Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di restoran yang mereka tuju. Restoran itu berada di dekat kampus mereka dan sering mereka kunjungi ketika kuliah. Ya, Lian, Leon, Laura dan Edyth kuliah di kampus yang sama. Mereka bertemu dan menjalin kasih hingga jenjang pernikahan. Namun, nasib Lian berbeda dengan Kakaknya. Edyth ternyata tidak mencintainya sebesar Lian mencintainya.
Mereka masuk ke restoran melalui pintu khusus. Leon memesan ruangan yang lebih privasi agar adiknya merasa nyaman tanpa pandangan aneh orang-orang.
Elena merasa sedikit gugup, karena ia belum terbiasa makan di tempat mewah ini. Ia bahkan belum menguasai table manner dengan baik.
Makan siang kali ini, Laura memesan hidangan seafood. Salah satu menunya adalah oyster yang perlu teknik untuk memakannya.
Lian, Leon dan Laura menikmati makan siangnya, sementara Elena memperhatikan cara makan mereka sambil mencoba melakukan seperti yang mereka lakukan.
Lian menyadari hal itu, dia mengerti gadis itu. Oleh sebab itu, Lian memindahkan oyster miliknya yang sudah dipotong di piring Elena. Gadis itu tersenyum dan mulai menyantap makanannya.
Hal yang sama Lian lakukan untuk hidangan berikutnya. Momen langka itu mengundang perhatian pasangan suami istri itu. Kali ini mereka tidak ingin mengganggu adik mereka yang sedang kasmaran itu. Melihat Lian begitu perhatian pada orang lain adalah hal yang jarang terjadi, kecuali orang itu spesial di mata Lian.
Setelah menghabiskan desert, mereka mengobrol ringan. Elena merasa nyaman bersama mereka karena Laura ramah dan baik padanya. Wanita itu juga ceria dan gampang tertawa sangat cocok dengan Leon yang suka bergurau. Mereka menjadi pasangan yang sempurna meski terkadang absurd.
"Elena, kalau Lian sudah sembuh, kau kuliah di sini saja." usul Laura di tengah pembicaraan.
Elena belum memikirkan ke sana, rencananya adalah menunggu adiknya selesai pendidikan baru dia memulai pendidikannya. Dan belum pernah terpikirkan kuliah di luar negeri.
"Saya belum memutuskannya Kak, karena adik saya baru dua tahun lagi lulus." jawab Elena. Mereka mudah memberikan usul, tanpa tahu keadaan Elena yang sebenarnya.
"Astaga, kau memikirkan biaya rupanya. Apa gunanya Lian ini? Setelah sembuh anak ini akan bergabung di perusahaan Papa dan punya banyak uang. Kuras saja uangnya sampai habis, benar kan sayang?" ucap Laura.
"Elena dengarkan aku." kini Leon yang bicara, "Kami sudah dengar bagaimana usahamu dalam merawat dan mencoba mengubah pola pikir Lian. Setelah apa yang kau lakukan, kau pantas mendapatkan yang terbaik dari keluarga kami. Setelah Lian sembuh, kau akan melanjutkan pendidikanmu dimana pun kau mau. Keluargaku bersedia menanggung semua biayanya. Jadi jangan khawatir akan hal itu, karena kau sudah berhasil menghidupkan jiwa yang sudah mati ini." tutur Leon.
Elena melirik pada Lian, sungguh dia merasa tidak pantas mendapatkan kebaikan mereka. Lian menganggukkan kepalanya, memberikan kepastian padanya. Saat itu juga, mata Elena memanas. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia terharu mendengar hal tersebut.
Sebenarnya setelah adiknya lulus, ia tidak yakin bisa melanjutkan kuliahnya, karena ekonomi keluarganya benar-benar krisis. Tapi keluarga ini mengabulkan keinginannya.
Laura menepuk bahu Elena, "Jangan menangis. Kau pantas mendapatkannya."
Elena mengusap air matanya, dia merasa malu karena telah menangis di depan mereka. "Maaf, saya terharu Kak. Saya tidak bisa menahan perasaan saya. Tapi, saya sangat berterima kasih pada kalian. Saya tidak tahu bagaimana nanti membalas kebaikan ini."
"Cukup jalani hidupmu dengan baik, akan membuat kami senang." balas Laura.
"Sudah-sudah. Jangan menangis lagi. Lihat tuh Lian jadi ikutan nangis." seloroh Leon membuat pandangan tertuju pada Lian. Padahal Lian hanya fokus pada Elena.
Elena akhirnya tertawa karena selorohan Leon. "Kak, saya ke toilet sebentar."
Elena keluar dari ruangan privat itu, dia ingin mencuci wajahnya yang sembab karena menangis. Setelah mencuci wajah di wastafel, dia masuk ke toilet kecil untuk buang air kecil.
Saat keluar dari sana, Elena menemukan seorang wanita sedang mencuci tangannya di washtafel. Elena mengabaikannya dan mencuci tangannya sebelum keluar dari toilet.
Wanita itu mengoleskan bedak dan lipstik di wajahnya sehingga membuatnya semakin cantik. Saat akan keluar, tiba-tiba wanita itu mundur membuat Elena tidak sengaja menabraknya.
Tas wanita itu terjatuh membuat peralatan make up dan beberapa barang berserak di lantai kamar mandi.
Wanita itu berteriak kesal, "Astaga! Punya mata bisa liat nggak sih!" wanita itu marah menggunakan bahasa inggris membuat Elena tidak mengerti.
"Sorry." Elena hanya bisa mengatakan hal itu karena bahasa inggrisnya belum bagus.
"Sorry? Kau pikir barang-barangku bisa kau ganti? Ini mahal tahu tidak!" wanita itu terus memakinya dengan bahasa yang tidak Elena mengerti. Tapi yang pasti, wanita ini sangat murka.
"Hei, kau tidak punya mulut?! Kau menghancurkan barangku, katakan bagaimana kau akan membayarnya." sentak wanita itu lagi.
Mata Elena berkaca-kaca, ia benar-benar dalam masalah. Ia mencoba menjawab, tapi lidahnya kelu.
"Astaga! Kau benar-benar membuatku marah. Kemari." wanita itu menyeret Elena keluar dari kamar mandi. "Kau duduk dimana, dengan siapa kau datang ke sini? wanita itu lagi.
Sepertinya Elena mengerti maksud wanita itu. Elena menunjuk ruangan dimana ia dan saudara kakak beradik itu makan siang. Wanita itu menyeret Elena ke sana, bermaksud meminta pertanggungjawaban dari keluarga gadis ini.
"Kemari. Kau harus mengganti rugi barang-barangku."
Elena dan wanita itu masuk ke dalam ruangan privat tersebut.
"Permisi, apakah gadis ini teman atau keluarga..." ucapan wanita itu terhenti setelah melihat siapa yang ada di meja.
Laura dan Leon yang melihat wanita yang datang bersama Elena juga mematung. Raut wajah mereka berubah, kesedihan, kebencian dan dendam bercampur di wajah dua orang itu. Rasa sakit yang ditorehkan wanita ini pada keluarganya masih membekas di hati.
Wajah wanita itu seketika menjadi pias, ia melepaskan tangan Elena begitu saja. Apalagi ketika melihat sosok pria di kursi roda yang masih membelakanginya. Mulut tajamnya yang tadinya gencar memaki Elena seolah terkunci rapat.
"Lian?" akhirnya nama pria itu terucap dari mulutnya yang berbisa.
Lian mematung, tanpa melihat wajah wanita itu ia sudah tahu siapa melalui suaranya. Tatapan pria itu menjadi nanar.
"Kak, tolong usir dia!" suara Lian begitu dingin, wajahnya suram dan gelap.
Laura berdiri, dia menarik Elena ke belakangnya. Tidak lupa tatapan sinis dia lontarkan pada wanita itu, "Lebih kau pergi dari sini sebelum tanganku melayang di wajahmu!" ancam Laura. Laura yang ceria dan ramah berubah dalam sekejap.
Manik wanita itu berkaca-kaca, dengan perasaan kacau dia pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Laura mengusap kepala Lian lembut, "Sudah pergi. Lebih baik kita juga pulang." ucap Laura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments