Monica dan Retha tiba di depan rumah Prilly dengan wajah tegang. Mereka tahu bahwa saat ini situasi di rumah Maura semakin panas dan mengawatirkan bagi Maura dan Angga. Dengan langkah tergesa-gesa, mereka mengetuk pintu rumah Prilly.
Prilly yang tak mengetahui kabar terbaru itu membuka pintu dengan senyum ramahnya.
Tetapi melihat wajah-wajah tegang kedua sahabatnya itu membuat Prilly curiga ada sesuatu yang tidak beres yang tidak ia ketahui.
"Ada apa ini, kalian berdua tiba-tiba datang? Tumben, biasa juga kita teleponan dulu kalau mau ketemuan? " tanya Prilly penasaran.
Monica dan Retha menuju ruang tamu, lalu duduk serius. Mereka bercerita tentang keributan di kantor Maura, di mana Reno menuduh istrinya berselingkuh dengan Bima.
Prilly terkejut mendengar cerita itu. "Benarkah? Aku belum tahu apa-apa tentang berita itu."
Retha mengangguk serius. "Kami pikir kita harus segera ke rumah Maura. Reno bisa saja melakukan sesuatu yang lebih berbahaya."
Prilly yang paham urgensi situasi itu segera mengambil ponselnya untuk menghubungi sekretaris pribadi Bima, teman lama Prilly.
Setelah beberapa saat berbicara, Prilly menutup telepon dengan raut wajah yang serius.
"Sekretaris Bima mengkonfirmasi bahwa Bima dan Maura hanya berdiskusi proyek bisnis, tidak ada yang mencurigakan. Ini mungkin salah paham besar," ucap Prilly.
" Yang aku dengar sih, Bos nya Maura hanya ingin mengapresiasi kerja keras Maura, dengan mengajaknya makan siang bersama.Karena itulah mereka terlihat berduaan oleh Reno." jelas Prilly.
Monica dan Retha melihat satu sama lain dengan ekspresi lega. Namun, kekhawatiran terhadap kemungkinan kekerasan rumah tangga masih membayangi pikiran mereka.
"Kita harus pergi ke rumah Maura sekarang juga. Tak bisa dibiarkan mereka berdua dalam keadaan panas seperti ini," kata Monica penuh tekad.
Prilly segera bersiap, mengambil kunci mobilnya. Bersama-sama, mereka meluncur ke rumah Maura dengan hati yang berdebar-debar. Di dalam mobil, suasana hening menggantikan percakapan. Ketiga sahabat itu merenung dalam kegelisahan dan kekhawatiran akan nasib Maura.
Sampai di depan rumah Maura, mobil Prilly berhenti dan mereka mencoba mencermati keadaan dan situasi rumah Maura.
Rumah Maura terlihat sepi. hening dan tampak tidak ada orang di dalamnya.
Dengan hati yang berdebar, Monica, Retha, dan Prilly melangkah ke dalam rumah Maura. Di dalam, suasana tegang menyelimuti. Mereka bertiga terkejut saat menemukan Maura yang tampak lemas di ruang tamu.
"Maura,!!" teriak ketiga sahabat Maura serempak.
"Maura apa yang terjadi? Apa yang dilakukan Reno padamu? bagaimana keadaanmu?" kalimat demi kalimat pertanyaan khawatir meluncur begitu saja.
Maura tersenyum lemah. "Aku tidak apa-apa, teman-teman. Semua ini hanya kesalahpahaman saja." ucap Maura masih berusaha tersenyum walaupun samar.
"Cukup Maura! Cukup! Jangan selalu kamu bela si Reno itu.Kalaupun ada kesalahpahaman diantara kalian bukan begini cara penyelesaiannya.Dimana dia sekarang?" seru geram Prilly.
Monica menambahkan, "Kami selalu ada untukmu, Maura. Jangan ragu untuk meminta bantuan kami."
"Dimana Reno Maura? Aku mau bicara dengannya." Prilly menyusuri tiap sudut ruangan tetapi tidak ditemukan sosok Reno di manapun.
"Dia sudah pergi. Entah kemana." jawab Maura lirih.
"Mama .... mama.." tangis Angga dalam gendongan Tini.
"Tin ... tolong tenangkan Angga dulu, bawa ia jalan-jalan ke halaman. Aku tidak ingin Angga melihatku dalam keadaan seperti ini." ucap lirih Maura.
Ketiga sahabat Maura saling bertukar pandang. Lalu Monica berjalan menuju Tini."Biar Angga sama saya saja Tin. Mungkin Angga lapar, tolong buatkan makan untuk Angga."
"Baik saya akan buatkan bubur buat Angga dulu, permisi." sahut Tini sambil menyerahkan Angga kepada Monica.
Prilly dan Retha membantu Maura mengompres pipinya akibat tamparan Reno. Dan beberapa lebam di lengannya akibat kebrutalan amarah Reno.
Dalam diam Prilly dan Retha membantu Maura mengurangi bekas bekas kekasaran Reno
dengan perasaan prihatin.
"Kamu benar-benar wanita kuat, Maura aku salut. Mungkin kalau semua ini terjadi padaku sudah aku ceraikan si Reno dari kemarin-kemarin." ungkap perasaan Retha.
Maura hanya meringis menahan kesakitan saat Prilly mengoleskan lotion pengurang lebam.
"Aku tidak apa-apa kok. Percayalah. Terima kasih kalian selalu ada untukku." ucap lirih Maura kepada kedua sahabatnya saat melihat wajah mendung di wajah Sahabat-sahabatnya itu.
"Itulah gunanya sahabat Maura. Tidak perlu sungkan, bila kamu membutuhkan pertolongan, kami selalu ada kapan saja untukmu." ucap Prilly menggenggam kedua tangan sahabatnya itu.
"Terima kasih." ungkap Maura dalam pelukan hangat sahabat-sahabatnya itu.
.........
Hari masih terlalu pagi sinar mentari pun masih terlihat malu-malu menyinari bumi
" Selamat Pagi pak Bima." sapa Satpam kantor Bima yang terkejut dan takjub melihat kedatangan bos nya sepagi ini.
Bima melangkah pasti dan mengangguk seadanya saat melewati Satpam.
Raut wajahnya tergambar dengan jelas ada kekhawatiran yang sedang menyelimuti perasaan Bima.
Di ruang kerjanya Bima duduk terdiam sibuk dalam lamunannya sendiri tentang kejadian kemarin.Walaupum laporan anak buahnya menyatakan bila Maura dalam keadaan baik-baik saja karena setiba mereka di depan rumah Maura, keadaan hening dan tidak terlihat tanda-tanda ada pertengkaran ataupun drama rumah tangga sejenisnya.
Tetapi Bima tetap mengkhawatirkan keadaan Maura sebelum ia melhat sendiri dengan mata kepalanya bahwa Maura baik-baik saja.
Tidak lama kemudian Sekretaris Bima pun datang dan memasuki ruangan kerjanya.Betapa terkejutnya dirinya mendapatkan Bima sudah berada di ruang kerjanya.
Sekretaris Bima, seolah tidak percaya pada pengelihatannya menggosok gosok kedua matanya untuk lebih meyakinkan diri. "Selamat pagi pak..., apa bapak mau saya buatkan kopi? "
"Oh hei kamu sudah datang. Terima kasih, nanti saya bikin sendiri di Cofee maker." sahut Bima dan kembali masuk dalam lamunannya. Kelima jari tangannya mengetuk ngetuk meja bergantian seolah pengiring pikiran Bima yang entah kemana.
Hampir setengah jam Bima melamun, lalu ia bangkit dari kursinya dan bergerak meninggalkan ruangannya.
"Lin, tolong tukar koin buat Cofee maker." Bima menghampiri Sekretarisnya untuk menukar uangnya dengan koin untuk mesin pembuat kopi.
Kemudian Bima pun turun ke lantai dasar letak mesin tersebut berada.
Untuk beberapa saat Bima berdiri di depan mesin pembuat kopi untuk memilih kopi apa yang hendak ia minum setelah itu ia pun memasukkan koin ke mesin tersebut menunggu sejenak hingga mesin selesai menyuguhkan kopi sesuai pesanan.
Saat menunggu kopinya itulah sekilas siluet tubuh Maura menganggu sudut matanya. Bima pun dengan cepat menyakinkan pandangannya dan ternyata benar Maura berjalan memasuki kantor dan hendak masuk ke dalam lift.
Dengan tergopoh-gopoh Bima segera meraih kopinya yang telah jadi lalu ia bergegas berlari dan menjulurkan tangannya ketengah pintu lift yang mulai tertutup."Tunggu!"
Mengetahui ada tangan lelaki yang akan terjepit pintu lift dikarenakan ada seseorang yang juga ingin menggunakan fasilitas lift. Maura pun membuka kembali tombol buka pintu.
Pintu lift pun terbuka dan pria itu pun masuk ke dalam.
"Bima?" Maura terkejut saat mengetahui bos nya ternyata yang hampir terjepit tangannya tadi.
"Hai!" sapa Bima sambil sedikit meringis menahan sakit di lengannya yang sedikit terjepit pintu lift.
"Kamu baik-baik saja kan?" tanpa basa-basi Bima langsung menanyakan keadaan Maura.
Maura hanya tersenyum samar."Aku baik-baik saja."
"Tangan kamu tidak apa kan Bim? Belum sampai kejepit kan?"tanya Maura khawatir.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu sendiri bagaimana? Kamu lebih penting." sahut Bima.
"Aku baik Bim." ucap Maura.
Seolah tidak percaya Bima terus menatap menyelidik Maura.
Setibanya mereka di lantai yang mereka tuju, Bima mempersilahkan Maura keluar terlebih dahulu. Saat itulah mata Bima terpaku pada sesuatu berwarna biru keunguan di lengan Maura.
Dengan sigap Bima meraih tangan Maura tanpa permisi dan memastikan apa yang dilihatnya.
"Ini apa Maura?" selidik Bima pada lebam yang ada di tangan Maura.
Maura terlihat kebingungan menjawab.Bima pun semakin detail meneliti tubuh Maura dan ia mendapati beberapa lebam di lengan dan pipi Maura.
Bima menatap Maura dengan sorot mata tajam. Ada perasaan marah dan emosi melihat luka luka yang ada di beberapa bagian tubuh Maura.
"Kita sahabat kan? Kenapa kamu sembunyikan dariku.Apa saja yang lelaki pengecut itu perbuat padamu, hingga kamu mengalami memar-memar seperti ini?" ucap Bima menahan emosinya.
Lalu tanpa menunggu jawaban Maura, Bima menggandeng tangan Maura dan setengah bergegas mereka berjalan melewati beberapa pasang mata yang melihat mereka berdua dengan tatapan curiga. Bima tidak lagi memperdulikan tatapan mata penuh tanya dan bisik-bisik karyawan-karyawannya saat mereka melintas.
Sesampainya di depan klinik kantor, Bima meminta Dokter untuk memeriksa Maura. Dan Bima menunggu di luar ruang periksa.
Bima duduk dengan gelisah dan cemas di ruang tunggu klinik, tatapannya kosong.
Tiba-tiba Dokter memanggil Bima ke dalam dan menjelaskan, bahwa luka lebam di lengan Maura bukanlah luka ringan. Bima merasa semakin bersalah dan berusaha menahan amarahnya terhadap Reno, yang ternyata telah menyakiti Maura begitu dalam.
Bima mencoba memahami situasi Maura, dan ketika Maura keluar dari ruangan periksa, ia menatapnya dengan tulus. "Maafkan saya, Maura. Saya tidak tahu hal buruk ini akan terjadi padamu. tapi bagaimana kamu bisa mengatakan kamu baik-baik saja?" tanya Bima dengan suara penuh penyesalan.
Maura tersenyum tipis, "Saya sudah terbiasa, Pak Bima. Tidak perlu khawatir." sahut singkat Maura.
Bima merasa marah pada dirinya sendiri karena tidak mampu melindungi Maura. Ia merasa gagal menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab melindungi wanitanya.
Setelah kunjungan ke klinik, Bima membawa Maura ke ruangannya.Bima terus bertanya tentang keadaan rumah tangga Maura yang sebenarnya. Apakah baru kali ini saja kebrutalan Reno atau memang sudah seringkali hal itu dilakukan oleh suami Maura.
Tetapi kata-kata "Saya sudah terbiasa" yang tadi diucapkan Maura membuat Bima menarik kesimpulan, bahwa ini bukan yang pertama kalinya.
Ada tidaknya kejadian kemarin Maura sudah sering mendapatkan perlakuan keji seperti ini.
Bima menarik napas panjang, lalu bicara dengan tegas, "Aku akan memastikan kejadian ini tidak akan terjadi lagi, Maura. Aku tidak bisa membiarkan hal buruk ini berulang kali terjadi padamu ."
Maura terkejut dan terharu mendengar kata-kata itu. Ia tidak pernah mengira bahwa Bima akan begitu peduli padanya. "Terima kasih, Bima. aku tidak ingin merepotkan mu." ujar Maura pelan.
"Kalaupun aku belum bisa memilikimu saat ini, setidaknya aku harus bisa melindungimu dari orang- orang keji dan pengecut seperti suamimu." geram batin Bima.
Bima mengangguk mantap, "Tidak perlu sungkan. Ini wujud tanggung jawab saya sebagai pimpinan sekaligus sahabat kamu, dan kamu adalah pegawai berprestasi perusahaan ini, jadi wajar kalau aku akan menjaga dan melindungi mu"
Sejak saat itu, hubungan antara Bima dan Maura semakin dekat. Bahkan seluruh kantor pun mengetahui hubungan istimewa diantara Bima dan Maura.
Bima tidak hanya melibatkan diri dalam memberikan perlindungan, tetapi juga memberikan dukungan emosional pada Maura. Mereka sering berbicara dan berbagi cerita tentang apapun yang mereka rasakan dan alami dalam hidup.
Bagaikan gayung bersambut, Maura yang membutuhkan bahu untuk bersandar dan telinga untuk mendengar serta pelukan untuk menenangkan diri, sedangkan Bima yang dari awal terlanjur mempunyai perasaan yang special pada Maura membuat hubungan mereka semakin dekat dan tak terpisahkan.
Hingga suatu hari, Bima memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya yang selama ini ia pendam pada Maura.
Sambil duduk berhadapan di sebuah kafe. Bima mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan perasaannya yang selama ini ia pendam. Bima menggenggam kedua tangan Maura, "Maura, aku tahu perasaan ini salah. Tidak seharusnya aku menyimpan perasaan yang tidak pada tempatnya, tetapi aku tidak bisa lagi menahan dan menutupi perasaan aku yang sebenarnya padamu, Aku menyukaimu Maura. Sejak awal aku mengenalmu. Dan cinta tidak pernah salah, hanya saja mungkin ini terjadi di waktu yang salah. Aku tahu kamu sudah berkeluarga, tetapi aku tidak bisa menghapus dan menghilangkan perasaan ini begitu saja," ujar Bima dengan tulus.
Maura terdiam sejenak, sejujurnya ia merasa bahagia dan tersanjung, dicintai seorang Bima Airlangga yang ia tahu selama ini sudah begitu tulus dan sabar menolong dan mendampinginya dari nol dan selalu berusaha membahagiakan dirinya dan Angga anaknya. Bahkan Angga juga sangat dekat dengan Bima saat ini, tetapi tidak bisa ia pungkiri, walaupun ia juga mulai mencintai dan menyanyangi Bima. Ada tembok tinggi yang memisahkan mereka yaitu Reno. Bagaimana pun juga hingga saat ini Reno adalah suami Maura.
Dengan pertimbangan tadi Maura pun menatap lekat kedua mata Bima, "Aku menghargai perasaanmu, Bima. Tetapi aku juga punya tanggung jawab dan komitmen yang tidak bisa aku ingkari yaitu keluarga aku."
Bima menghela nafas, menerima kenyataan bahwa cintanya belum berbalas. Meskipun begitu, ia tetap bersikap profesional dan menjaga hubungan baik dengan Maura. Kedewasaan dan tanggung jawab Bima dalam mengelola perasaannya menunjukkan karakter kepemimpinan yang kuat.
Bima berusaha tersenyum dibalik kekecewaannya."Aku tahu Maura, kamu tidak mungkin mengingkari pernikahan kamu. Tetapi aku mau, kapanpun kamu membutuhkan bantuan jangan pernah sungkan untuk mengatakannya padaku. Aku akan selalu ada untukmu. I love you so much" Bima menggenggam kedua tangan Maura dan menatapnya tulus.
.................
Tunggu kelanjutannya ya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments