Bab 17. Pengusiran Setan

“Jadi, kamu tahu rumah ini dari mana? Terus mau ngapain ke sini? Numpang minum?” tanya Lingga. Ada sedikit nada sindiran dalam kalimatnya. Wisnu menanggapinya dengan santai. Bahkan, dia nyengir tanpa dosa.

“Aku tahu dari…” Wisnu sengaja menggantung kalimatnya. Lingga menatapnya dengan alis terangkat sebelah, menunggu jawaban. “Aku cari tahu sendiri. Soalnya belakangan ini aku lihat, aura kamu aneh Ling. Item pekat gitu,” lanjut Wisnu.

“Kamu tahu dari mana? Jawab aja, nggak apa-apa.” Lingga masih tidak percaya bahwa Wisnu bisa menemukan rumah kakeknya seorang diri. Dia mendesak Wisnu.

“Err… aku cari tahu sendiri kok. Cari tahu sendiri dengan ngebuntutin kamu dari belakang. Hehehe...”

Udah aku duga sih. Batin Lingga.

“Terus, maksud kamu auraku aneh itu apa?” Lingga memajukan tubuhnya, menatap Wisnu lekat-lekat. Wisnu mendadak kikuk. Aura hitam pekat yang Wisnu bilang tadi menguar lagi dari belakang tubuh Lingga.

“Itu... kamu pasti udah paham betul maksud aku, Ling. Kamu juga ngerasa kan? Di belakang kamu ada…” Wisnu tidak melanjutkan ucapannya.

Lingga menghela napas lelah. “Jadi bener toh kamu anak indigo. Di belakangku ada bayangan item? Gede? Matanya merah?” Lingga memundurkan lagi tubuhnya. Bersandar pada sofa.

“Ya… gitu. Aku juga dari tadi ngerasa kok kalo mereka udah gabung sama kita dari pertama aku dateng.” Wisnu menunjuk sekelompok anak kecil berkulit pucat yang duduk berjejer di sebelah Lingga. Ada sekitar 10 anak kecil.

“Hmm…rumah ini emang nggak beres, Nu,” kata Lingga. Dia melirik ke-10 anak kecil itu dengan ragu. Kelompok anak kecil itu memang kadang diam, kadang brutal. Berlari menjelajah rumah pada malam hari sambil berteriak-teriak tidak jelas. Ada juga yang tertawa dan menangis. Sangat mengganggu.

“Ya, aku tahu. Ini nggak bisa dibiarin gitu aja, Ling. Mereka harus diusir dari sini.” Raut wajah Wisnu nampak serius. Tidak ada lagi tawa cengengesan yang terukir di wajahnya seperti tadi. Lingga mengangguk membenarkan.

Ke-10 anak kecil yang dari tadi mendengarkan pembicaraan mereka tiba-tiba menghilang. Begitu juga dengan makhluk hitam besar yang tadi berada di belakang tubuh Lingga.

“Aku tahu caranya buat ngusir mereka dari sini,” kata Wisnu. Perkataan Wisnu tersebut membuat Lingga tertarik. “Beneran bisa?” tanya Lingga antusias. Wisnu mengangguk mantap.

“Kalau perlu, malam ini juga aku bisa kok.” Wisnu meminum lagi jus jeruknya yang masih tersisa setengah. Kemudian menatap Lingga dengan sorot penuh keyakinan. Lingga berbinar. Dia seperti menemukan seorang penolong yang akan membawanya pada kehidupan yang lebih baik. Berlebihan, tapi memang benar adanya.

Mungkin Wisnu orang yang dapat Lingga percaya saat ini.

“Oke.” Lingga menghabiskan jus jeruknya. “Tapi sebelum itu, ada yang mau aku kasih tahu ke kamu, Nu. Ayo ke atas,” ajak Lingga.

Mereka berdua berjalan menaiki tangga menuju lantai atas. Suasana lantai atas terasa sangat menakutkan. Dingin, dan gelap. Padahal masih belum terlalu sore. Wisnu juga melihat ada beberapa bayangan hitam yang berdiam diri di setiap sudut, di lantai atas. Benar-benar rumah yang menakutkan. Kenapa Lingga betah tinggal di sini? Batin Wisnu heran.

“Nah, ini kamar Gian dan Vian. Adikku. Kelakuan mereka beberapa hari terakhir ini aneh banget, Nu,” kata Lingga.

Mereka berada tepat di depan kamar si kembar. Wisnu mengintip melalui lubang kunci pintu kamar Gian dan Vian untuk mengetahui keadaan di dalam kamar tersebut.

Dan betapa terkejutnya Wisnu saat mengintip ke dalam kamar Vian. Di sana, di dalam kamar itu, Wisnu bisa melihat sesosok anak kecil berambut sangat panjang sedang menatap balik ke arahnya. Matanya merah. Urat-urat di sekitar matanya juga seperti keluar. Belum lagi bau busuk yang sangat pekat dari kamar tersebut. Wisnu mundur beberapa langkah.

“Ini parah banget, Ling. Adik kamu itu kerasukan!” kata Wisnu panik. Lalu dia beralih menatap ke dalam kamar Gian melalui lubang kunci juga.

Sama. Keadaan Gian tidak jauh berbeda dengan Vian. Mereka berdua memang telah dirasuki sesuatu yang jahat.

“Terus, aku harus gimana?” tanya Lingga bingung.

“Kamu siapin aja apa yang aku minta. Aku bakal coba usir mereka. Kalau bisa malam ini juga, Ling,” kata Wisnu. Lingga mengangguk. Entah kenapa perasaannya menjadi semakin tidak enak.

***

“Temen Den Lingga mau nginep di sini ya?” tanya mang Damar. Lingga hanya mengangguk dalam diam. Mereka berdua sedang ada di dapur.

“Mau saya bantuin bikin kopi itemnya, Den?” tawar mang Damar. Lingga menggeleng. “Ini harus aku yang bikin, Mang,” kata Lingga. Mang Damar mengernyit bingung. “Memangnya itu buat siapa, Den?”

“Buat temenku, Mang,” jawab Lingga sekadarnya. Dia ingin memberitahu mang Damar tentang rencananya mengusir makhluk-makhluk itu dari sini, tapi kelihatannya mang Damar akan melarang kalau Lingga beritahu. Dengan alasan keamanan.

“Mang, aku ke atas dulu,” pamit Lingga. Mang Damar terus menatap punggung Lingga yang semakin menjauh. Samar-samar mang Damar bisa melihat, kalau ada jejak kaki kecil mengikuti Lingga. Jumlahnya banyak.

Semoga Den Lingga baik-baik aja. Batin mang Damar.

Lingga sampai di lantai atas. Dia menyerahkan dua cangkir kopi hitam dan beberapa jenis bunga pada Wisnu.

“Masih ada yang kurang, Ling,” kata Wisnu. Lingga bertanya, “apa?”

“Sini, pinjem tangan kamu.” Wisnu mengulurkan tangannya.

“Buat ap―auuuwwwww~ sakit Nu!” Lingga kesakitan karena Wisnu menyayat sedikit pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia bawa.

“Tahan sebentar,” kata Wisnu. Dia membawa pergelangan tangan Lingga yang masih meneteskan darah segar ke arah bunga-bunga yang Lingga bawa. Darah itu perlahan menetes di atasnya.

“Ini buat kepentingan ritual,” jelas Wisnu. Lingga segera membalut lukanya dengan kaus yang dipakainya. Tidak dalam sih, tapi perih.

Wisnu berkonsentrasi. Dia bicara dalam bahasa yang tidak Lingga mengerti. Mungkin mantra, pikir Lingga.

Hening beberapa saat, lalu tiba-tiba udara sekitar berubah menjadi sedingin es. Ada asap keluar dari dalam kamar Gian dan Vian. Lingga bergidik. Menatap Wisnu yang sepertinya sedang berusaha keras mengusir makhluk-makhluk itu. Ingin membantu, tapi Lingga bisa apa?

“Akh!” Wisnu menjerit. Lingga jelas terkejut. Apalagi mulut Wisnu mengeluarkan darah. Lingga panik bukan main. “Nu, kamu nggak apa-apa? Apa yang harus aku lakuin buat bantu kamu, Nu? Nu?!” Lingga mengguncang-guncangkan tubuh Wisnu yang tiba-tiba melemas.

“Aku nggak apa-apa, Ling. Kamu pergi ke halaman belakang, ada sumur tua kan? Nah, tutup, Ling! Tutup sumurnya,” kata Wisnu. Lingga dengan cepat berlari menuruni tangga.

Aku harus cepet, nggak ada waktu. Aku harus cepet. Gumam Lingga berulang-ulang.

Di bawah, Lingga bertemu dengan mang Damar. Pria tua itu menghalangi jalan Lingga. “Den Lingga mau ke mana?” tanya mang Damar. “Minggir, Mang. Nggak ada waktu! Minggir, Mang!” teriak Lingga. Mang Damar memegangi kedua bahu Lingga untuk membuatnya tenang. Dengan lembut mang Damar berkata, “biar Mang Damar yang tutup sumurnya.”

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!