Kenapa? Kenapa ‘mereka’ selalu mengancamku? Apa ‘mereka’ menganggapku sebagai ancaman? Apa aku berbahaya untuk ‘mereka’? Justru ‘mereka’ kan yang berbahaya untukku?! Harusnya aku yang marah dan mengancam ‘mereka’ untuk tidak lagi menampakkan wujudnya yang menyeramkan!
Lingga menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Tidak sampai terpejam. Karena Lingga sedikit trauma dengan fenomena tindihan yang dia alami kemarin malam.
Tapi berdiam diri seperti ini juga semakin membuat Lingga stress. Harus cari kegiatan, apapun. Pikir Lingga.
Akhirnya, Lingga memutuskan untuk keluar dari kamarnya dengan membawa gitar. Bermain di luar mungkin lebih baik. Sekalian menghabiskan waktu menunggu si kembar dan ibu pulang.
Lalu, kenapa aku tidak sekolah saja? Batin Lingga.
Saat sampai ruang tamu, Lingga bertemu lagi dengan mang Damar. Pria tua itu terlihat sedang membersihkan sesuatu di sana.
“Mang, lagi ngapain? Apaan tuh?” tanya Lingga penasaran.
Mang Damar menoleh ke belakang dan menemukan Lingga yang sedang melongok penasaran. “Ini piringan hitam kesayangan almarhum Kakek Den Lingga,” jawab mang Damar.
Lingga tiba-tiba tertarik. Rasa penasarannya kembali membuncah. Apalagi ini menyangkut benda peninggalan kakeknya.
“Ternyata kakek memang punya piringan hitam ya,” kata Lingga antusias. Kali pertama melihat benda sekuno ini. Mang Damar mengangguk. Tangan keriputnya dengan lihai membersihkan celah-celah piringan hitam tersebut sampai bersih, mengkilap!
“Ah,” Lingga seperti teringat sesuatu. “Mungkin musik klasik itu berasal dari piringan hitam ini ya Mang?” tanya Lingga.
“Musik klasik? Loh Den, piringan hitam ini udah nggak digunakan lagi. Sudah rusak. Tapi memang saya selalu membersihkannya Den. Itu pesan dari almarhum Kakek Den Lingga. Soalnya, ini benda kesayangannya,” jelas mang Damar.
Lingga terhenyak. Bukan dari situ? Lalu dari mana? Pikirnya.
“Terus…apa Mang Damar punya kotak musik… atau radio gitu?”
Mang Damar menggeleng.
“Terus… apa Mang Damar pernah denger alunan musik klasik di rumah ini?”
Lagi, mang Damar menggeleng.
“Mungkin ini kerjaan si gadis Belanda itu, Den,” sahut mang Damar kurang yakin. Tapi Lingga malah mengangguk dengan mantap.
“Oh iya Mang, waktu itu aku sempet bicara sama Elizabeth,” kata Lingga setengah berbisik.
Mang Damar segera mengalihkan pandangannya ke arah Lingga. “Saya kan udah bilang Den, jangan ladeni hantu itu. Den Lingga harus hati-hati dong,” perintah mang Damar. Suaranya terdengar cemas sekali.
“Ya, maaf, Mang. Habisnya... malem itu dia cantik banget,” kata Lingga lagi, masih berbisik. Pemuda itu menundukkan wajahnya. Tidak mau menatap mata satu mang Damar yang jelas-jelas kesal terhadapnya.
“Dasar anak muda! Ceroboh hanya karena melihat wanita cantik,” sahut mang Damar. Lingga baru akan menimpali, kalau saja tidak terdengar suara ibu dan Gian di halaman rumah.
Mereka sudah pulang. Batin Lingga.
Vian masuk lebih dulu dengan wajah menunduk. Lalu diikuti Gian yang menenteng sekantung makanan ringan, dan terakhir ibu.
Lingga langsung mengambil coklat yang menyembul keluar dari kantung itu dengan cepat. Gian ingin merebutnya kembali, tapi ibu sudah menyuruhnya untuk segera berganti baju. Mang Damar pamit ke belakang. Piringan hitam yang sudah dia bersihkan itu diletakkan lagi ke tempatnya, tersimpan rapi di dalam lemari ukuran sedang yang ada di ruang tamu.
Oh, jadi di situ ya disimpannya. Gumam Lingga.
“Ling, Ibu punya kabar bagus buat kamu,” kata ibunya tiba-tiba.
“Apa, Bu? Rumah kita di kota sudah selesai direnovasi?” tanya Lingga antusias. Kalau benar rumahnya sudah selesai direnovasi, Lingga akan sangat senang.
“Bukan Ling, tapi… Vian terpilih ikut olimpiade matematika tingkat kabupaten!” jawab ibunya senang, dan bangga.
Lingga agak kecewa sebenarnya, tapi juga senang. Adiknya yang satu itu memang pintar. Beda sekali dengan Gian.
Kalau dipikir-pikir, sebagai anak kembar, mereka itu banyak bedanya. Gian gemuk, Vian kurus. Gian supel, Vian agak pemalu. Gian malas, Vian rajin. Gian agak bodoh, Vian pintar. Memikirkan itu membuat Lingga tertawa.
“Kenapa kamu ketawa, Ling? Oh, seneng ya?” tebak ibu.
“Hah? I‒iya, Bu. Aku seneng, Vian bisa berprestasi di sekolahnya,” jawab Lingga. “Bu, aku lapar.” Lingga mengelus-elus perutnya yang sudah keruyukan minta diisi. Ibu mengacak rambut Lingga, sebelum beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan siang.
“Panggil Gian dan Vian juga ya, Ling,” perintah ibu. Lingga dengan semangat bilang, “oke, siap Bu!”
Lingga berjalan menaiki tangga menuju lantai atas. Tempat kamar Gian dan Vian berada. Kamar mereka terletak paling pojok, di sebelah kamar ibu. Di lantai atas, memang tidak terlalu banyak ruang, seperti di lantai bawah.
Lingga mengetuk pintu kamar Gian dengan kencang. Sengaja. Gian keluar dengan wajah ditekuk. Masih dendam karena coklat kesayangannya diambil oleh Lingga.
“Nanti kakak beliin lagi deh. Yang lebih gede,” kata Lingga, merayu adiknya.
“Emangnya Kakak punya uang gitu? Huuuu~ jangan sok deh!” balas Gian sambil menjulurkan lidahnya ke arah Lingga. Lalu berlari menuruni tangga, sebelum Lingga memitingnya dengan erat.
Lingga menghela napas. Kelakuan Gian memang selalu membuat Lingga naik darah.
Ah, lupakan Gian. Sekarang giliran Vian yang harus aku panggil. Gumam Lingga.
Biasanya Vian langsung keluar kalau sudah mendengar ada ribut-ribut dan suara Gian. Pikir Lingga sebelum mengetuk pintu kamar bercat putih bersih tersebut.
“Vian, makan yuk,” kata Lingga. Tangannya tidak berhenti mengetuk, walau tidak sekencang seperti saat mengetuk kamar Gian.
“Aku lagi belajar. Bawa aja makanannya ke sini,” sahut Vian dari dalam kamar. Lingga mengangguk, “oke,” katanya.
Sampai di ruang makan, Lingga langsung mengambilkan beberapa lauk untuk makan siang Vian.
“Loh? Buat siapa itu? Mana Vian?” tanya ibu heran. Gian sudah mulai mengunyah. Mulutnya penuh.
“Buat Vian, Bu. Dia katanya mau makan di kamar aja. Lagi belajar soalnya,” jelas Lingga. Ibu mengangguk mengerti. “Iya ya, mulai dari sekarang Vian emang harus rajin belajar supaya dapet juara satu nanti,” kata ibu.
“Betul, Bu. Nah, aku kasih ini dulu ke Vian.”
Ibu mengangguk. Gian mengambil sepotong ayam goreng lagi, karena piringnya sudah kosong.
***
“Vi, ini makanannya. Buka dong pintunya,” pinta Lingga. Tidak terdengar jawaban dari dalam kamar. Mungkin ketiduran? Pikir Lingga.
“Vi?” panggil Lingga sekali lagi.
“Taro aja di luar. Nanti aku ambil,” sahut Vian dari dalam kamar. Duh, sebegitu sibuknya ya, sampe nggak bisa bukain pintu? Batin Lingga.
“Oke, Kakak taro di sini ya.” Lingga menunduk, meletakkan sepiring makanan yang dibawanya untuk Vian. Tanpa sengaja, dari lubang kunci kamar Vian, Lingga melihat ada sesuatu yang janggal.
Sejak kapan rambut Vian sepanjang itu? Dan…sejak kapan kamar Vian berbau..bu―
DEG
“Jangan mengintip sembarangan kak.”
Jantung Lingga seakan mau copot. Itu bukan Vian. Vian adiknya tidak punya wajah menyeramkan seperti itu. Lingga yakin itu bukan Vian.
Lingga bergerak mundur perlahan, saat dilihatnya mata Vian semakin besar dan besar. Darah hitam menetes-netes seperti airmata. Dan ternyata, yang menyebabkan kamar Vian berbau busuk adalah, adanya air liur yang keluar dari mulut Vian.
Menjijikkan! Apa yang terjadi pada Vian?! Batin Lingga sambil berlari menuruni tangga.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Avilla Maria
saya sangat suka pake banget lagi/Drool//Drool//Drool//Drool/
2024-08-28
0