Gerbang Kedua
"Aku nggak mau pindah!" Lingga meninggalkan meja makan meski setengah nasi di piringnya masih tersisa. Vian dan Gian—sepasang adik kembarnya itu hanya mengamati kakaknya dengan bahu terangkat. Entahlah, pikiran Lingga tak ada satu pun yang bisa menebak. Termasuk ibu dan ayahnya sendiri.
“Lingga, Ayah belum selesai bicara.” Rendra menahan anak sulungnya yang sudah beranjak. Lingga menoleh tanpa minat. “Apa lagi? Aku nggak mau pindah rumah. Titik!”
Keras kepala? Biar saja yang lain menganggap demikian. Tapi keputusan ayah untuk merenovasi rumah, menurutnya itu tidak masuk akal. Rumahnya terlalu kokoh untuk direnovasi.
“Ini untuk jangka panjang, Lingga,” suara ibu membujuk. Wanita itu pun kehilangan nafsu makannya. Ayah sendiri juga bingung, haruskah ia menceritakan kebenaran pada anak-anaknya? Tapi harusnya ia tetap merahasiakan alasan mereka pindah sementara. Itu demi kebaikan semua.
“Jangka panjang gimana, Bu? Rumah ini terlalu kokoh, Lingga yakin rumah ini masih kuat hingga Lingga punya anak nanti.” Mendengus kesal, Lingga hanya membuat ayahnya menggeram marah saja. Lingga menahan napas saat ayahnya meletakkan sendok dan garpunya, matanya yang setajam elang itu melotot ke arah Lingga dengan tatapan yang tak biasa.
“Tidak ada protes lagi, Lingga. Mulai kemasi barang-barangmu!”
Suara ayah begitu menusuk. Setiap keputusannya memang tak pernah didengar. Ayahnya egois, ibunya egois, dan kedua adiknya yang hanya bengong itu terlihat bodoh sekali. Ah, Lingga yang bodoh. Anak kecil seperti mereka tentu belum mengerti apa-apa kan?
Lingga meninggalkan ruang makan dengan hati dongkol. Ia setengah berlari menapaki tangga berputar menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.
Di kamar, tak lantas Lingga mendapat ketenangan. Kenyataan bahwa ibunya menggedor pintu kamarnya berkali-kali itu membuat Lingga memutar bola matanya.
“Ayah sangat marah gara-gara ulahmu. Seneng liat Ayah dan Ibu ribut?”
Lingga bisa mendengar ada isak pada suara ibunya yang mengiba. Oke, Lingga kalah. Ia beranjak dan membuka pintu kamar. “Maaf, Bu. Aku bakal beres-beres barangku…” pandangan Lingga menerawang, entah apa yang sebenarnya ia pikirkan. “…sekarang.”
Ibu memeluk Lingga. “Makasih, Nak.”
Lingga tak tahu keputusannya ini benar atau tidak. Yang jelas ia tidak suka dengan rumah kakek. Rumah besar yang auranya mengerikan. Ah, bukankah rumahnya juga mengerikan? Di mana-mana sama saja. Aura dingin dan aroma bunga yang menguar. Entah sejak kapan Lingga merasa rumahnya bukan lagi tempat yang nyaman. Dulu, Lingga pernah menginap di rumah kakek, dan nyatanya di sana lebih mengerikan.
Tapi melihat wajah ibu yang mengulas senyum kelegaan, Lingga putuskan untuk menekan egonya.
***
“Kak Lingga manyun mulu dari tadi, Ma.” Vian menunjuk kakaknya dengan ekspresi wajah meledek. Lingga mendelik, ingin mencekik adiknya yang nakal itu. Belum sampai ia membalas, Gian sudah menimpali kata-kata saudara kembarnya.
“Stay cool aja jelek, apalagi manyun gitu, malah makin jelek.” Gian menjulurkan lidah, disambut riuhnya tawa dari kedua anak kembar itu. Lingga menggeram, siap menjitak adik-adik jahilnya itu, kalau saja ibunya tidak berdeham. “Jangan ribut terus.”
Lingga menyerah dan lebih memilih menyandarkan tubuhnya ke sandaran mobil. Perjalanan menuju Cigugur, Jawa Barat, membuatnya sedikit pusing dan mual. Mabuk? Ah, sial. Tidak biasanya tubuhnya manja seperti ini.
Lingga bersyukur karena perjalanan tak selama yang ia bayangkan. Atau ia terlalu banyak tidur tadi? Mungkin saja.
