perasaan ibu kok nggak enak ya,” sahut Ibu seakan tahu pertanyaanku. “Kamu nggak usah berangkat aja, ibu khawatir.”

“Ibu kok jadi parnoan, biasanya nggak pernah khawatir. Bahkan pernah hampir satu bulan kita nggak ketemu, biasa aja.”

“Bukan gitu, sumpah ini perasaan ibu nggak enak.”

“Mungkin Bapak nungguin Ibu, sama Abi juga. Udah telpon belum?”

“Iya ya, ibu telpon mereka dulu.”

Akhirnya setelah drama tidak rela ditinggal pergi, ibu tetap merelakan aku berangkat. hampir pukul delapan saat aku tiba di bandara. Sudah ada Evan dan Narsih di sana, termasuk juga Dewa. Hah, kenapa juga penampilanya harus memukau.

“Hampir telat kamu.”

“Biasalah, ada drama dari nyonya besar,” ujarku pada Narsih.

Hanya satu jam perjalanan menggunakan pesawat, setelah itu berkendara dengan mobil kurang lebih empat jam. Konyolnya, Narsih menyeret Evan untuk duduk di kabin belakang, meninggalkan aku dan Dewa yang mau tidak mau duduk di kabin tengah.

Empat jam, perjalanan yang cukup panjang. Bahkan aku sempat tertidur dan yang mengejutkan, lebih mengejutkan dari ulah Opik yang mengagetkanku. Bahu Dewa sempat menjadi sandaran kepalaku saat tidur.

“Ini sudah dekat, Pak,” ujar supir.

Kami berhenti di sebuah rumah, ternyata akan menjadi tempat tinggal kami selama beberapa hari di sana. juga ada mobil yang disewa untuk kebutuhan operasional selama di tempat itu.

“Ingat ya, ini kampung orang. Kita harus ikuti adat dan budaya di sini,” seru Dewa sebelum aku dan Narsih menarik koper dan masuk ke dalam rumah.

“Setengah jam lagi, kita ke lokasi,” ujar Dewa.

Aku mengeluarkan laptop dari dalam koper dan memindahkan ke dalam ransel untuk dibawa ke lokasi. Ternyata lokasi yang akan kami survei, masih agak jauh. Bahkan setengah jam berkendara.

“Coba kamu cek lagi, Vit,” titah Dewa saat mereka sudah tiba di lokasi pembangunan, tidak jauh dari pantai. Tentu saja karena ini proyek resort dan tempat wisata. Tim 1 akan fokus pada tata letak lingkungan, pembuatan taman juga arena bermain termasuk kolam renang.

Berada di sebuah ruangan besar, di mana ada tim lain juga yang sedang bekerja seperti kami. Aku fokus pada layar laptop, entah bagaimana kejadiannya karena Dewa terkena sayatan cutter.

“Pak, ini darahnya banyak banget,” ujarku setelah menahan dengan tisu dan sapu tangan. “Harus dijahit kali, kayaknya ke dokter aja pak.”

Aku yang mengendarai mobil, Pak Dewa mengarahkan jalan. Kami menuju pusat kesehatan masyarakat, jarang sekali ada layanan praktek dokter di daerah ini.

Benar saja, jemari Dewa akhirnya mendapatkan jahitan. Aku sedang menunggu obat dan membayar biaya tindakan, saat pandanganku menatap sebuah pigura.

Banyak figura, foto kegiatan di dinding tersebut. kegiatan dari waktu-waktu sebelumnya, tapi yang membuatku terkejut menyadari ada sosok yang aku kenal dari salah satu pigura itu. Foto, Ayah.

 

 

Terpopuler

Comments

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝒘𝒂𝒉 𝒎𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒖 𝒂𝒋𝒂 𝒏𝒊𝒉 👍👍👏👏

2024-04-25

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

makin penasaran nih vita

2024-04-30

0

A B U

A B U

next.

2024-03-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!