Bab 16. Indigo

“Ibu ingin bicara sebentar…”

Lingga mengangguk, mereka melangkah beriringan menuju ruang tamu sebagai tempat bicara. Ruangan yang remang itu cukup membuat Lingga menelan ludah, tiap siang hari, lampu tidak pernah dinyalakan, sementara cahaya matahari tidak pernah bisa masuk dengan sempurna sampai ke rumah. Mungkin karena tertutup pepohonan rindang di depan.

Lingga duduk berhadapan dengan ibunya. Hanya menunggu hingga ibunya membuka suara.

“Adik-adikmu, juga ikut aneh…”

Ah, akhirnya ibu menyadari hal itu? Lingga sudah sejak lama mengatakan rumah kakek memang aneh, dan sebelum pindah dari sini, Lingga yakin keanehan ini tidak akan pernah berakhir.

“Aku udah pernah bilang, Bu… rumah ini memang sumber dari segala keanehan,” tegas Lingga. Ibunya hanya tertawa, “jangan menyalahkan rumah Kakekmu, Ling.”

“Bu, aku sedang tidak bercanda,” ucap Lingga, frustasi saat ibunya justru menertawakan ucapannya. Ini bukan soal Lingga yang tidak betah tinggal di rumah kakek, tapi tentang Vian, tentang Gian. Bagaimana tumbuh kembang mereka jika terus seperti ini?

“Bu, kumohon, percaya, kali ini saja…” Lingga menatap dalam mata ibunya, berusaha menyelami, dan meminta ibunya mengerti apa yang ia katakana.

“Percaya apa?” tanya wanita itu. Lingga tak tahu lagi harus mengatakannya dengan cara bagaimana. Ibunya tak mau mengerti. Sama sekali.

“Rumah ini tidak beres!” jelas Lingga, ragu. Matanya mulai menatap sekeliling saat dirasa hawa dingin mulai menelusup hingga ke pori. Lingga bergidik, menggigil.

“Ling, kamu jangan ngelantur.” Kata-kata yang jelas membuat Lingga kecewa. Sekali pun ibunya tak mau percaya jika Lingga mengatakan kebenaran tentang rumah ini.

“Demi Tuhan, aku nggak ngelantur.” Lingga sampai mengangkat dua jarinya, tanda sumpahnya.

“Memangnya apa yang kamu maksud nggak beres dengan rumah ini?”

“Rumah ini berhantu!” ucap Lingga, serius.

“Hantu?” Ibunya justru terpingkal. Mungkin ibunya berpikir kalau Lingga memang terlalu banyak nonton film. Wanita itu menggeleng dan menegaskan bahwa sama sekali tidak ada hantu di rumah besar ini. Rumah yang nyaman dan sejuk. Jauh jika dibandingkan dengan di kota yang panas.

“Iya, Bu. Ada hantu. Sangat banyak!” Lingga mulai tersengal. Bau busuk yang menyengat, dan sepertinya ibu juga tidak merasakan apa pun.

“Sudah, Ling. Jangan banyak berimajinasi.” Ibunya menggeleng. Lingga frustasi. Ia menjambak-jambak rambutnya sendiri sambil berteriak saat melihat wanita cantik berambut pirang duduk di sebelah ibunya.

“Dia duduk di sebelah Ibu. Sungguh…” Napas Lingga tak teratur saat melihat hantu noni Belanda itu dengan sejelas dan sedekat ini, hantu yang tersenyum manis ke arahnya.

“Siapa yang kamu maksud?” Ibunya masih tak mengerti dengan apa yang Lingga bicarakan.

“Dia! Dia! Elizabeth!” Lingga menunjuk ke sebelah ibunya.

“Elizabeth siapa? Ya ampun, Ling… yang jelas bicaranya.”

Mata Lingga tak berkedip. Sosok di sebelah ibunya itu perlahan memegang kepalanya, perlahan, menarik dan melepas kepala dengan rambut panjang itu dan meletakkannya di pangkuannya sendiri. Melihat adegan mengerikan itu Lingga kembali mual. Ia berlari meninggalkan ibunya yang masih terbengong di ruang tamu, bersisian dengan Elizabeth yang mengusap rambutnya sendiri.

“Jangan ganggu keluargaku,” kata Lingga pada Elizabeth yang masih betah duduk di sebelahnya. Elizabeth menatap Lingga dengan mata birunya yang kosong. Kalau saja tidak ada noda darah di seluruh wajahnya, Elizabeth akan terlihat sangat menawan. Mungkin Lingga tidak akan takut.

“Biar aku saja yang kalian ganggu. Bebaskan Gian dan Vian.” Lingga masih berkata-kata pada Elizabeth. Hantu Belanda itu masih menatap Lingga, mata birunya yang kosong berkedip beberapa kali. Lingga sebenarnya ingin lari dari sana, namun entah kenapa, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tetap duduk bersebelahan dengan Elizabeth.

“Kalau memang kamilah yang mengganggu, maka―”

“Den Lingga, ada tamu. Sepertinya teman Den Lingga dari kota.” Mang Damar datang dengan tergopoh. Lingga mengangguk, “suruh tunggu saja di teras depan rumah, Mang. Aku sebentar lagi ke sana,” kata Lingga.

Setelah mang Damar pergi, Lingga ingin melanjutkan ‘obrolan’nya dengan si hantu Elizabeth, tapi ternyata…

Sudah tidak ada.

Elizabeth menghilang begitu mang Damar muncul.

Angin dingin berhembus melalui celah-celah jendela yang terbuka, seperti mengelus tengkuk lehernya dengan lembut. Bulu kuduknya berdiri. Samar-samar alunan musik klasik itu kembali terdengar.

Lingga ingin mencari tahu lagi, tapi teringat dengan kata-kata mang Damar tentang temannya yang datang berkunjung dari kota. Siapa ya? Pikir Lingga. Pemuda itu dengan ragu mengintip dari balik pintu yang sedikit terbuka. Menampakkan punggung seorang laki-laki, tinggi, dan berambut cepak. Lingga tidak ingat pernah memberikan alamat rumah kakeknya pada siapapun. Oleh karena itu sekarang Lingga harus ekstra waspada. Terhadap siapapun yang dianggapnya asing.

Tapi dia bukan orang asing... rasanya… pernah lihat. Batin Lingga.

Maka dengan pelan, Lingga membuka pintu utama rumahnya. Begitu terbuka sepenuhnya, orang itu menengok ke belakang, dan, “Ling, kenapa kamu? Ada temen berkunjung bukannya kamu suruh masuk malah kamu biarin aja di luar.”

Lingga kikuk. Ternyata memang orang yang Lingga kenal, menyesal telah mencurigai temannya sendiri. “Sorry Nu, aku kira siapa. Soalnya nggak ada yang tahu aku pindah ke sini. Sementara sih,” kata Lingga.

Namanya Wisnu. Teman sekelas Lingga. Mereka cukup dekat karena selalu dapat jatah piket berdua. Kabarnya, Wisnu ini indigo. Lingga sendiri belum pernah menanyakan tentang hal itu pada Wisnu. Takut mengganggu privasinya. Selain itu, tidak ada gelagat aneh yang Wisnu tunjukkan selama di sekolah.

Lingga menyuruh Wisnu duduk, dan menawari temannya itu minuman. Wisnu tertawa, “kebetulan aku haus banget nih, Ling. Minta jus jeruk ya kalau ada,” kata Wisnu. Lingga menyahut, “oke.” Lalu berlalu ke dapur.

Selagi menunggu Lingga membuatkannya jus jeruk, Wisnu mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah Lingga. Dari mulai lemari ukuran sedang yang ada di sana, sofa, lukisan-lukisan abstrak, pojokan, sampai lorong-lorong gelap menuju ruang keluarga, ruang makan, dan dapur, yang tadi Lingga lewati.

Wisnu tersenyum. Entah apa yang membuatnya begitu. Tapi Wisnu terlihat senang.

“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” tanya Lingga yang baru saja datang sambil membawa dua gelas jus jeruk, yang salah satunya langsung diambil oleh Wisnu.

“Nanti aku cerita. Sekarang mau minum dulu.” Wisnu menenggak segelas jus jeruk itu sekaligus. Rasa segar yang mengaliri tenggorokannya terasa nikmat, sampai tidak mau membuatnya berhenti untuk minum.

“Pelan-pelan, nanti keselek lho. Baru tahu rasa!” kata Lingga. Dia duduk di depan Wisnu. Meminum jus jeruknya dengan santai. Lingga mengarahkan pandangannya ke arah tangga menuju lantai atas, merasakan adanya aura aneh yang menguar dari sana. Perasaannya tidak enak.

“Ling? Kamu lihat apa?” tanya Wisnu. Gelasnya sudah tandas. Tapi Wisnu masih nampak kehausan. Tanpa basa-basi, dia menuangkan lagi setengah dari jus yang ada di dalam gelas Lingga, ke dalam gelasnya sendiri. Lingga tidak keberatan.

“Kamu lihat apa sih?” tanya Wisnu lagi karena pertanyaannya tadi belum di jawab oleh Lingga.

“Nggak, bukan apa-apa,” jawab Lingga tenang. “Kalau mau lagi, ambil aja di belakang. Deket kok, tinggal lurus aja,” lanjut Lingga. Wisnu menggeleng, “udah cukup kok. Hehe,” katanya.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!