NovelToon NovelToon

Gerbang Kedua

Bab 1. Rumah Baru

"Aku nggak mau pindah!" Lingga meninggalkan meja makan meski setengah nasi di piringnya masih tersisa. Vian dan Gian—sepasang adik kembarnya itu hanya mengamati kakaknya dengan bahu terangkat. Entahlah, pikiran Lingga tak ada satu pun yang bisa menebak. Termasuk ibu dan ayahnya sendiri.

“Lingga, Ayah belum selesai bicara.” Rendra menahan anak sulungnya yang sudah beranjak. Lingga menoleh tanpa minat. “Apa lagi? Aku nggak mau pindah rumah. Titik!”

Keras kepala? Biar saja yang lain menganggap demikian. Tapi keputusan ayah untuk merenovasi rumah, menurutnya itu tidak masuk akal. Rumahnya terlalu kokoh untuk direnovasi.

“Ini untuk jangka panjang, Lingga,” suara ibu membujuk. Wanita itu pun kehilangan nafsu makannya. Ayah sendiri juga bingung, haruskah ia menceritakan kebenaran pada anak-anaknya? Tapi harusnya ia tetap merahasiakan alasan mereka pindah sementara. Itu demi kebaikan semua.

“Jangka panjang gimana, Bu? Rumah ini terlalu kokoh, Lingga yakin rumah ini masih kuat hingga Lingga punya anak nanti.” Mendengus kesal, Lingga hanya membuat ayahnya menggeram marah saja. Lingga menahan napas saat ayahnya meletakkan sendok dan garpunya, matanya yang setajam elang itu melotot ke arah Lingga dengan tatapan yang tak biasa.

“Tidak ada protes lagi, Lingga. Mulai kemasi barang-barangmu!”

Suara ayah begitu menusuk. Setiap keputusannya memang tak pernah didengar. Ayahnya egois, ibunya egois, dan kedua adiknya yang hanya bengong itu terlihat bodoh sekali. Ah, Lingga yang bodoh. Anak kecil seperti mereka tentu belum mengerti apa-apa kan?

Lingga meninggalkan ruang makan dengan hati dongkol. Ia setengah berlari menapaki tangga berputar menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.

Di kamar, tak lantas Lingga mendapat ketenangan. Kenyataan bahwa ibunya menggedor pintu kamarnya berkali-kali itu membuat Lingga memutar bola matanya.

“Ayah sangat marah gara-gara ulahmu. Seneng liat Ayah dan Ibu ribut?”

Lingga bisa mendengar ada isak pada suara ibunya yang mengiba. Oke, Lingga kalah. Ia beranjak dan membuka pintu kamar. “Maaf, Bu. Aku bakal beres-beres barangku…” pandangan Lingga menerawang, entah apa yang sebenarnya ia pikirkan. “…sekarang.”

Ibu memeluk Lingga. “Makasih, Nak.”

Lingga tak tahu keputusannya ini benar atau tidak. Yang jelas ia tidak suka dengan rumah kakek. Rumah besar yang auranya mengerikan. Ah, bukankah rumahnya juga mengerikan? Di mana-mana sama saja. Aura dingin dan aroma bunga yang menguar. Entah sejak kapan Lingga merasa rumahnya bukan lagi tempat yang nyaman. Dulu, Lingga pernah menginap di rumah kakek, dan nyatanya di sana lebih mengerikan.

Tapi melihat wajah ibu yang mengulas senyum kelegaan, Lingga putuskan untuk menekan egonya.

***

“Kak Lingga manyun mulu dari tadi, Ma.” Vian menunjuk kakaknya dengan ekspresi wajah meledek. Lingga mendelik, ingin mencekik adiknya yang nakal itu. Belum sampai ia membalas, Gian sudah menimpali kata-kata saudara kembarnya.

“Stay cool aja jelek, apalagi manyun gitu, malah makin jelek.” Gian menjulurkan lidah, disambut riuhnya tawa dari kedua anak kembar itu. Lingga menggeram, siap menjitak adik-adik jahilnya itu, kalau saja ibunya tidak berdeham. “Jangan ribut terus.”

Lingga menyerah dan lebih memilih menyandarkan tubuhnya ke sandaran mobil. Perjalanan menuju Cigugur, Jawa Barat, membuatnya sedikit pusing dan mual. Mabuk? Ah, sial. Tidak biasanya tubuhnya manja seperti ini.

Lingga bersyukur karena perjalanan tak selama yang ia bayangkan. Atau ia terlalu banyak tidur tadi? Mungkin saja.

Lingga masih setengah mengantuk saat mobilnya terhenti di depan rumah besar bergaya Belanda. Ibu membawa barang-barangnya sementara ayah membuka pintu gerbang. Gian dan Vian langsung berlarian, kegirangan. Suasana rumah kakek memang menyenangkan, berada di kaki gunung yang udaranya sejuk dan banyak pepohonan. Ibu juga bilang lebih suka tinggal di daerah pedesaan seperti rumah kakek. Tapi sejak kakek meninggal dua tahun lalu, keluarga mereka jadi jarang mengunjungi rumah besar ini.

“Suasananya tetap sama seperti dulu,” ibu bergumam. Lingga menoleh, namun tak mengatakan apa pun. Lingga sebenarnya sependapat dengan ibunya, tapi sepertinya pikiran mereka berbeda. Kalau ibu menghela napas panjang-panjang, menikmati udara pegunungan yang melegakan, lain halnya dengan Lingga yang berkali-kali menahan napas di perut. Ia sendiri tak tahu apa yang terjadi. Tapi sejak menginjakkan kaki di rumah kakek, seluruh bulu kuduknya meremang. Ada aroma-aroma bunga yang tak dikenal menguar di penjuru ruang.

Ayah masih sempat melihat-lihat kondisi rumah masa kecilnya sebelum pamitan. Pria itu harus mengawasi renovasi rumah mereka di kota, katanya.

“Ayah nggak tinggal di sini juga?” Lingga mengernyitkan dahi.

“Ya nggak bisa, Nak. Siapa yang urus rumah di kota?”

Lingga angkat bahu. Kurang peduli. Ia menurut saja saat ibunya meminta ia mencium punggung tangan ayahnya sebelum berangkat kembali ke kota.

“Jaga diri, jaga ibu dan jaga adik-adikmu,” pesan ayah sebelum lelaki itu berangkat kembali ke kota. Lingga mengangguk sekenanya, lantas mendesah panjang setelah ayahnya tak terlihat lagi.

Lingga tersentak ketika merasa pundaknya disentuh, saat menoleh, ia nyaris berteriak saat melihat laki-laki bermata satu itu berdiri kurang dari satu jengkal darinya.

“Ya ampun, mang Damar bikin kaget aja.” Lingga menghembuskan napas lega. Ia mengenali laki-laki bermata tidak sempurna itu sebagai penjaga rumah dan tukang kebun di sini. Jadi, meski lama tak mereka kunjungi, rumah tetap terawat berkat ada mang Damar di sini.

“Seneng liat Den Lingga lagi. Sekarang sudah setinggi ini…” Mang Damar tersenyum, terkenang kembali terakhir kali Lingga datang, bocah itu masih SMP dan tinggi badannya sangat minim sekali.

“Aku banyak minum susu, Mang.” Lingga nyengir.

“Ibu capek, mau istirahat dulu, ya…”

Lingga menoleh pada ibunya yang menaiki anak tangga menuju lantai dua. Padahal di lantai bawah juga banyak sekali kamar. Sekitar delapan atau bahkan lebih, mungkin. Yang jelas, rumah ini terlalu besar jika hanya dihuni satu anggota keluarga.

“Ayo, saya bantu beres-beres.” Mang Damar meraih ransel di punggung Lingga dan membawakannya. “Mau pilih kamar yang mana, Den? Atau mau di lantai dua juga?”

Lingga menggeleng. “Capek naik turun tangga, Mang. Di bawah saja. Yang paling dekat ruang tamu.”

Mang Damar menurut dan mengantar Lingga menuju kamar yang dimaksud. Kamar yang besar. Luasnya mungkin sekitar 10x10 meter. Lingga tak tahu buat apa kamar sebesar ini, ia tidak berminat main basket di kamar.

Ranjang besar dengan empat tiang kelambu di setiap sisinya. Ini seperti bekas kamar wanita. Mungkin kamar utama, ya? Tempat kakek dan nenek dulu?

Mang Damar meninggalkan kamar itu setelah membantu Lingga memasukkan pakaiannya di lemari. Lingga merebahkan tubuhnya di ranjang, ia sempat meraih botol minyak kayu putih saat hendak berbaring. Sambil tiduran, ia mengoleskan minyak itu ke perut. Mual usai perjalanan tadi memang tidak wajar. Lingga bahkan harus menahan diri untuk tidak muntah. Terlebih aroma-aroma bunga asing yang menyengat itu, ah, Lingga nyaris muntah lagi.

Bab 2. Penghuni

Desau angin terdengar. Lingga tersentak saat suara jendela yang terbuka itu menabrak sisi dinding. Ia bangkit dengan napas tersengal, gorden kamarnya berkibar-kibar. Bulu kuduknya kembali meremang, tapi yang ia sadari ini masih siang, meski di luar agak mendung, tapi tetap saja ini masih siang, tidak mungkin ada hal aneh-aneh, kan?

Lingga mencoba menenangkan diri sendiri dengan menggosokkan minyak itu lagi. Tapi berusaha tenang di rumah ini benar-benar mustahil. Pergerakan gorden yang terus berkibar itu membuat Lingga ngeri, mau tak mau ia bangkit dan menutup jendela terlebih dahulu. Namun, saat jendela baru ditutup, mendadak jendela itu kembali terbuka. Salah satu engselnya patah, sial!

Lingga keluar untuk minta bantuan mang Damar. Betapa hari ini begitu menyusahkan. Saat keluar, mang Damar tidak ia temukan di mana pun. Justru kedua adiknya yang berlarian yang ia temukan. Dua anak itu seperti tidak paham sedang berada di mana. Kalau mereka merasakan apa yang dirasakannya, mungkin kedua anak itu hanya bisa sembunyi di ketiak ibu.

“Kalian, jangan berisik. Kalian bisa membangunkan mayat-mayat yang dikubur di belakang!” Lingga hanya asal bicara, berusaha menakut-nakuti dua adiknya yang tidak bisa diam.

“Mayat? Kakak tuh yang kayak mayat hidup.” Gian tergelak. Lingga melotot saat dua anak itu mencibirnya dengan lidah menjulur. Lingga bersyukur ibunya ada di lantai dua, jadi ia bisa leluasa jika ingin menjitak adik-adiknya.

“Jangan lari kalian.” Lingga, tak kalah cepat melesat, mengejar dua adiknya untuk membalas kelakuan mereka. Suara debum langkah menggema, memantul-mantul ke penjuru ruang tamu yang sangat besar dan pengap. Meski jengkel, namun Lingga harus menahan tawa melihat eskpresi menggemaskan adiknya yang dengan kompak membully kakaknya sendiri.

“Awas kalian, ya…” Lingga mengaum seperti macan, dua bocah kecil itu berlari kepayahan. Melihatnya Lingga makin bersemangat. Ia percepat laju larinya, namun mendadak seperti ada rambut yang sangat banyak di lantai ruang tamu, membuatnya tersandung hingga tersungkur mencium lantai.

Gian dan Vian terpingkal. “Kakak emang ceroboh… huu…”

Lingga bangkit perlahan. Bukan masalah sakit saat terjatuh tadi, namun kejanggalannya. Sial. Apa tadi ia hanya salah lihat? Apa ia berhalusinasi? Rambut panjang itu nampak jelas di pelupuk matanya, saat ia berusaha mencarinya lagi, tak ada apa pun di lantai. Sungguh.

Gian dan Vian baru menghentikan tawa mereka saat melihat warna merah yang mengalir dari hidung Lingga. “Kakak mimisan.”

Lingga terkejut saat adiknya mengatakan itu nyaris bersamaan. Ia sendiri juga tak sadar jika ada banyak darah yang mengalir dari hidungnya akibat terjatuh tadi.

“Ibu… kakak mimisan…” Vian berteriak, gadis kecil itu juga masih bisa mencemaskan kakaknya. “Sudah, jangan teriak.” Lingga menenangkan. “Kakak nggak apa-apa.” Lingga mengusap darah yang mengalir itu dengan lengan bajunya. “Cuma luka kecil di hidung. Sebentar lagi juga darahnya berhenti mengalir.”

Gian menyangsikan kata-kata kakaknya. Buktinya darah itu tak juga berhenti meski berkali-kali Lingga mengusapnya dengan lengan baju. Membuat noda yang kontras sekali dengan baju Lingga yang saat itu berwarna biru muda.

“Jangan ganggu Ibu, Ibu lagi capek,” ucap Lingga. Sepertinya ia harus minta bantuan mang Damar untuk mencarikan daun sirih, sepertinya perdarahan di hidungnya tak akan berhenti sebelum di sumpal dengan gulungan daun sirih.

Di depan, mang Damar juga tidak ada. Ah, keburu kehabisan darah kalau begini!

Lagi-lagi Lingga nyaris melompat saat pundaknya mendadak disentuh, saat menoleh, seperti dugaannya, lelaki tua bermata satu itu tersenyum kepadanya. Namun senyumnya memudar saat melihat darah di hidung Lingga.

“Den mimisan…”

“Iya,” Lingga mendongak, berusaha menahan darahnya. “Bisa minta tolong carikan daun sirih?”

Mang Damar mengangguk dan bergegas pergi entah ke mana. Lari mang Damar saat itu sangat cepat, Lingga bisa melihat kaki-kaki itu bergerak lincah, tidak hanya dua kaki, tapi tiga. Tunggu? Lingga mengerjap, lantas kembali menatap kaki mang Damar, dan menemukan kaki itu hanya dua saja. Sepertinya ia memang berhalusinasi. Mungkin terlalu lelah, atau apa?

Lingga tak mengerti.

Di kamarnya yang besar dan dingin itu, Lingga memikirkan lagi kejadian barusan. Tentang kaki mang Damar yang tiba-tiba berubah menjadi tiga, dan tentang rambut hitam panjang yang membuatnya terjerembab jatuh sampai mimisan. Semuanya terlalu nyata untuk bisa dibilang hanya halusinasinya saja.

Lingga yakin, penyebab kejadian ini adalah ulah para makhluk halus penghuni rumah kakeknya. Hampir sama seperti rumah Lingga yang ada di kota. Namun di sini sepuluh kali lipat lebih menyeramkan, karena Lingga bisa melihat, merasakan kehadirannya, dan mendengar suaranya. Bukan hanya sekadar mencium baunya yang busuk, dan merasakan dinginnya yang menyengat.

Memang hanya ayah yang bisa mengerti keadaanku yang begini. Batinnya sambil menerawang ke arah langit-langit kamar.

Lalu tiba-tiba udara di kamarnya seperti berkali-kali lipat lebih dingin, mencekam. Bukan hanya itu saja, lampu di kamar Lingga pun tiba-tiba nyala-mati-nyala-mati, terus begitu sampai sepuluh kali.

Lingga hanya diam seperti patung. Matanya bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri mengikuti kursi goyang yang ada di kamarnya. Seperti ada yang menduduki. Batin Lingga. Harum bunga melati menyeruak memenuhi kamar tersebut. Ada sepasang tangan pucat yang naik perlahan ke atas kasur Lingga.

Suara gesekan kukunya pada seprai biru kasur Lingga terdengar sangat menyayat. Dalam hati, Lingga terus merapalkan kalimat ‘ini mimpi ini mimpi ini mimpi’ seperti mantra. Tapi bekas tanah merah yang menempel di atas kasurnya terlalu nyata untuk bisa disebut sebagai mimpi.

Lingga gemetar hebat saat wajah menyeramkan itu akhirnya terlihat. Matanya seperti mau keluar dari tempatnya, dan ada bekas luka yang menganga lebar di bagian dadanya. Memperlihatkan organ-organ dalam yang hampir membuat Lingga muntah.

Lingga tanpa sadar menangis. Matanya ingin terpejam, namun sulit. Seperti ada yang memaksa mata Lingga untuk terus terbelalak menyaksikan adegan-adegan menyeramkan yang terjadi di kamarnya.

Ingin rasanya malam ini segera berakhir. Kalau perlu hidupnya yang berakhir. Ah, jangan berpikir sembarangan kamu Ling. Batinnya, mencoba menepis pikiran-pikiran negatif yang sejak tadi berseliweran di otaknya.

Lingga mual. Tangan kanannya refleks menutupi mulutnya melihat makhluk itu tiba-tiba saja memutar kepalanya 360⁰. Tulang-tulang lehernya jelas patah. Darah berwarna hitam legam muncrat kemana-mana. Lingga tidak tahan lagi!

Pemuda itu berteriak sekencang-kencangnya, lalu kabur keluar kamar. Berlari secepat yang dia bisa.

Lingga beberapa kali menengok ke belakang. Untuk berjaga-jaga siapa tahu makhluk menyeramkan itu mengikutinya. Tapi nihil. Tidak ada satu pun yang mengikuti Lingga. Suasana rumah sepi senyap. Lorong-lorong yang ada di sepanjang ruang makan ke ruang tamu gelap gulita.

Lingga berhenti tepat di depan jam dinding besar yang menempel di tembok, diapit oleh dua lemari berisi perabotan seperti gelas, dan piring. Pemuda itu berusaha mengatur napasnya yang tersengal akibat berlari. Lututnya bergetar hebat, dan kulitnya terasa dingin. Namun entah kenapa keringat mengalir dengan deras.

Bersambung...

Bab 3. Rumah Penuh Misteri

Ada suara langkah kaki mendekat. Lingga sudah waspada dan bersiap untuk berlari lagi, kalau saja yang datang bukan ibu. Wanita itu mengernyit sambil membawa sebotol air mineral dan satu gelas beling ukuran sedang.

Lingga mengelus dadanya lega.

“Sedang apa kamu, Ling?” tanya ibu. Ada nada khawatir yang tertangkap jelas di telinga Lingga. Ibu memperhatikan Lingga yang seluruh pakaiannya basah oleh keringat. Tangan hangat ibu menyentuh pergelangan tangan Lingga, dan, “kamu panas dingin Ling?”

“Ah, nggak kok, Bu. Aku nggak apa-apa. Aku cuma...” Lingga ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada ibu. Karena ibu memang tidak terlalu percaya pada hal-hal yang jauh di luar nalar.

“Kamu mau minum? Atau mau ibu temani?” Tanya ibu lagi. Wanita itu mengusap lembut rambut Lingga, dan membawa anaknya itu untuk duduk di kursi panjang dekat lemari. Lingga menurut. Perasaannya sudah agak tenang sekarang.

“Aku cuma mimpi buruk, Bu.” Hanya itu yang bisa Lingga katakan pada ibunya. Tidak masalah berbohong sedikit. Toh, yang dialaminya malam ini memang seperti mimpi buruk baginya.

“Oh, kamu lupa baca doa ya?” Ibu meletakkan botol minum yang dari tadi dipegangnya, dan mengusap-usap punggung Lingga.

Lingga mengangguk. Menuangkan air ke dalam gelas, lalu menenggaknya sampai habis. Ketika Lingga tidak sengaja tersedak, ibu langsung menepuk-nepuk punggung Lingga. Raut khawatir jelas terlihat di wajah tua yang masih cantik itu. Lingga tersenyum menenangkan.

Betapa dia sangat menyayangi ibunya yang perhatian dan hangat ini.

“Kalau begitu, aku kembali ke kamar dulu, Bu. Ibu juga kembalilah ke kamar. Jangan berjalan-jalan sendirian di rumah kakek yang…” Lingga menggantung ucapannya.

“Yang apa, Ling?” Ibu terlanjur penasaran dengan kalimat Lingga yang tiba-tiba terputus. Bukan hanya itu saja, wajah anaknya juga terlihat lebih pucat dari biasanya. Keringat mengalir dari pelipis sampai ke leher Lingga. Ibu tentu khawatir. Tapi Lingga buru-buru bilang, “tidak apa-apa, Bu. Lingga kembali ke kamar duluan.”

Setelah berkata begitu pada sang ibu, Lingga berlari cepat menuju kamarnya. Ibu hanya mengangkat bahu, dan berjalan menuju tangga ke lantai atas.

Alasan kenapa Lingga menggantung ucapannya barusan adalah, ada sepasang mata berwarna merah darah yang menatapnya dari balik semak di luar sana. Mengancamnya tanpa suara.

***

Esoknya, Lingga bangun dengan perasaan yang lebih nyaman dari tadi malam. Makhluk-makhluk menyeramkan itu sudah tidak ada begitu Lingga kembali ke kamarnya.

Semoga saja saat malam tiba nanti, mereka tidak muncul lagi. Begitu doa Lingga untuk pagi ini. Lingga mendengar suara ibunya berteriak menyuruh Gian dan Vian untuk segera sarapan. Maka dari itu, Lingga langsung turun dari tempat tidurnya, dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Tidak mau sampai ibunya ikut berteriak padanya juga.

Air dingin yang mengguyur tubuhnya bagaikan es yang menusuk-nusuk kulitnya. Niatnya ingin mandi dengan air panas, tapi sial, tombol biru yang ada di bathup kamar mandinya tidak berfungsi. Terpaksa Lingga menggigil sepanjang acara mandinya berlangsung.

“Den, mandinya sudah belum? Nyonya sudah menunggu dari tadi,” kata mang Damar dari luar kamar mandi. Mendengar suara mang Damar, Lingga baru sadar kalau dia sudah ada di dalam kamar mandi selama kurang lebih 20 menit. Cepat-cepat Lingga membalut tubuhnya dengan handuk dan segera keluar untuk berpakaian, kalau saja Lingga tidak melihat siluet mang Damar yang tampak aneh.

Apa itu yang ada di kepala mang Damar? Tanduk? Tidak mungkin..

Hei Lingga, ini masih pagi. Tidak seharusnya hal ini terjadi di pagi hari bukan?

Oke, singkirkan pikiran burukmu itu, dan segera keluar dari sini.

“Den? Baik-baik saja kan di dalam?” Tanya mang Damar khawatir. Lingga segera menyahut kalau dirinya baik-baik saja. Pemuda itu keluar dengan mata yang memicing curiga pada mang Damar. Dilihat dari atas sampai bawah pun tetap tidak ada yang aneh pada tubuh mang Damar.

“Apa ada yang aneh dengan wajah saya, Den?” tanya mang Damar. Tersenyum, dan menyentuh pundak Lingga yang masih tidak tertutupi baju. Lingga yang kaget dengan sentuhan mang Damar, refleks menyingkirkan tangan itu dengan kasar. Mang Damar pun tidak kalah kagetnya. Pria tua itu memandang Lingga dengan pandangan khawatir. Lingga buru-buru minta maaf.

Mang Damar keluar dengan membawa pakaian kotor Lingga untuk dicuci oleh buruh cuci harian yang bekerja di rumah ini.

Rumah ini kacau. Kalau bukan karena ibu, aku sudah kabur dari sini. Gumam Lingga sambil mengeluarkan baju seragam sekolahnya.

Suasana di ruang makan seperti biasa, ribut. Si kembar Vian dan Gian berebut roti bakar isi coklat yang memang hanya tersisa satu di piring. Ibu berusaha menengahi, tapi percuma. Gian dan Vian kalau sudah ribut sulit sekali dipisahkan.

Mereka bertiga tidak menyadari kalau ada sekelompok anak kecil berkulit pucat dan tidak memakai baju sedang duduk di atas meja makan. Memperhatikan roti bakar coklat yang jadi rebutan si kembar.

“Maaf, Bu, aku telat.” Lingga akhirnya bergabung dengan mereka bertiga. Duduk di samping ibu. Sekelompok anak kecil yang tadi duduk di atas meja makan tiba-tiba lenyap karena kehadiran Lingga.

Namun Lingga tetap melihat ada jejak kaki kecil di atas meja makan. Banyak dan tidak beraturan. Walaupun begitu, Lingga berusaha fokus pada sarapannya.

“Kak Lingga ikut sampai sekolah ya?” pinta Gian dan Vian berbarengan. Lingga melotot, lantas menggeleng. Membuat si kembar dengan kompak memajukan mulut mereka beberapa senti.

“Loh? Kalian ini kenapa toh? Biasanya juga ibu yang antar kalian ke sekolah? Kenapa sekarang minta diantar sama kakak?” tanya ibu sambil memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya.

“Kan aku belum pernah diantar naik motor bareng kak Lingga, Bu… kayaknya asyik aja gitu kalau ke sekolah naik motor.” Gian memberi alasan. Selai strawberry memenuhi pinggir bibirnya. Melihat itu Vian tertawa keras. Dan dibalas dengan getokan garpu kecil di atas kepala Vian.

“Aku nggak mau mati muda karena kalian yang terus-terusan berantem,” kata Lingga akhirnya. Pemuda itu menjitak kepala Gian dan Vian dengan pelan. Tapi sukses membuat keduanya mengaduh. Pura-pura kesakitan sebenarnya.

Lingga selesai lebih dulu. Setelah menghabiskan segelas susu putih, Lingga segera pamit pada ibu, dan mengacak-acak rambut kedua adiknya dengan gemas. Vian bahkan sampai melemparkan pisau makan plastik yang dipakainya untuk memotong roti, ke arah Lingga. Dan berhasil Lingga hindari dengan mulus.

Lingga memanaskan motornya lebih dulu sebelum mengendarainya ke sekolah. Sambil menunggu motornya panas, Lingga memperhatikan sekeliling. Sepi. Sangat sepi untuk ukuran sebuah desa. Atau memang rumah kakeknya itu terletak jauh dari rumah penduduk? Entahlah, Lingga belum sempat menjelajahi tempat ini sepenuhnya.

Mang Damar melintas di depan Lingga dengan membawa alat pemotong rumput. Melihat mang Damar, membuat Lingga ingin bertanya tentang kondisi daerah sekitar sini.

Mang Damar menurut saja saat Lingga memanggilnya, dan menyuruhnya untuk duduk di kursi kayu yang sama dengan Lingga. Kursi itu sepertinya terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi. Bentuknya panjang, dan terletak di depan rumah. Cocok untuk dipakai bersantai di sore hari sambil menikmati secangkir teh manis hangat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!