Setelah makan malam, Elena masuk ke kamarnya. Sedangkan Lian tengah diajak oleh Timothe melihat patung pahatannya. Seperti ucapan Lian, keduanya cepat akrab ketika bertemu.
Elena mengambil selimut dari lemarinya lalu masuk ke kamar adik laki-lakinya. Ia akan merapikan kamar itu agar Lian bisa tidur dengan nyaman.
Elena sudah lama menunggu ayah dan Lian selesai mengobrol. Ia tidak.tega mengganggu mereka padahal jam tidur Lian sudan lewat. Karena menunggu lama, Elena ketiduran di sofa ruang keluarga.
Setelah beberapa lama, mereka baru menyadari kehadiran Elena. Alice juga ikut bergabung bersama mereka malam itu.
"Paman, Bibi, terima kasih untuk malam ini." ucap Lian tulus. "Dan juga saya sangat bersyukur bertemu dengan putri kalian. Elena gadis yang baik, meskipun awalnya pertemuan kami tidak menyenangkan, akhirnya kami bisa berteman."
Alice dan Timothe saling memandang dan tersenyum.
"Kedatangan saya ke sini juga ingin meminta izin pada kalian. Saya akan pergi ke London dua hari lagi untuk pengobatan kaki saya. Dan saya berencana membawa Elena untuk menemani saya jika paman dan juga bibi mengizinkan." tutur Lian penuh harap.
"Kenapa membawa Elena?" tanya Alice, tentu ia terkejut mendengar bahwa putrinya akan pergi jauh.
"Bibi, Paman, selama ini Elena yang membangkitkan semangat saya. Saya ingin putri kalian menemani saya di sana. Saya berjanji akan menjaga Elena dengan baik, saya pastikan dia pulang dengan selamat."
Alice melihat suaminya, manik mereka seolah bicara.
"Nak Lian, kami terkejut mendengar hal itu. Tapi satu hal yang harus kau ingat, Elena adalah putri kami satu-satunya. Saya dan Alice sangat menyayanginya. Sebenarnya saya tidak mengizinkan, tetapi saya juga tidak sampai hati menolak permintaanmu. Saya harap kau menjaga Elena dengan baik di sana." tutur Timothe.
"Terima kasih Paman, terima kasih Bibi. Saya bertanggungjawab untuk Elena selama di sana." Lian tersenyum senang.
"Baiklah. Kalau begitu kita tidur saja, Paman sudah mengantuk." pria itu menguap.
"Ayo Nak Lian, saya antar ke kamar." Alice berdiri dan mendorong Lian ke kamar Elia.
"Tapi Elena masih di sana." Lian tidak melupakan Elena yang masih tidur di sofa.
"Paman akan membangunkannya."
Keesokan harinya, Lian dan Elena bersiap kembali ke rumah. Pagi ini Lian dan Timothe sedang bersantai di teras sambil menunggu Elena bicara dengan ibunya.
"Paman, saya ingin membeli patung kuda dan singa yang kemarin kita lihat." Lian sambil menyeruput teh buatan Alice.
Timothe senang mendengarnya, "Tunggu sebentar." pria itu pergi ke garasi tempat koleksi patungnya disimpan, sekaligus menjadi ruang kerjanya.
Ia membawakan dua patung yang Lian minta, "Ambil saja, ini hadiah Paman untukmu."
"Jangan Paman, ini adalah bisnismu." tolak Lian.
"Tidak apa-apa. Paman senang memberinya untukmu, terimalah." Timothe memaksa membuat Lian menggaruk kepalanya karena merasa tidak enak hati. Niat awalnya ingin membantu, malah begini.
"Terima kasih Paman, saya menerimanya dengan senang hati." Lian teringat sesuatu lalu merogoh kantung celananya, "Oh ya, Papa juga suka dengan seni. Di rumah dia mengoleksi beberapa lukisan dan barang langka. Kalau Paman bisa membuatkan patung ini, Papa pasti senang." ia menunjukkan sebuah gambar.
Timothe mengangguk, "Tentu saja."
"Kalau begitu saya kirim ke Paman gambar dan alamat rumah saya. Kalau sudah selesai, Paman bisa langsung kirim ke rumah."
Timothe mengangguk, "Baik. Mungkin patung ini bisa selesai dalam dua minggu."
Lian meletakkan segepok uang di atas meja, Timothe mengerutkan keningnya, "Apa ini Nak Lian?"
"Uang muka Paman."
"Ini terlalu banyak...."
"Paman... Tolong jangan menolak lagi. Saya tidak bermaksud apa-apa. Kita sedang berbisnis." Lian memohon.
"Baiklah, Paman terima. Terima kasih Nak Lian."
"Sama-sama Paman."
Dua hari berlalu, hari yang ditunggu akhirnya tiba. Lian, Elena, Diana dan sinclair akan berangkat ke London hari ini. Mereka mengambil tiket kelas bisnis. Diana dan Sinclair bersebelahan begitu juga dengan Lian dan Elena.
"El, kau tidak apa-apa?" tanya Lian sebab Elena terlihat pucat.
Elena menggeleng kecil, tapi Lian tahu Elena pasti takut karena ini adalah pengalaman pertamanya. Lian menggenggam tangan gadis itu, "Tidak apa-apa. Tidak usah takut."
Elena mengangguk dan berusaha menenangkan diri. Tapi setelah aba-aba dari awak pesawat selesai, pesawat mulai bergerak untuk lepas landas.
Elena menahan nafas dan memejamkan matanya. Pegangannya pada Lian semakin erat membuat Lian tersenyum tipis. Elena terlihat lucu di matanya saat ini. Elena seperri dirinya ketika ia pertama kali naik pesawat waktu kecil.
Tidak ingin Elena tersiksa selama beberapa detik pertama, ia mengambil tangan Elena yang satunya. Lian mengusap-usap tangannya, "Rileks El, sebentar lagi selesai."
Setelah pesawat terbang dengan stabil, barulah Elena sedikit tenang. Tapi ia sangat malu karena terlihat kampungan.
Perjalanan menuju London memakan waktu kurang lebih enam belas jam dengan satu kali transit. Lian dan Elena menghabiskan waktu di pesawat dengan menyenangkan. Setelah bosan mengobrol, mereka juga menonton film.
Enam belas jam berlalu, mereka akhirnya sampai di bandara internasional. Diana sudah menghubungi keluarganya di sini agar mengirimkan dua mobil untuk menjemput mereka. Elena dan satu mobil.
Di mobil gadis itu merasa pusing dan tertidur di samping Lian. Gadis itu mengalami jet lag akibat terbang terlalu lama. Elena bahkan tidak tertarik dengan indahnya kota London yang sedang dihujani salju. Gadis itu lebih memilih meringkuk di mobil akibat dinginnya kota ini.
Elena membuka matanya ketika sinar matahari menelisik menyinari wajahnya. Gadis itu terbangun lalu berpikir keras ketika menyadari ia di tempat asing. Elena berlari ke jendela besar yang menampakkan jalanan London yang sedang ditutupi salju.
"Wah..." gadis itu berdecak kagum. Ia benar-benar tidak menyangka sedang berada di tempat yang hanya ia lihat di media sosial. Gadis itu melompat kegirangan.
"El." ia mendengar suara pintu kamar diketuk dan itu suara Lian.
Elena membukanya, "Selamat pagi Tuan." gadis itu memberikan senyum hangat untuk Lian.
"Pagi. Bagaimana keadaanmu, masih pusing?" tanya Lian.
"Tidak lagi."
"Ya sudah, cuci wajahmu, kita akan sarapan." ajak pria itu.
Elena mengangguk, ia masuk ke kamar dan keluar dengan cepat. Lian masih menunggu di luar agar mereka ke ruang makan bersama-sama.
Di meja makan Elena melihat dua orang asing yang belum pernah ia temui. Seorang wanita seumuran Diana dan seorang gadis cantik.
"El, ayo sarapan. Duduk di sini." Diana mempersilahkan Elena duduk di sampingnya.
"Elena, kenalkan ini tante Lewi adik saya. Dan ini Katrine keponakannya." Diana mengenalkan mereka.
Elena yang memiliki tata krama menjabat Lewi, "Salam kenal Tante." sapanya.
Lewi tersenyum, "Salam kenal."
Elena beralih pada gadis di sampingnya, "Salam kenal..." namun niat baik Elena mendapat cemoohan dari gadis itu.
Gadis itu bahkan tidak melirik Elena membuatnya menjadi malu.
"Kat..." Lewi melirik keponakannya dengan tajam.
"Salam kenal." Katrine dengan terpaksa, tetapi tetap enggak menyambut tangan Elena. Elena akhirnya duduk kembali. Diana menepuk bahunya, "Tidak apa-apa. Ayo makan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments