“I‒iya, apa Bu?” Lingga baru menyahut setelah ibu menegurnya dengan cara tidak biasa. Ibu kembali tenang. Menatap Lingga dengan pandangan khawatir. Lingga menunduk dalam, tidak mau menatap makanan yang tersaji di atas meja.
“Terserah kamu saja, Ling,” kata ibu dengan suara pasrah. Lingga sungguh merasa sangat bersalah pada ibunya.
“Maaf, Bu. Aku... ke kamar dulu.” Lingga beranjak dari kursi makan. Diikuti tatapan aneh dari kedua adik kembarnya. Tidak mau ambil pusing dengan masalah orang dewasa, si kembar melanjutkan acara makannya yang tadi sempat tertunda.
Lingga bohong kalau akan kembali ke kamar. Nyatanya, dia malah menghampiri mang Damar yang sedang bersih-bersih di halaman belakang. Mang Damar yang menyadari kehadiran Lingga segera menghentikan aktivitasnya. “Den Lingga, bagaimana, sudah baikan?” tanya mang Damar sopan.
Lingga mengangguk. Dia duduk di atas rumput Jepang yang tumbuh dengan baik dan subur. Seperti duduk di atas karpet. Pikir Lingga. Mang Damar kembali melanjutkan aktivitasnya, membuang sampah ke bak depan. Sekembalinya, ia tersenyum kepada Lingga yang duduk selonjoran di rumput.
“Mang, rumah ini aneh ya? Ada apa sih? Pasti mang Damar tahu sesuatu kan?” tanya Lingga beruntut. Mang Damar melirik Lingga, dan menyimpan selang air yang dipegangnya untuk bisa duduk di sebelah anak muda itu.
“Kakek Den Lingga memangnya tidak cerita? Rumah ini memang sedikit antik, Den,” balas mang Damar. Lingga mengerutkan keningnya, “antik?” tanya Lingga lagi. Mang Damar mengangguk, dan memutuskan untuk bercerita tentang asal-usul rumah kakek Lingga ini.
“Iya antik, Den. Jadi begini, rumah ini awalnya adalah milik dari seorang juragan tanah paling kaya di daerah sini. Dulu sekali, waktu Belanda masih menjajah negeri kita ini, Den,” jelas mang Damar. Lingga mendengarkan dengan seksama.
“Nah, juragan tanah itu jatuh cinta pada seorang gadis Belanda yang sangat cantik. Gadis itu keturunan bangsawan di Belanda sana. Dia selalu dilarang keluar rumah oleh para penjaganya di sini. Tapi si juragan tanah tidak mau menyerah sampai akhirnya dia berhasil membawa gadis Belanda itu kabur, dan tinggal di rumahnya.” Mang Damar menghela napas sebentar dan melanjutkan, “gadis itu sangat senang, Den. Ternyata si juragan tanah tidak bertepuk sebelah tangan. Si gadis juga suka padanya. Mereka hidup bersama di rumah ini, dan punya anak. Tapi, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama, Den. Para penjaga gadis itu akhirnya tahu kalau juragan tanah paling terkenal di daerah sini menculik si gadis. Maka mereka pun langsung menuju rumah si juragan tanah dengan membawa persenjataan lengkap. Dan terjadilah pembantaian itu, Den.”
“Pembantaian? Maksudnya, Mang?” tanya Lingga heran.
“Ya, keluarga mereka dibantai oleh pasukan-pasukan Belanda penjaga gadis itu, Den. Si juragan tanah di tembak mati, dan anaknya disiksa. Di celupkan ke dalam sumur yang ada di sana.” Mang Damar menunjuk sebuah sumur tua yang terletak di tengah-tengah halaman belakang. Lingga melihat sumur itu dan bergidik ngeri.
“Lalu, si gadis bagaimana?” Lingga makin penasaran dengan cerita mang Damar.
“Si gadis dibawa kembali ke rumahnya Den. Dia dijaga semakin ketat. Seperti tahanan. Dikurung di dalam ruangan sempit yang pengap. Tidak mau makan dan sering mengamuk. Lalu terjadi lagi tragedi…” mang Damar menggantung kalimatnya. Agak ragu untuk menceritakan kisah yang ini kepada Lingga.
“Tragedi apa, Mang? Yang jelas dong,” pinta Lingga sedikit memaksa. Pemuda itu sudah terlanjur larut dengan cerita mang Damar. Sehingga kalau ceritanya tidak tuntas, maka dia akan semakin penasaran, dan sulit terlelap nanti malam.
“Itu Den... tidak tahu bagaimana caranya, si gadis berhasil keluar dari sana. Dengan membawa sebuah senjata api, si gadis selalu keluar malam, dan membunuh setiap pasangan yang lewat di depannya, Den. Hingga suatu malam, saat korban si gadis semakin banyak, warga mengamuk dan menangkap si gadis lalu menghukum pancung gadis tersebut.”
“Kejam sekali,” sahut Lingga. Mang Damar mengangguk membenarkan. “Tapi gadis itu juga kejam bukan, Den?” lanjut mang Damar lagi.
Lingga tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya menerawang jauh. Dan tanpa sengaja, Lingga seperti melihat ada sesosok perempuan berdiri di depannya. Pakaiannya bagus, namun, saat ingin melihat wajahnya, Lingga terhenyak. Tubuh itu tidak mempunyai kepala!
“Mang, di sana ada―”
“Sebaiknya Den Lingga masuk ke dalam,” kata mang Damar, memotong ucapan Lingga.
“Mang? Gadis itu namanya siapa?” tanya Lingga sebelum masuk ke dalam. Mang Damar tersenyum, lalu menjawab, “namanya Elizabeth, Den.”
“Kalau Den Lingga bertemu dengannya, jangan dipedulikan. Anggap saja Den Lingga tidak melihat wujudnya yang menyedihkan,” kata mang Damar.
Lingga mengangguk ragu. Ternyata mang Damar juga pernah melihatnya... batin Lingga. Cepat-cepat Lingga masuk ke dalam.
Tanpa Lingga sadari, ada sekelompok anak kecil berkulit pucat yang mencoba untuk membuka sumur di halaman belakang rumah. Desisan, geraman, dan tangisan mereka begitu jelas di telinga mang Damar. Tapi sayang, mang Damar tidak bisa melihatnya.
***
Bola sepak itu melambung sangat tinggi. Gian berlari dan menangkapnya sendiri. Berperan sebagai striker dan penjaga gawang sekaligus itu tidak menyenangkan. Padahal halaman belakang seluas ini pasti seru kalau bermain bola ramai-ramai.
Masalahnya, Vian‒sodara kembarnya itu perempuan, larinya tidak secepat dirinya atau kak Lingga. Gadis kecil itu juga pasti menangis kencang-kencang kalau terkena hantaman bola. Cuma kakaknya yang asyik diajak main bola. Masalahnya kakak sulungnya tidak pernah mau bermain lagi sejak pindah di rumah kakek. Gian tidak berani memaksa. Mau bagaimana lagi? Kakaknya itu suka mendadak aneh. Berdiri tegang, lalu tiba-tiba muntah tak kenal tempat. Gian pikir kakaknya itu punya penyakit, tapi dokter yang ibu panggil ke rumah cuma mengatakan kalau Lingga hanya terlalu stress dan kelelahan. Gian kira kakaknya pasti diputus pacar.
Hup! Gian menggiring bolanya dengan belari sangat cepat, tubuhnya berputar, meniru gaya pemain bola idolanya—Bambang Pamungkas, dan kembali menendangnya dengan power full. Bola melambung sangat tinggi. Lebih tinggi dari sebelumnya. Gian menyeringai, ia memang berbakat jadi penyerang. Tapi, tendangan supernya itu membuat bola sepaknya melambung terlalu jauh, menggelinding melalui semak-semak dan berhenti di sebelah sumur tua.
Gian berlari cepat, menjemput bolanya. Ia meraih benda bundar itu dan segera melesat, namun langkahnya berbalik kembali karena tertarik akan sesuatu, sumur itu. Ada papan tipis yang menutup bibir sumur dengan sempurna. Apa di dalam sana masih ada airnya? Gian penasaran. Perlahan Gian membuka penutup sumur itu dan membuang papan pipih itu sembarangan. Bau pengap sontak menyerang indera penciumannya.
***
Dapur berantakan saat Lingga mencoba memasak sesuatu. Ibu sedang sakit, dan tak ada pilihan lain kecuali memasak untuk makan siangnya dan kedua adiknya. Kadang jadi anak tertua itu tidak menyenangkan. Tanggung jawab menjaga kedua adik nakal dan harus menjamin mereka tidak sampai kelaparan. Lingga sendiri tidak bisa memasak kecuali mie rebus. Dan ibunya melarang mengkonsumsi makanan itu. Belakangan ibunya menilai makanan itu yang membuat Lingga sering muntah dan lemas.
Telur dadar yang permukaannya sedikit gosong sudah siap! Aroma hangus menggelitik hidungnya. Meski begitu, Lingga tetap lega bisa memasak ala kadarnya. Lampu warm pada rice cooker juga sudah menyala, berarti nasi sudah matang. Lingga tinggal menatanya di piring dan memanggil adik-adiknya. Lingga malas menatanya di ruang makan, lebih baik Vian dan Gian makan di dapur agar piring kotor bisa segera dibersihkan.
Masalahnya sekarang, di mana sepasang adik kembarnya itu? Dengan rumah sebesar ini, mencari kedua adiknya seperti bermain di taman labirin.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments