Elena menuju taman seperti yang Lian katakan. Sepanjang perjalanan, isi pikiran gadis itu dipenuhi dengan mimpinya tadi pagi. Elena memekik kesal sambil memukul kepalanya, bisa-bisanya ia bermimpi hal seperti itu dengan Lian.
Di taman, Lian sudah menunggu dengan beberapa macam makanan di atas meja mini. Beberapa hari terakhir, Diana sudah mempekerjakan pelayan untuk mengurus rumah dan memasak. Sehingga Elena tidak perlu kesusahan mengurus Lian di sini karena sebentar lagi mereka akan kembali ke Indonesia.
Keduanya mulai makan di bawah sinar matahari pagi yang tidak terik. "El, tadi mimpi apa?" rupanya Lian tidak melupakan hal itu.
Elena menggeleng cepat, "Tidak ada Tuan. Saya tidak mimpi!" gadis itu menegaskan.
"Tapi saya mendengarmu mengigau. Kau memanggil nama saya. Saya penasaran apa yang kau mimpikan sampai-sampai saya kau memanggilku."
Matilah. Wajah gadis itu malah merah merona. "Saya sudah lupa Tuan. Dulu saya sering mimpi tapi saat bangun tidak ingat." Elena membuat alasan, padahal mimpi itu masih terekam jelas di kepalanya.
Lian mengangkat bahu dan mulai menyantap makanannya. "Besok Mama, Papa dan Tante Lewi akan pulang. Perusahaan di sana sedang ada masalah, Papa harus mengurusnya."
Elena mengangguk, "Kau tidak apa-apa kan menemani saya di sini sampai selesai?"
Gadis itu mengangguk lagi, "Bu Diana sudah mengajari saya banyak hal di sini dan saya sudah mulai terbiasa melakukannya."
"Baguslah. Oh ya, kalau kau bertemu Katrine, tidak usah terlalu dekat dengannya."
"Baik Tuan." jawab Elena dia tidak bertanya Kenapa Lian memintanya menjauhi Katrine, karena sikap Katrine padanya sejak bertemu tidak terlalu menyenangkan.
Keesokan harinya Diana dan Sinclair pergi ke bandara diantar oleh sopir. Mereka menolak Lian dan Elena yang ingin mengantar sampai bandara.
Saat mereka sedang bersantai, mereka kedatangan tamu. Ternyata kakak sulung Lian dan istrinya datang ke rumah.
Leon memeluk adiknya yang sudah lama tidak ia temui. Leon dan istrinya juga tinggal di Inggris, tetapi sangat jauh dari rumah ini.
"Kenapa datang setelah Mama dan Papa pulang?" sarkas Lian.
Leon terkekeh, dia duduk di sofa tepatnya di samping sang istri, "Perusahaan di sini sedang ada sedikit masalah. Makanya Kakak belum sempat ke sini. Tanya saja kakak iparmu, Kakak bahkan sangat jarang pulang." wanita cantik yang kini bersandar di samping suaminya mengangguk.
"Keponakanmu juga demam tinggi kemarin. Kakak tidak bisa meninggalkannya. Lagi pula kita sudah bertemu Papa dan Mama di bandara." ujar wanita bernama Laura Cantika itu.
"Bagaimana terapinya, lancar?" tanya Leon. Pria itu sebenarnya terkejut mendengar adik satu-satunya akhirnya mau berubah.
"Begitulah. Karena masih baru mulai, belum ada perubahan signifikan."
"Bersabarlah. Tidak ada yang instan di dunia ini, semua perlu usaha dan kesabaran." timpal Leon.
"Oy ya, Mama bilang ada gadis yang membuat kau mau menjalani pengobatan, katanya dia ada di sini. Mana dia?" tanya Laura penasaran.
"Elena, dia lagi di kamar belajar bahasa inggris." jawab Lian.
"Kakak penasaran dengannya, kok bisa dia merubah orang keras kepala sepertimu." seloroh Laura.
"Aku yakin Lian menyukainya." timpal Leon yang mendapat tatapan tajam dari sang adik, tapi dia tidak peduli, dia senang mengolok-olok adiknya tersebut. "Aku kenal Lian dengan baik. Lian bisa berubah hanya untuk wanita yang dia cintai."
Laura menutup mulutnya sambil tertawa kecil, "Sepertinya Edyth terlupakan. Laura juga senang mempermainkan adik iparnya.
"Betul, sepertinya adikku yang melankolis ini telah menemukan cinta sejatinya." Leon masih belum puas. Dendamnya pada sang adik telah terbalaskan setelah lima tahun Lian tidak pernah mendengar nasihatnya.
"Kak bisa berhenti tidak?!" Lian sangat kesal.
"Tidak bisa." Leon dan Laura menjawab bersamaan membuat Lian semakin frustasi.
Tepat saat itu, Elena yang hendak pergi ke dapur berhenti. Gadis itu tersenyum canggung pada mereka.
"El, mereka kakakku yang tinggal di London juga." ucap Lian.
"Sini duduk El." seolah sudah akrab, Laura menyapa dengan ramah.
Lauran dan suaminya saling memandang, ada rahasia dibalik senyuman itu.
"Jadi ini Lian gadis itu. Cantik juga pantas kau cepat melupakan Edyth." ucap Leon.
Lian menghela nafas dengan kasar, "Kak tolong berhenti mengejekku."
"Iya iya, kakak berhenti."
Laura dan Leon mengajak Elena mengobrol. Jujur pasangan itu menyukai sifat Elena yang ramah dan lemah lembut.
Setelah mengobrol cukup lama, Laura dan Leon mengajak mereka makan siang di luar.
"Oh ya Lian, Kakak datang ke sini mau ajak kalian makan siang di luar. Sudah lama kita tidak makan bersama." ajak Laura.
Lian menggeleng, "Kenapa harus di luar? Olly sudah masak di dapur." tolak Lian.
"Bukan begitu, Kakakmu sudah reservasi restoran yang biasa kita kunjungi waktu kuliah." jawab Laura. Ia berharap bisa membawa Lian keluar dari zona nyamannya, agar ia bisa melihat dunia tidak seburuk itu.
"Tinggal batalkan saja." mudah sekali Lian mengatakan hal itu membuat Laura dan suaminya mati kutu. Tetapi mereka tidak kehabisan akal, ada saja ide di otak mereka untuk menghadapi adiknya yang keras kepala.
"Sayang kalau dibatalkan. Ya sudah, kalau Lian tidak mau, kita pergi bertiga saja, hitung-hitung bawa Elena mengenal London." timpal Leon yang tentu mengundang perhatian Lian.
"Kau benar sayang, kenapa tidak kepikiran sama sekali. Lian kau makan masakan Olly saja, biar Elena makan siang dengan kami." Laura menggandeng tangan Elena yang tidak tahu apa-apa dengan keluarga itu, "Iya kan El, kau mau kan makan siang dengan kami?" Laura tersenyum lebar membuat Elena bingung karena Lian memberikannya tatapan tajam.
Enggan membuat Laura sedih, Elena mengangguk, "Iya Kak, saya mau."
"Ya sudah, kita pergi sekarang." Laura berdiri diikuti Leon. "Lian kita pergi dulu ya. Hati-hati di rumah." Mereka akhirnya menjarah Elena dari Lian.
Lian tidak bisa berkata-kata lagi, kedua kakaknya itu selalu punya cara untuk mengalahkan egonya.
Elena sudah ada di dalam mobil milik pasangan itu, ia duduk di belakang kemudi. Saat mereka akan berangkat, ponsel Leon berdering yang ternyata adalah Lian.
"Ada apa?" jawab Leon ketus, tapi senyum liciknya terbingkai di wajahnya.
"Ya cepatlah." Leon mengakhiri percakapan singkat itu.
"Kenapa?" tanya Laura.
"Lian mau ikut." dan seketika keduanya tertawa.
"Tuan Lian mau ikut?" tanya Elena.
"Iya El, dasar anak plin-plan." seru Laura.
Elena hendak turun dari mobil, "Mau kemana El?"
"Saya mau jemput Tuan Lian ke dalam."
"Tidak perlu. Dia sudah besar, jangan dibuat manja Elena." larang Leon. Elena hanya bisa menuruti mereka.
Beberapa saat kemudian Leon datang, Leon membantu adiknya masuk ke dalam mobil dan menyimpan kursi rodanya di bagasi. Sesaat sebelum berangkat Leon belum senang jika tidak mengolok-olok adiknya.
"Katanya nggk mau ikut. Kenapa? Masakan Olly mu itu tidak enak ya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments