Lingga sempat hampir terlelap, tapi suara gemelatuk langkah yang menggema itu membuat kelopak matanya kembali terbuka. Suara langkah siapa itu? Ibu? Sepertinya bukan. Pasti ibunya sudah berangkat mengantar Gian dan Vian.
Mang Damar? Sudah pasti itu suara mang Damar. Lingga melompat turun dari ranjang dan beranjak cepat keluar kamar. Namun saat membuka pintu kamar, tak ada seorang pun Lingga dapati. Suara gemelatuk langkah juga tak terdengar lagi. Sunyi. Senyap.
“Mang?” Lingga melongok kanan kiri, dan memang tak menemukan seorang pun di lorong sekitar kamarnya. Halusinasi? Oh, jangan lagi!
Lingga baru akan kembali ke kamarnya saat punggunya serasa ditepuk. Lingga terlonjak kaget, ia memekik keras saat membalik tubuhnya dan mendapati sosok laki-laki berwajah seram berdiri hanya beberapa senti dari tubuhnya.
“Mang Damar!!!” Lingga berseru jengkel, sekaligus lega saat menyadari laki-laki berwajah seram itu ternyata mang Damar. Sebenarnya, mata cacatnya itulah yang membuat wajah mang Damar terkesan sangat horor. Dulu, ketika masih kecil dan pertama kali melihat wajah mang Damar, Lingga juga menangis ketakutan. “Selalu bikin kaget.”
“Mamang denger Den Lingga manggil barusan,” ucap mang Damar, tanpa peduli dengan gerutu Lingga. Lingga melihat ada gunting besar di tangan kanan mang Damar lantas bertanya, “itu buat apa?”
Damar mengangkat guntingnya, “Ini buat motong rumput di halaman depan, Den” jelas mang Damar. “Aden nggak sekolah? Sakit?”
“Sebenernya nggak sih…” aku Lingga, sedikit malu.
“Kalo nggak sakit, mending den Lingga berangkat sekolah sekarang, daripada…” Mang Damar sengaja menggantung kalimatnya, membuat Lingga penasaran.
“Daripada apa?”
“Daripada di rumah terus, serem.” Mang Damar berlalu pergi setelah mengatakan itu. Lingga membenarkan kata-kata mang Damar. Memang lebih baik ia di sekolah daripada terlalu lama di rumah yang banyak penghuni ‘lain’ dan selalu membuatnya tertekan.
***
Lingga putuskan berangkat ke sekolah. Meski terlalu sempit waktu yang ia punya untuk bertukar seragam lain dan mengabari ibunya yang mungkin sudah sampai di sekolah adik kembarnya. Lingga sudah minta tolong mang Damar untuk memanasi motor sportnya sementara ia menelepon ibu. Ibunya sempat keberatan, tapi setelah Lingga jelaskan bahwa ada ulangan di sekolah, ibunya mengerti dan mengiyakan saja.
Lingga berpamitan pada mang Damar dan segera memacu motornya dengan kecepatan rendah. Meski sebenarnya ia hampir terlambat, terlebih jarak sekolahnya sangat jauh dari desa. Lingga belum memikirkan untuk pindah sekolah, karena memang niat tinggal di rumah kakek hanya sementara. Mang Damar selalu berpesan agar tidak berkendara dengan laju cepat di sekitar desa. Lingga menurut saja, mungkin karena banyak anak kecil di sekitar ini. Sejak tadi Lingga melihat banyak anak kecil yang berlarian di jalanan, herannya mereka tak berpakaian.
Lingga mengabaikan anak-anak kecil itu dan terfokus pada jalanan yang kurang bagus di hadapannya. Ada banyak lubang pada aspalnya, genangan air di mana-mana, dan rambut hitam panjang yang tergeletak di badan jalan.
Tunggu? Rambut?
Motor Lingga oleng dan nyaris terguling jika refleknya tak bagus untuk segera membenahi kendaraannya. Lingga masih berdebar menyadari ia hampir terguling dari motornya.
***
Pucat. Lingga sangat pucat saat sampai di sekolah. Teman-temannya sampai heran melihat pemuda itu mengetuk pintu kelas yang sudah tertutup karena bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi 10 menit lalu. Lingga melihat bu Mutia—guru bahasa Indonesia itu membukakan pintu kelas. Pemuda itu menunduk, “maaf saya telat.”
Bu Mutia hanya diam, memperhatikan wajah Lingga yang pasi. Meski ulangan bahasa Indonesia sedang berlangsung, dan Lingga terlambat datang, bu Mutia tidak tega memarahi jika Lingga sepucat ini. Mungkin Lingga sudah memaksakan diri sampai ke sekolah. Guru wanita itu mempersilahkan Lingga kembali ke bangkunya. Setelah mengucap terimakasih, Lingga berjalan seperti zombi, baru sepagi ini, tapi terlalu banyak yang terjadi.
Lingga hampir sampai di bangkunya yang terletak paling belakang, Lingga terkejut saat dirasa kakinya menyandung sesuatu. Menjatuhkan pandangannya ke bawah, Lingga melihat ada kepala gadis berambut panjang itu lagi, tersenyum ke arahnya.
