Setelah makan malam, Diana memanggil Elena. Banyak yang ingin ia tanyakan pada gadis muda itu.
"Hari ini kau dan Lian pergi kemana?" tanya Diana. Jelas Diana penasaran apa yang membuat Lian berubah drastis.
"Kami ke panti asuhan Bu. Saya dan Tuan Lian bergabung bersama relawan melayani anak-anak panti." ucap Elena. "Sepertinya Tuan Lian senang berada di sana, tadi dia bilang akan datang ke sana lagi."
Diana terkekeh, sekarang dia sudah tahu apa yang terjadi pada Lian. "Kenapa dari dulu aku tidak membawanya ke sana. Terima kasih Elena, kau sangat pintar memahami kondisi Lian."
"Sudahlah Bu. Berhenti berterima kasih. Apa yang ibu berikan pada saya harus setimpal dengan yang saya berikan untuk keluarga ini."
Diana terkekeh, "Saya akan menaikkan gajimu bulan ini. Dan kalau Lian berubah total, saya akan memberikan berapa pun yang kau mau."
Wajah Elena bersemu merah, tentu saja ia suka dengan penawaran itu.Tetapi ia tidak mau terlihat materialistis di depan Diana.
"Sebenarnya saya ingin menanyakan sesuatu." ucap gadis itu.
"Tanyakan saja."
"Apakah Tuan Lian akan lumpuh selamanya? Maksud saya apakah tidak ada kemungkinan untuk Tuan Lian berjalan normal lagi?" tanya Elena.
Diana tahu maksud Elen dan dia senang ada yang peduli pada putranya melebihi keluarganya sendiri.
"Sepuluh persen kemungkinan. Sekecil itu harapan Lian bisa kembali normal. Namun dokter bilang jika dia gigih dan semangat melakukan pengobatan, besar kemungkinan Lian bisa sembuh. Tapi kau sudah lihat sendiri, Lian kehilangan jiwa sejak istrinya pergi. Padahal sebelum Edyth meninggalkannya, Lian bertekad untuk sembuh. Semua demi wanita itu, tapi sayang wanita itu tidak ingin menunggu Lian." tutur Diana, ada kesedihan yang mendalam di mata wanita itu.
Elena tersenyum, "Bagaimana jika saya mencoba Tuan Lian menjalani pengobatan?"
Diana terkekeh, "Terdengar mustahil, tapi saya percaya padamu."
"Jika kalian memberi saya izin, saya akan mencobanya."
Diana mengangguk, "Lakukan apa yang kau mau, yang penting baik untuk Lian."
"Baik Bu, saya akan melakukan yang terbaik."
Cukup lama Elena memikirkan rencananya. Dia bingung bagaimana caranya membujuk Lian tanpa membuat pria itu tersinggung. Meski Lian tidak begitu dingin padanya, pria itu masih sensitif. Elena tidak ingin hubungan baik yang ia bangun dengan susah payah hancur lagi.
Setelah bicara dengan Diana, ia pergi ke kamar Lian. Elena masih berdiri di depan pintu kamar pria itu. Ini pertama kalinya ia datang tanpa panggilan pria itu.
Oleh karena itu Elena mengetuk pintu, "Tuan, ini Elena. Boleh saya masuk?" seru Elena, dia yakin Lian belum tidur jam segini.
"Masuk!" suara Lian terdengar samar. Elena membuka pintu lalu menutupnya dengan hati-hati.
Lian sedang memandangi lukisan tua di dekat jendela kamarnya. Elena mendekatinya dan berdiri di samping Lian.
"Ada apa? Kau belum pernah datang sendiri tanpa panggilan dariku." ucap Lian sebab ia sadar Elena ingin menyampaikan hal penting.
Melihat Elena yang masih canggung, ia menyuruh gadis itu duduk di sofa. "Katakan." perintah Lian.
Elena sudah mengumpulkan keberaniannya sebelum kemari, tetapi setelah bertemu Lian, keberaniannya menciut. Elena tidak berani mengatakannya, ia segera menggelengkan kepalanya. "Ma...maaf Tuan. Tidak jadi, saya lupa." Elena berdiri, "Saya pergi dulu."
Tapi sebelum Elena melangkah, Lian meraih tangan mungilnya dan menahan gadis itu. Namun Elena yang tidak siap kehilangan keseimbangannya sehingga ia terjatuh tepat di pangkuan Lian.
Wajah mereka bertemu dan mengikis jarak. Elena menelan liur ketika mata tajam itu menusuk matanya. Deru nafas Lian menerpa kulit wajahnya membuat jantungnya berdebar kencang.
"Astaga!" seru Elena. Ia segera menarik tubuhnya dari pangkuan Lian. "Maafkan saya Tuan."
Tapi Lian mendesis kesakitan, ia meremas pelan kakinya yang baru saja tertimpa Elena. "Tuan, anda tidak apa-apa?" Elena panik karena telah membuat Lian kesakitan.
"Tidak apa-apa. Hanya kram biasa." ucap Lian.
Elena berjongkok di depan Lian. Ia menatap Lian dengan lekat. "Tuan kakimu masih sering sakit?"
Lian menggeleng, "Sakit jika terkena tekanan kuat seperti tadi."
Suasana hening beberapa saat sampai Elena melontarkan kalimatnya. "Tuan, apakah anda tidak bosan duduk di kursi ini?" pertanyaan itu jelas menyakiti hati Lian.
Memangnya siapa yang senang duduk di kursi roda selama bertahun-tahun? Kening Lian berkerut, perasaannya yang sensitif membuatnya berpikiran buruk pada Elena.
"Apa maksudmu?!" Lian menekankan agar Elena tidak kelewat bicara.
"Anda sudah lima tahun duduk di sini. Tidak bebas melakukan apa yang anda mau dan bahkan untuk makan dan mandi saja anda tidak bisa." Elena tetap melanjutkan ucapannya meski mendapat tatapan tajam.
"Elena!" untuk pertama kalinya Lian memanggil namanya dalam kemarahan.
"Kalau saya jadi anda, saya akan berjuang untuk sembuh. Zaman sekarang teknologi sudah canggih, apa yang tidak mungkin hampir bisa dilakukan. Apalagi hanya kelumpuhan biasa seperti ini."
Bisa-bisa gadis itu mengatakan kelumpuhan bertahun-tahun adalah penyakit biasa.
"Dengan kekayaan yang anda punya, kakimu pasti bisa sembuh dan bisa berjalan normal lagi. Apakah Tuan tidak ingin bergerak bebas dan melakukan apa pun tanpa kursi terkutuk ini? Sangat menyenangkan tahu berjalan ke sana kemari dengan bebas." Elena tidak henti-hentinya menghasut Lian.
"Itu tidak semudah yang kau pikirkan Elena!" Lian memperingati.
"Bagaimana Tuan tahu tidak mudah jika anda bahkan belum mencobanya sama sekali. Anda pesimis dan tidak memiliki tekad untuk sembuh." Elena mengatakan semuanya dan itu memang benar adanya. Lian tidak menyanggah, sebab ucapan Elena adalah fakta.
Elena mendekatkan diri, berbisik di telinga pria itu, "Dengar ini baik-baik Tuan. Jika anda sembuh dan menjadi laki-laki yang keren, perempuan itu pasti akan menyesal telah meninggalkan anda. Saya yakin dia akan kembali dan berlutut memohon kembali padamu." Elena sungguh gila, ia telah mengatakan hal yang bahkan belum pasti.
Namun meski Elena hanya mengarang, hal itu sanggup membuat hati Lian tergugah. Ia menatap manik Elena untuk meyakinkan ucapannya.
"Bagaimana, akan sangat menyenangkan bukan melihat orang yang pernah mencampakkan kita datang memohon?" Elena tersenyum penuh arti. Dia berdiri dan menunggu respon Lian.
Namun ia dapat hanya ekspresi datar, "Pergi!" ucap Lian tanpa melihat gadis itu. Lian menatap kosong ke arah jendela.
Wajah Elena yang awalnya dipenuhi keyakinan, seketika menjadi suram. Tanpa menunggu Lian menyuruh pergi kedua kalinya, ia segera melenggang pergi dari hadapan Lian.
Di luar kamar, Elena merutuki dirinya. Ternyata membujuk Lian memang sulit seperti prediksinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Denni Siahaan
semoga hatimu terbuka untuk berobat lian
2024-02-06
3