Lingga masih setengah mengantuk saat mobilnya terhenti di depan rumah besar bergaya Belanda. Ibu membawa barang-barangnya sementara ayah membuka pintu gerbang. Gian dan Vian langsung berlarian, kegirangan. Suasana rumah kakek memang menyenangkan, berada di kaki gunung yang udaranya sejuk dan banyak pepohonan. Ibu juga bilang lebih suka tinggal di daerah pedesaan seperti rumah kakek. Tapi sejak kakek meninggal dua tahun lalu, keluarga mereka jadi jarang mengunjungi rumah besar ini.
“Suasananya tetap sama seperti dulu,” ibu bergumam. Lingga menoleh, namun tak mengatakan apa pun. Lingga sebenarnya sependapat dengan ibunya, tapi sepertinya pikiran mereka berbeda. Kalau ibu menghela napas panjang-panjang, menikmati udara pegunungan yang melegakan, lain halnya dengan Lingga yang berkali-kali menahan napas di perut. Ia sendiri tak tahu apa yang terjadi. Tapi sejak menginjakkan kaki di rumah kakek, seluruh bulu kuduknya meremang. Ada aroma-aroma bunga yang tak dikenal menguar di penjuru ruang.
Ayah masih sempat melihat-lihat kondisi rumah masa kecilnya sebelum pamitan. Pria itu harus mengawasi renovasi rumah mereka di kota, katanya.
“Ayah nggak tinggal di sini juga?” Lingga mengernyitkan dahi.
“Ya nggak bisa, Nak. Siapa yang urus rumah di kota?”
Lingga angkat bahu. Kurang peduli. Ia menurut saja saat ibunya meminta ia mencium punggung tangan ayahnya sebelum berangkat kembali ke kota.
“Jaga diri, jaga ibu dan jaga adik-adikmu,” pesan ayah sebelum lelaki itu berangkat kembali ke kota. Lingga mengangguk sekenanya, lantas mendesah panjang setelah ayahnya tak terlihat lagi.
Lingga tersentak ketika merasa pundaknya disentuh, saat menoleh, ia nyaris berteriak saat melihat laki-laki bermata satu itu berdiri kurang dari satu jengkal darinya.
“Ya ampun, mang Damar bikin kaget aja.” Lingga menghembuskan napas lega. Ia mengenali laki-laki bermata tidak sempurna itu sebagai penjaga rumah dan tukang kebun di sini. Jadi, meski lama tak mereka kunjungi, rumah tetap terawat berkat ada mang Damar di sini.
“Seneng liat Den Lingga lagi. Sekarang sudah setinggi ini…” Mang Damar tersenyum, terkenang kembali terakhir kali Lingga datang, bocah itu masih SMP dan tinggi badannya sangat minim sekali.
“Aku banyak minum susu, Mang.” Lingga nyengir.
“Ibu capek, mau istirahat dulu, ya…”
Lingga menoleh pada ibunya yang menaiki anak tangga menuju lantai dua. Padahal di lantai bawah juga banyak sekali kamar. Sekitar delapan atau bahkan lebih, mungkin. Yang jelas, rumah ini terlalu besar jika hanya dihuni satu anggota keluarga.
“Ayo, saya bantu beres-beres.” Mang Damar meraih ransel di punggung Lingga dan membawakannya. “Mau pilih kamar yang mana, Den? Atau mau di lantai dua juga?”
Lingga menggeleng. “Capek naik turun tangga, Mang. Di bawah saja. Yang paling dekat ruang tamu.”
Mang Damar menurut dan mengantar Lingga menuju kamar yang dimaksud. Kamar yang besar. Luasnya mungkin sekitar 10x10 meter. Lingga tak tahu buat apa kamar sebesar ini, ia tidak berminat main basket di kamar.
Ranjang besar dengan empat tiang kelambu di setiap sisinya. Ini seperti bekas kamar wanita. Mungkin kamar utama, ya? Tempat kakek dan nenek dulu?
Mang Damar meninggalkan kamar itu setelah membantu Lingga memasukkan pakaiannya di lemari. Lingga merebahkan tubuhnya di ranjang, ia sempat meraih botol minyak kayu putih saat hendak berbaring. Sambil tiduran, ia mengoleskan minyak itu ke perut. Mual usai perjalanan tadi memang tidak wajar. Lingga bahkan harus menahan diri untuk tidak muntah. Terlebih aroma-aroma bunga asing yang menyengat itu, ah, Lingga nyaris muntah lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments