Tania duduk di pinggir jendela kamarnya, memandang langit senja berwarna jingga yang menguasai angkasa sore ini.
Tania memeluk perutnya yang semakin membesar. Pikirannya terus menerus dipenuhi kegundahan hati, mengenai nasib pernikahannya dengan Bima, pujaan hatinya yang belum terwujud hingga saat ini.
Ia tak peduli siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas bayi yang dikandungnya, yang terpenting bagi Tania adalah Bima yang akan menjadi suaminya.
Cita-cita Tania dari awal mula hanya Bima yang akan menjadi pelabuhan terakhir hatinya.Tetapi sayangnya, Bima tidak memiliki rasa yang sama. Bahkan cenderung selalu menghindar darinya.
Tania memandang kosong ke langit dan bergumam,"Aku tak peduli apa yang orang katakan tentang ku. Aku hanya ingin Bima menjadi ayah dari anak ini, bukan orang yang tidak kukenal." ego licik Tania berbicara.
Setiap hari, Tania menekan orang tuanya untuk segera menyelenggarakan pernikahannya dengan Bima. Tetapi bagaimana mungkin, sedangkan kedua orang tua Bima pun tidak mengetahui kemana anaknya itu pergi.
Bima hanya pamit hendak mencari orang yang seharusnya bertanggung jawab pada Tania dan itu bukan dirinya.
Disisi lain, Tania tidak sabar ingin segera membina rumah tangga dengan Bima sebelum perutnya semakin membuncit. Namun, Bima belum siap untuk menerima permintaan ayah Tania.
Seandainya saja tidak ada hutang budi diantara keluarganya dengan keluarga Tania, sejak awal ayahnya menyampaikan tentang pernikahan paksa ini ia pasti dengan lantang langsung menolaknya.
Bima, dengan segala kekuatan dan kuasanya, memutuskan untuk mencari tahu siapa lelaki yang menghamili Tania. Ia merasa bahwa lelaki itu lah yang seharusnya bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Tania, bukan dirinya.
"Aku harus mencari tahu kebenarannya. Tidak bisa aku menikahi Tania begitu saja, karena bukan aku yang seharusnya bertanggung jawab. Akan aku cari siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab padanya." batin Bima.
Dalam upayanya mencari kebenaran, Bima mendatangi berbagai tempat dan bertemu dengan orang-orang yang mungkin memiliki informasi tentang laki-laki terakhir yang bersama Tania, di klub malam yang didatanginya malam itu.
Sementara itu, Tania kembali menekan kedua orang tuanya, ia merasa semakin gelisah dan tidak sabar menanti jawaban dari Bima. Ia takut Bima akan lari dan tidak akan menikahinya.
"Mengapa Bima tidak mengerti perasaanku? Aku tak peduli siapa yang harus bertanggung jawab atas anak ini. Yang kuinginkan hanyalah hidup bersamanya." tekad Tania.
Tanpa sepengetahuan siapapun, Bima akhirnya menemukan petunjuk yang mengarah pada lelaki yang menghamili Tania.
Tania semakin gelisah dan frustasi dengan penundaan pernikahan mereka.
"Aku tidak bisa menunggu selamanya! Aku ingin bersamanya sekarang juga secepatnya!" gumam Tania greget.
"Bimaaa aku tidak peduli yang lainnya aku mau kamu segera menikahi aku!!" teriak Tania histeris.
Mendengar teriakan Tania di dalam kamarnya.Ibu dan ayahnya bergegas menuju ke kamar Tania.
"Pa, Tania pa." ibu Tania khawatir dengan kondisi anaknya.
"Tania! Tania, ini papa. Buka pintunya nak." bujuk sang ayah yang sama khawatirnya dengan istrinya.
Ayah Tania panik dan mencoba membuka paksa pintu kamar Tania.
Klik.
Ternyata pintu kamar Tania tidak dikunci.
Tania berdiri di depan jendela kamarnya, wajahnya penuh kemarahan.
Pak Herman mencoba mendekati Tania untuk menenangkan perasaan Tania.
" Pa, aku tidak bisa terus-terusan menunggu seperti ini! Aku mencintai Bima, dan aku tidak akan menyerah! Apapun akan kulakukan agar aku bisa menikah dengannya." ujar Tania mengungkapkan isi hatinya, yang tidak sabar lagi menunggu terwujudnya impiannya untuk menikah dengan Bima Airlangga.
Ayah Tania berusaha memberi pengertian kepada anak semata wayangnya itu. "Tania, kamu masih muda.Papa hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Berdoalah agar Bima bisa segera datang dan menikahi mu "
"Pa, tekan terus keluarga Bima. Agar Bima segera menikahi aku. Bima adalah pria yang sempurna bagiku! Mengapa tidak seorangpun bisa memahami itu?" Tania semakin emosi.
"Tania, Bima bukanlah pilihan satu-satunya yang bisa menikahi mu. Ada begitu banyak kandidat yang mau menikah denganmu seadanya Bima menolak permintaanmu" tangan sang ayah membelai lembut rambut putrinya tersebut.
"Hahh, maksud papa? Aku tidak peduli dengan itu semua. Aku tidak butuh yang lain. Aku hanya mau mencintai Bima, dan itu sudah cukup bagiku.!" ucap Tania berapi-api.
"Pa, aku tidak bisa membodohi perasaanku. Aku ingin bersama Bima, dan itu adalah keputusanku!"lanjut Tania penuh semangat.
Ayah Tania mencoba menenangkan putrinya, namun Tania tetap keras kepala.
..............
Di tempat yang berbeda,
Maura duduk di meja kerjanya, matanya memandang layar komputernya dengan tatapan bingung. Selama dua minggu terakhir, Bima, CEO perusahaan tempatnya bekerja, tidak muncul di kantor. Rumor dan spekulasi tentang keberadaan Bima menyebar seperti api di antara rekan-rekannya. Maura yang selalu memandang Bima sebagai sahabat dan panutan merasa semakin bingung dengan ketidakhadiran mendadak sang CEO.
Pada suatu pagi, Maura memutuskan untuk mengatasi kebingungannya. Dia merasa perlu mengetahui kebenaran di balik absennya Bima. Dengan langkah mantap, Maura mendekati ruangan ayah Bima, Pak Sigit, yang sejak Bima tidak hadir ia menggantikan posisi Bima sementara di perusahaan tersebut.
"Selamat pagi, Pak Sigit. Saya harap tidak mengganggu," sapa Maura dengan penuh hormat.
Pak Sigit tersenyum ramah, "Hai Maura, ayo masuk. Ada yang bisa saya bantu?"
Maura menggeleng dan mulai menanyakan hal yang mengganjal pikirannya, "Maaf pak kalau ini terdengar agak tidak sopan, tapi saya sangat bingung dengan absennya pak Bima di kantor. Ada banyak rumor yang beredar tentang absennya beliau, tapi saya rasa lebih baik bertanya langsung kepada Anda. Apa yang terjadi sebenarnya dengan pak Bima, Pak?"
Pak Sigit menatap Maura dengan serius, seakan mempertimbangkan seberapa banyak informasi yang seharusnya dia berikan. Akhirnya, dia menghela nafas dan mulai menceritakan.
"Sebenarnya Maura, Bima tidak hadir karena dalam waktu dekat ini dia akan menikah. Kebetulan, dia sudah lama menjalin hubungan dengan seseorang, dan mereka memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan."
Maura terdiam sejenak, tak menyangka jawaban itu akan begitu membuatnya terkejut. "Menikah? Pak Bima akan menikah--" bagaikan disambar petir, tubuh Maura merasa lemas mendengar alasan di balik absen nya Bima di kantor.
Pak Sigit tersenyum lembut, "Bima memang cenderung menjaga privasinya. Dia mungkin merasa lebih nyaman mengumumkan setelah semuanya benar-benar pasti. Tapi dia menghargai kerja keras kalian di sini."
Maura merasakan kepedihan dan kekecewaan dalam hatinya. Meski seharusnya merasa bahagia untuk Bima, namun rasanya seperti kehilangan sosok yang sangat penting dalam karir dan kehidupannya.
"Terima kasih, Pak Sigit, atas penjelasannya. Saya hanya tidak menyangka hal ini. Saya titip ucapan selamat kepada pak Bima," kata Maura, berusaha menahan rasa sesak di dadanya.
Pak Sigit meletakkan tangan di pundak Maura dengan penuh pengertian, "Tentu, Maura. Saya yakin Bima akan senang mendengarnya. Ini adalah langkah penting dalam hidupnya, dan saya yakin dia akan kembali dengan semangat baru setelah menyelesaikan urusan pribadinya."
Maura mengangguk, mencoba menampilkan senyuman di wajahnya meskipun hatinya masih terasa berat. Dia meninggalkan ruangan Pak Sigit dengan perasaan campur aduk.
..............
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments