Ada secercah harapan yang diberikan oleh dokter pada mereka. Termasuk untuk Lian, meski menyesal telah menunda pengobatan, semangatnya untuk melanjutkan hidup dengan baik semakin besar.
Sepulang dari rumah sakit, Sinclair telah mengurus jadwal keberangkatan Lian ke Inggris setelah menyesuaikan jadwal dokter yang akan menanganinya di sana.
"Pa, Elena ikut dengan Lian kan?" tanya Lian ketika mereka berada di ruang kerja Sinclair.
Sinclair hampir melupakan permintaan putranya. "Oh iya, Papa lupa. Ma, tolong panggilkan Elena. Kita harus mengurus paspornya agar bisa berangkat ke Inggris."
"Oke Pa." Diana hanya perlu menghubungi Elena agar datang.
"Permisi Pak, Bu." Elena masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi dengan banyak buku di setiap rak.
"El, apakah kau sudah punya paspor?" tanya Sinclair.
Elena menggeleng, "Tidak Pak, saya belum pernah ke luar negeri."
"Ya sudah, nanti antarkan kartu tanda pengenalmu dan beberapa berkas lainnya, saya akan mengurusnya besok." ujar pria itu.
Elena bingung, dia tidak tahu kenapa harus mengurus paspor. "Pak, untuk apa saya mengurus paspor?"
Diana dan Sinclair melihat ke arah Lian, membuat Lian mengerti.
"Elena, bukankah kita sudah membahas hal ini sebelumnya?" Lian mengingatkan.
Elena mengangguk, "Ah itu. Memangnya harus sekali saya ikut? Saya tidak tahu apa-apa tentang luar negeri." ia tidak menyangka maksud Lian adalah menemani yang seperti ini.
"Jangan khawatir El. Di sana kami juga punya saudara. Dan saya juga akan ikut untuk mengurus semuanya. Kau hanya ikut saja dan merawat Lian seperti kau merawatnya di sini. Maklum, Lian kesulitan akrab dengan orang asing." jelas Diana.
Elena tidak tahu menjawab apa, ia yang belum berpengalaman sedikit gugup. "Lalu, kapan kita akan pergi?"
"Secepat mungkin setelah paspormu selesai." jawab Sinclair.
"Baiklah. Tapi saya harus pulang meminta izin orang tua saya."
"Tentu. Mereka harus tahu hal ini, bagaimana pun kau ini perempuan yang masih sangat muda." jawab Diana.
Setelah pembicaraan mereka selesai, Elena membawa Lian ke kamarnya. "Terima kasih banyak Elena." ucap Lian sesaat setelah mereka sampai di kamar.
Gadis itu mengangguk, "Sama-sama Tuan."
Elena baru terpikir, jika suatu saat nanti Lian sembuh, maka ia tidak akan dibutuhkan lagi di rumah ini. Lian akan memulai hidupnya dengan normal tanpa perlu pengasuh seperti dirinya.
"Tuan, saya belum pernah ke luar negeri. Apalagi negara Eropa, pasti banyak perbedaan dengan kebiasaan kita di sini. Saya takut tidak terbiasa di sana." wajah Elena memelas, andai saja ia bisa menolak untuk tidak ikut.
Lian terkekeh melihat raut wajahnya, "Tenang saja. Saya pernah tinggal di Inggris selama tiga tahun, saya akan mengajarimu banyak hal. Dan kalau saya sembuh nanti, saya janji akan mengajakmu keliling Inggris."
Elena tidak tertarik dengan hal itu, karena ia belum pernah berekspektasi pergi ke luar negeri dalam hidupnya. Cita-citanya hanyalah memiliki pendidikan yang bagus dan bekerja dengan gaji seadanya. Semua karena keadaan ekonomi yang sulit, Elena tidak berani membayangkan hal sebesar itu.
Dalam satu minggu ini, Diana membelikan beberapa potong baju untuk Elena pakai di Inggris. Tidak hanya pakaian, tas, sepatu dan alat-alat kosmetik juga Diana lengkapi.
Sore itu Elena sedang berada di kamar Diana. Gadis itu terlihat keringatan setelah mencoba beberapa baju musim dingin. Kebetulan di Inggris sedang mengalami musim salju. Makanya Elena membutuhkan banyak pakaian hangat dan tebal.
"Bu, ini terlalu berlebihan." komplain Elena, gadis itu merasa tidak enak hati dengan perlakuan Diana.
"Tidak El. Ini saja belum cukup. Kalau sudah sampai di sana kita masih perlu beberapa lagi. Ingat, kau dan Lian akan menghabiskan waktu yang lama di London." ucap wanita tersebut.
"Masukkan ini semua ke dalam koper, supaya Pak Ari tinggal mengangkatnya." perintahnya dan Elena hanya bisa menurut.
Setelah semuanya rapi, barulah Elena kembali ke kamarnya. Sesuai dengan rencana, sore ini ia akan pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada keluarganya. London adalah negara yang jauh, untuk itu kedua orangtuanya perlu tahu hal ini.
Sebelum pergi, Elena menemui Lian karena pria itu memanggil. "Ada apa Tuan?"
"Kemari." Lian sedang membaca beberapa lembar tulisan di kertas.
"Mama bilang kau mau pulang?"
Elena mengangguk, "Iya, saya akan meminta izin."
Lian meletakkan kertas itu di meja sofa, "Saya ingin ikut ke rumahmu."
Elena terkejut, dia segera menggeleng. "Kenapa Tuan?"
"Saya juga ingin bicara dengan orangtuamu. Kau ikut ke London karena saya, jadi saya harus meyakinkan orangtuamu bahwa saya bertanggungjawab untukmu." jelas Lian.
"Tidak perlu. Ayah dan Ibu akan mengerti. Lagi pula mereka sudah tahu kalau keluarga anda memperlakukan saya dengan baik, jadi anda tidak perlu melakukannya." Elena kekeuh agar Lian tidak ikut ke rumahnya.
Elena merasa tidak nyaman, apalagi rumahnya sangat kecil, Lian pasti tidak betah di sana.
"El, tolong mengerti saya. Saya berhutang banyak padamu. Jadi saya harus menunjukkan rasa tanggung jawab saya untukmu." sungguh enak didengar ucapan pria itu.
"Tapi saya akan menginap."
"Tidak apa-apa. Saya dengar ayahmu bekerja sebagai seniman, mungkin kami akan akrab karena saya juga memiliki selera yang sama."
"Pemahat patung Tuan, bukan seniman." Elena kehabisan alasan agar Lian tidak ikut.
"Jangan salah, pemahat juga harus memiliki jiwa seni yang tinggi. Kau harus mengakui hal itu. Jadi saya akan ikut denganmu sore ini." keputusan Lian sudah final dan tidak bisa Elena tolak.
Dan akhirnya, sore ini Elena dan Lian sudah dalam perjalanan menuju rumahnya. Satu jam lebih perjalanan mereka sudah sampai di halaman rumah Elena. Di halaman rumah yang sederhana itu, ada beberapa patung yang Lian yakini adalah karya sang ayah. Meski sederhana, rumah Elena terlihat unik.
Begitu Elena mengetuk pintu, ternyata ayah dan ibunya sudah menunggu kedatangan mereka Elena dan Lian. Saat di perjalanan tadi Elena memberi pesan pada ibunya secara diam-diam bahwa Lian akan ikut bersamanya.
"Selamat datang di rumah kami Nak Lian." sapa Timothe begitu juga dengan Alice.
Lian membalas dengan senyum ramah, "Terima kasih Paman. Senang bertemu dengan kalian."
"Silahkan masuk. Bibi sudah memasakkan makanan untuk kalian."
Mereka akhirnya berkumpul di meja makan kecil yang dipenuhi dengan beberapa jenis makanan.
"Wah, kenapa Bibi repot-repot memasak sebanyak ini." Lian tergugah setelah aroma makanan lezat itu tercium hidungnya.
"Tidak apa-apa. Nak Lian baru pertama sekali kemari, kami harus menyambut dengan baik."
"Ya sudah, ayo kita makan, kalian pasti lapar."
Sembari makan, Lian mengobrol dengan asik dengan kedua orangtuanya. Dan anehnya pria itu tertawa lebar ketika Timothe melontarkan candaan.
Elena sangat heran, Lian seperti dua orang yang berbeda di rumah ini. Di rumahnya saja pria itu lebih banyak diam dan hanya tahu memarahi orang.
"Masakan bibi enak sekali. Saya suka." Lian mengacungkan jempolnya untuk Alice membuat Alice bersemu.
Elena diabaikan oleh mereka. Gadis itu merasa seperti anak tiri di rumahnya sendiri.
...----------------...
Halo, salam kenal dari author amatir yang sedang belajar membuat cerita. Semoga kalian senang membaca karya pertama author.
Untuk memenuhi ekspektasi kalian dalam cerita, jadi author akan memberikan visual Lian dan Elena.
Author sengaja membuat animasi di atas sebagai visual, karena jika author membuat gambar reel mungkin akan terkena hak cipta dan mungkin akan membuat pembaca kecewa karena ketidaksesuaian pemilihan visual.
Sekali lagi terima kasih buat pembaca yang menemani awal cerita author.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Sonia pramita
wow wow wow keren 😍😍😍😍
2024-03-05
0
SRI HANDAYANI
pengasuhnya punya body aduhayy Lian semangat untuk sembuh..😛😛😀😀👍👍
2024-03-05
1
Ana
suka suka suka
2024-02-24
1