Mual kembali, perutnya teraduk hingga ingin muntah. Tapi isi perutnya sudah tumpah semua tadi pagi. Sebagai gantinya, pening menyerang kepalanya hingga dunia terasa berputar. Kaki-kakinya kebas, Lingga tidak merasa berdiri dengan sempurna. Dan ia bisa mendengar saat debum tubuhnya menghantam lantai ruang kelas, disusul suara riuh teman-temannya yang terkejut.
Lingga menyadari ada banyak orang yang mengelilinginya, ia juga masih bisa merasakan saat tubuhnya digotong entah ke mana. Tapi tubuhnya terlalu lemas. Tidak satu pun organ bisa diperintahnya untuk bekerja. Termasuk mata untuk sekadar terbuka.
“Astaga… dia kenapa?”
“Tiba-tiba jatuh pingsan di kelas.”
“Suhu tubuhnya sangat rendah…”
“Mukanya juga pucat.”
Bahkan Lingga sudah dibaringkan di ranjang, ia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya, namun makin samar, semakin samar hingga akhirnya hilang seluruh kesadarannya.
***
Bu Mutia yang menelpon ibu Lingga beberapa menit setelah Lingga siuman. Kata petugas kesehatan, Lingga hanya kelaparan. Ada semangkuk nasi soto yang dibawakan untuk Lingga saat ia baru membuka mata.
“Bikin semua kaget aja.” Panji—teman sebangku Lingga memukul kepalanya dengan bantal sebelum tergelak. “Gila aja, kelaperan di sekolah, sampe pingsan.” Ledekan itu jelas membuat Lingga tersinggung, tapi pemuda itu masih menikmati sarapannya. Tadi pagi, makanannya memang terbuang semua.
“Hari ini mending kamu istirahat di rumah,” kata bu Mutia yang baru masuk ke ruang UKS. Lingga mengangkat kepalanya dan melihat wanita itu baru memasukkan ponsel ke saku bajunya.
“Bu Mutia nggak hubungin Ibu saya, kan?” Lingga bertanya ragu-ragu.
“Lho? Memangnya kenapa? Barusan memang hubungin Ibu kamu dan katanya langsung mau jemput.”
Lingga menepuk wajahnya kuat-kuat. Hilang semua nafsu makannya membayangkan omelan ibu. Lingga memaksa mulutnya tetap mengunyah saat petugas UKS terus menatapnya, seolah menuntut agar ia segera menghabiskan makanannya.
Saat mangkuknya sudah kosong, bu Ratih memintanya untuk beristirahat lagi. Tapi ternyata ibunya sudah sampai dengan napas tersengal-sengal.
“Apa yang terjadi?” Ibu Lingga mungkin tidak sadar saat membuka pintu dengan tenaga yang berlebihan sampai daun pintunya membentur dinding. Padahal ada bu Mutia di sebelahnya.
“Cuma masuk angin dan kelaparan, Bu,” jelas bu Ratih yang membuat Lingga tertunduk malu.
Ibunya menggeleng lemah, heran saja melihat anak sulungnya yang jadi aneh begini. Kondisi fisik dan kejiwaannya seolah drop sejak pindah ke rumah kakek. Tapi sampai saat ini, ayahnya bilang belum bisa kembali dari kota dulu.
“Maaf ngerepotin Ibu guru, ya…” Ibu menjabat tangan bu Mutia dan bu Ratih bergiliran. Wanita itu mohon pamit dan membimbing Lingga turun dari ranjang.
Wanita itu tidak mengatakan apa pun hingga sampai di depan mobil Innova silver yang terparkir di depan gerbang sekolah. Lingga segera membuka pintu mobil dan duduk di jok depan sementara ibunya duduk di belakang kemudi. Setelah memakai sabuk pengaman, wanita itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
“Ibu marah?” tanya Lingga saat merasa kediaman ibunya semakin membekukan.
“Nggak kok,” sahut ibunya.
“Kok diam dari tadi?” Lingga tak menoleh saat menanyakan itu, khawatir menemukan wajah marah ibunya.
“Nggak apa-apa…”
Tapi ternyata tidak. Ibu bukan type yang marah dalam diam. Kalau marah, ibu akan mengomel panjang.
Lingga diam dan enggan menanyakan apa pun lagi. Pandangannya menerawang, tatapan matanya kosong mengarah ke jalanan yang lumayan ramai. Kota memang lebih membuatnya merasa aman, setidaknya masih banyak manusia yang membuat makhluk astral itu enggan menampakkan dirinya.
Lingga baru saja bisa bernapas lega, tapi saat itu mendadak ia melihat ada penyeberang jalan yang tidak menoleh sekitar dulu. Gadis cantik, rambut panjang dan kulit putih, Lingga bisa mengenalinya, yang kemarin di lihat di depan rumah, tapi ini bukan saat bernostalgia jika Lingga harus segera memperingatkan ibunya.
“Awas!!!” teriakan Lingga membuat ibunya terkejut dan sontak menginjak rem mobil. Suara decit mobil terdengar. Lingga yang saat itu tidak memakai sabuk pengaman sampai terbentur dashbor.
“Ada apa, sih?” tanya ibu, terheran.
“Ada yang nyeberang tadi.”
“Nggak ada yang nyeberang, Ling. Kamu jangan suka aneh-aneh gitu, ah…” Ibu berdecak, dan itu tentu membuat Lingga tak habis pikir. Jelas-jelas tadi ada, kan?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments