Masa Perang yang Mengubah Segalanya

Satu kota ke kota lainnya, sebuah desa di antara puluhan desa kecil, dan tempat-tempat yang ramai dipenuhi jeritan kesakitan. Puluhan, ratusan hingga ribuan orang berteriak dan berlari hingga jatuh dan tewas di tempat tanpa sempat melihat keadaan sekitar lagi.

Kobaran api melahap rumah-rumah mereka, tanah yang dipijak menjadi licin akibat genangan darah mengalir di sepanjang jalanan. Pedang beralir energi dalam diayunkan dengan keji, panah api dan racun berterbangan dari segala arah, ujung tombak pun diangkat bukan demi keadilan.

Perang tidak mengenal yang namanya, "keadilan." Tidak mengenal pula belas kasih, pedang menjadi senjata, setiap orang biasa berubah menjadi seorang pembunuh. Tak mengenal kata, "ampun," begitu pula dengan rasa kasihan sebab semua hal itu akan menjadi sia-sia di atas tanah yang bernamakan "Medan Perang."

Seorang bocah lelaki berusia 5 tahun yang baru saja pulang dari sungai dan membawa seember ikan segar, terkejut diam melihat desa kecilnya musnah tak bersisa selain puing-puing rumah dan jasad yang bertebaran di jalanan.

"Cari yang tersisa! Jangan sampai kelewatan satu orang pun! Bahkan semut juga!" teriak salah seorang prajurit jalan memberi perintah pada anak buahnya.

Mendengar suara derap langkah kaki lalu getaran kuat yang juga berasal dari langkah kaki kuda, sontak membuat bocah lelaki itu panik. Sebelum ia kembali ke rumah yang sudah dihabis bakar oleh si jago merah, bocah tersebut bergegas bersembunyi dalam sungai berlumpur di dekat sana.

"Rumah di desa ini sudah habis dibakar jadi tidak mungkin ada orang yang masih hidup."

"Jangan lengah. Jangan lakukan kesalahan seperti di kota kecil sebelumnya. Meski di sini hanya desa tanpa prajurit, kita tidak perlu memberi belas kasih pada mereka."

"Tapi bagaimana jika benar-benar sudah tidak ada lagi?"

"Hm, kalau memang tidak ada lagi maka kita tidak perlu berlama-lama di tempat sekumuh ini."

Lelaki yang memiliki jabatan tinggi dan berhak memerintah mereka itu lantas berbalik badan.

"Tapi jika kalian menemukan satu orang, entah itu pria, wanita atau bahkan anak kecil maka jangan ragu untuk membunuhnya. Ingat prioritas kita!" seru orang itu lagi.

"Baik!" 5 dari mereka menjawab secara serentak.

Bocah lelaki itu lolos setelah bersembunyi di dalam sungai berlumpur, ia bertaruh nyawa bahkan menahan napas di sana dengan sekuat tenaga. Akhirnya perjuangan bocah itu untuk bertahan hidup terbayarkan.

Hanya dalam beberapa hari ia bisa bernapas lega namun tidak lagi setelahnya sebab era peperangan masih berlanjut pada saat itu. Ia yang begitu kecil tanpa punya apa-apa, jangankan pengaruh dari orang besar, ia bahkan tidak memiliki rumah apalagi pakaian.

Karena itu demi bertahan hidup di era dan dunia yang keji ini, ia harus mengandalkan diri sendiri. Meski begitu tak seorang pun dapat hidup sendiri tanpa bantuan, termasuk bocah itu.

"Nak, hidup itu keras. Kenapa kau harus hidup sebatang kara, kalau kau bisa mati tanpa membebani orang-orang di sekitarmu?" Sekilas omongan prajurit yang entah musuh atau bukan telah menyayat hatinya.

Sindiran sinis yang berharap ia mati tanpa membebani. Walau itu masuk akal, namun ia tidak ingin mati begitu saja.

Hingga suatu hari kembali mendatangi prajurit tersebut, anak lelaki yang tidak tahu diri justru meminta diajarkan cara memakai senjata.

Sontak saja prajurit itu dan rekan-rekannya pun terkejut. Mereka seketika diam dengan mulut menganga, mengira dirinya sedang bercanda.

"Ha! Bocah sepertimu ingin belajar? Otakmu pasti sudah bolong."

"Hahaha! Benar-benar anak yang menarik."

"Hei, cobakan saja pedang rongsokan itu. Biar kita lihat apakah dia bisa mengangkatnya atau tidak dengan tubuh sekecil itu!"

Beberapa dari mereka mengejek, tertawa bahkan menghina terang-terangan. Bocah itu tetap diam dan kukuh dengan keinginannya tuk belajar cara bertarung.

"Baiklah." Satu kata terucap lantang, situasi hening dalam sekejap dan semua tatapan penasaran tertuju padanya seorang.

Itu adalah awal mulai dari seorang bocah bernama Yong terlahir sebagai ahli petarung, dari banyaknya senjata yang lebih mudah digunakan untuk membunuh, anak itu justru memilih dua buah pedang yang mewakili kaki dan tangannya.

Belajar dari prajurit musuh pun ia tidak takut, sekalipun para prajurit itu telah membunuh kedua orang tuanya, tak terlihat Yong memperdulikan hal tersebut. Yong lebih memilih untuk memanfaatkan orang dewasa agar dapat mengajarinya banyak hal tentang pertarungan.

Semua ia lakukan demi diri sendiri, demi masa depan dan keberlangsungan hidupnya sehari-hari. Tetapi semua itu lenyap dalam sekejap, ketika roh iblis telah bersemayam dalam tubuh.

***

Di gua persembunyian di balik gunung.

Duduk berlutut dengan kedua kaki dan tangannya dirantai secara terpisah. Yong perlahan membuka kedua mata yang telah kembali normal, tanduk merah itu pun telah mengecil. Lalu kuku di setiap jari-jemarinya menyusut.

"Setelah membuang energi dengan marah-marah, sepertinya dia jadi sangat letih. Ini sudah lima jam semenjak dia tertidur."

"Dia sebentar lagi akan bangun. Tapi pastikan jaga bicara kalian nanti, karena orang yang sedang kalian hadapi masih anak-anak."

"Iya aku mengerti. Jangan terus memperingatkan kami seperti anak kecil."

Beberapa orang duduk di hadapan Yong dengan beragam ekspresi. Tak satupun yang dikenalnya bahkan Yong sendiri tidak ingin berkenalan dengan mereka.

"Sudah bangun? Hei, nak. Bisa aku mengetahui kondisimu saat ini?" tanya seorang pria berbadan besar, ia yang memiliki tangan bersisik sebelumnya.

"Aku tidak sedang baik-baik saja," jawab Yong bersuara pelan.

"Ah, begitu."

"Bagaimana bisa kau menanyakan keadaannya di saat semua rantai itu ada di tubuhnya!" pekik orang yang ada di samping.

"Aku hanya bertanya. Kenapa sejak tadi kau selalu marah-marah?"

"Itu karena kau—!"

"Berisik, diamlah. Enyah sana dasar orang-orang sinting," ketus Yong menghina dengan ekspresi datar. Ia bahkan tak ragu mengatakan semua makian itu di antara perbincangan orang-orang dewasa.

Seketika situasi jadi hening sesaat, adapun pria berbadan besar itu tak terlihat peduli dengan kata-kata kasar Yong namun beberapa rekan lainnya tidak, mereka jelas sangat marah dan terhina.

"Bocah kurang ajar!" Seorang pria yang awalnya sok menceramahi pria berbadan besar justru yang paling marah di sana.

"Kenapa? Apa perkataanku salah? Kalian mengurungku dan mengatakan banyak hal tidak masuk akal. Kenapa aku tidak boleh mengatai kalian sebagai orang sinting?" sahut Yong dengan berani.

Orang-orang itu kini menahan amarah sekuat tenaga, sementara pria yang pernah ia lawan kian mendekati Yong tanpa rasa khawatir apalagi berwaspada. Hal seperti itu nyatanya tidak diperlukan olehnya, ia sengaja mendekat karena ingin mengatakan tujuan kelompok mereka.

"Kami adalah kelompok pengembara yang awalnya adalah seorang pendekar. Kami dikutuk menjadi monster, roh jahat atau lainnya yang mirip sama seperti dirimu," tuturnya sambil menunjuk tanduk kecil Yong.

"Aku tahu. Aku sudah sadar, aku bahkan sudah tidak ingat cara mengenggam pedang. Aku juga sadar kalau perubahan wujudku sangat aneh," ujar Yong menundukkan kepala.

"Ternyata kau tahu."

Pria itu lantas tersenyum dengan menunjukkan pupil mata yang tajam. Sekilas Yong merasa bahwa pria ini memang bukan lagi seorang manusia tapi di balik wujudnya yang pernah terlihat mengerikan, Yong sadar bahwa orang itu dan lainnya memiliki ambisi besar.

"Ikutlah dengan kami, Pendekar Pedang Ganda, Yong!" seru ia meminta Yong bergabung.

Terpopuler

Comments

IG : wnraineoko

IG : wnraineoko

Aku mampir thor, semangat berkarya.

2024-04-04

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!