Bab 11. Tindihan

“Mang?” Lingga membuka daun jendela. Alih-alih cepat tidur, Lingga justru lebih tertarik menyapa tukang kebun rumah kakek itu.

Merasa dipanggil, mang Damar segera menoleh, “Den? Kok belum tidur?”

Lingga tertawa, “Aku baru mau tanya begitu ke Mang Damar.”

Mang Damar melangkah mendekat ke jendela kamar Lingga. “Saya belum ngantuk.”

“Dih, jam segini belum ngantuk? Terus tidurnya jam berapa?” Lingga menguap.

Mang Damar tersenyum, “ya, kadang saya baru ngerasa ngantuk kalo udah jam 1 malam, Den.”

Lingga baru akan melompat dari jendela, namun mang Damar mencegahnya. “Den Lingga mau ngapain?”

“Mau nongkrong di depan jugalah.”

Mang Damar menggeleng. Banyak hal kenapa anak majikannya itu tidak boleh ada di luar di malam jum’at begini, ini adalah hari pestanya setan, pasti nantinya pemuda itu akan melihat banyak wujud buruk berwara-wiri dan akhirnya seperti biasa, Lingga muntah sembarangan.

“Jangan keluar, Den. Sudah malam. Mending buruan tidur.”

Lingga mendesah kecewa. Padahal masih banyak yang ingin Lingga tanyakan. Termasuk… sesuatu yang berbeda pada diri mang Damar, sesuatu yang hanya ia sendiri yang bisa merasakannya, tidak dengan Gian, Vian, dan ibunya.

“Tapi aku pengen ngobrol sama Mang Damar, aku nggak punya teman di sini. Nggak ada yang bisa diajak bicara.”

Kalimat Lingga lebih dulu disela oleh mang Damar. “Besok saja bicaranya, Den.”

Lingga mengangkat bahu dan menyerah, ia menurut apa kata-kata mang Damar dan memilih kembali ke tempat tidur. Saat melirik ke jam dinding besar—yang selalu berdentang nyaring tiap tengah malam—Lingga kembali menguap, sudah jam 23 lewat memang.

Tak butuh waktu lama bagi Lingga untuk terlelap. Pemuda itu hanya menghempaskan tubuhnya ke ranjang, dan aroma bantal sudah membiusnya ke alam mimpi. Nyenyak.

Mungkin kata nyenyak itu terlalu bagus. Lingga justru merasa keindahan mimpinya itu hanya berlangsung beberapa menit saja. Mendadak dadanya menyesak dan seluruh tubuhnya berat. Saat ingin bangun, Lingga justru tidak bisa terbangun. Hey? Apa yang sebenarnya terjadi? Lingga sepenuhnya terbangun, Lingga ingin bergerak tapi tidak bisa bergerak, bahkan untuk sekadar membuka mata saja Lingga tak sanggup. Berat. Sangat berat. Tubuhnya seperti ditindih beban sangat berat.

Seluruh tubuhnya berkeringat dingin dan napasnya tersengal. Sungguh, Lingga merasa seperti ada diambang kematian. Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak adakah seorang pun yang bisa membuatnya tersadar. Ibu? Mang Damar? Vian dan Gian?

‘Matiii…’ suara itu menelisik pendengaran Lingga. Begitu jelas dan dekat di gendang telinganya.

“Tidak… tidak…” suara Lingga yang bahkan tak sampai terucap. Hanya sebatas bisik tak jelas. Lingga seperti terbelenggu, sekujur tubuhnya kaku.

‘Kau akan matiii…’ suara itu terdengar lagi. Suara wanita yang begitu mengerikan. Siapa? Suara siapa itu? Lingga tidak bisa melihat siapa pun. Tapi suara itu terlalu jelas.

Lingga melemas, namun ia buru-buru menghentak dirinya sendiri untuk tetap sadar. Ia teringat kata-kata mang Damar, tentang manusia yang merupakan makhluk paling sempurna, harusnya ia tak boleh kalah dengan kejahilan makhluk gaib.

“Pergi!” teriak Lingga, pada akhirnya suaranya memekik keras. Mang Damar yang masih berada di depan sampai terlonjak kaget.

Lingga baru bisa bangkit setelah teriakannya terdengar. Napasnya tersengal dan napasnya naik turun. Lingga mendengar suara daun pintunya diketuk, namun Lingga buru-buru teriak, “ pergi!!!”

“Ini mang Damar, Den.”

Suara itu membuat Lingga lega. “Mang? Mang Damar?”

“Iya, Den.”

“Masuk, Mang.”

Knop pintu pun diputar dan mang Damar muncul dari balik pintu. Panik setelah mendengar teriakan Lingga yang menggema barusan. Pria itu panik dan buru-buru melihat apa yang terjadi. Dan, setelah melihat keadaan Lingga, pria itu baru sadar betapa buruknya kondisi Lingga saat itu. Rambutnya acak-acakan, mukanya berkeringat, dan napasnya tersengal-sengal.

“Den? Ya ampun…” Mang Damar melangkah cepat menghampiri pemuda itu. “Ada apa? Apa yang terjadi? Ada penampakan lagi?”

Lingga menggeleng, suaranya masih tercekat akibat shock dengan kejadian baruan. Hingga mang Damar mengguncang bahunya, Lingga baru bisa bersuara. “Ada yang ganggu tidurku, Mang.”

Mang Damar duduk di tepi ranjang, mengamati wajah Lingga baik-baik. Pemuda itu masih berkeringat, sesaat mang Damar menyentuh telapak tangan Lingga, dingin sekali. Mang Damar hanya bisa mengira-ngira, mungkin Lingga memang melihat penampakan lagi.

“Ganggu seperti apa, Den?”

“Berat. Nggak bisa gerak…” Pandangan Lingga tak fokus. Ia melirik ke sekeliling. Banyak sekali bayang-bayang yang melesat ke sana-kemari. Ia mengusap wajahnya yang terus berekeringat. “Kenapa kayak gini, Mang? Kenapa? Aku tertekan banget rasanya. Mending sekalian aku mati aja.” Lingga menahan suaranya agar tidak bergetar, tapi nyatanya tetap saja suaranya goyah.

“Hush! Jangan sampai bilang begitu! Pamali.”

Kali pertama Lingga mendengar suara mang Damar yang meninggi. Biasanya mang Damar selalu kalem. Pria itu mendadak jadi garang saat Lingga mengatakan ingin mati tadi.

“Jangan kira setelah mati itu masalah akan selesai, ya…” ucap mang Damar, tegas. Lingga tak mengatakan apa pun. Antara fokus dan tidak, sebab bayangan hitam itu masih berlarian. Bahkan makin mendekat ke arah mang Damar.

“Mang, awas!” pekik Lingga. Mang Damar tidak terkejut. Sungguh, lelaki itu juga merasakan ketika ada yang makin mendekat ke arahnya. Meski tidak melihat sejelas Lingga, tapi setidaknya mang Damar masih bisa waspada. Mang Damar tidak akan panik seperti Lingga. Mungkin itu sebabnya yang membuat hantu-hantu itu frustasi untuk menakuti mang Damar, hasilnya percuma. Mang Damar tidak akan ketakutan.

Pria itu menggeleng kecil. Menenangkan Lingga yang masih panik dan terus saja mengamati dengan seksama bayang-bayang hitam yang tidak jelas itu.

“Abaikan, Den. Saya sudah peringatkan aden berkali-kali, kan?”

Lingga masih tak habis pikir ketika mang Damar masih bisa tenang. Mang Damar melihatnya juga, kan? Mata sayu Lingga membuat mang Damar tidak tega. Pemuda itu hanya belum mengerti cara mengatasi ketakutan itu.

“Barusan Den Lingga tindihan, ya?”

“Tindihan itu gimana?”

“Itu kondisi di mana tidur kita diganggu sama makhluk gaib. Memang ditindih, dan membuat kita tidak bisa bergerak saat itu.”

“Bener banget, Mang.” Lingga mengangguk membenarkan.

“Itu karena Den Lingga tidak baca doa sebelum tidur.”

Lingga menunduk malu. Keluarganya bukan orang yang religius memang. Bahkan Lingga tidak hapal doa sebelum tidur.

“Sebaiknya Den Lingga kembali tidur, ya…” saran mang Damar yang sontak ditolak oleh Lingga. Ia tidak mau tidur. Takut jika kejadian tadi terulang kembali. Tidak mau. Kecuali…

“Mang Damar temenin, ya?” Lingga tersenyum. Setengah mati mang Damar menahan tawanya agar tidak pecah. Tapi ujungnya, mang Damar tetap terpingkal. Dan itu membuat Lingga malu.

“Saya temenin di sini sampai pagi.”

Ucapan mang Damar membuat Lingga merasa lega. “Janji?”

“Jangan seperti anak kecil, Den.” Mang Damar tergelak makin kencang. Saat yang sama tangan kanannya mengacak puncak rambut Lingga.

“Aku memang belum dewasa,” sahut Lingga.

“Beranjak dewasa,” ganti mang Damar yang menyahut. Lingga tak ingin berdebat lagi. Ia sudah mengantuk.

Lingga kembali tidur dengan tenang setelah mang Damar juga merebahkan dirinya di ranjang yang sama dengan Lingga. Yang membuat Lingga terkejut, mang Damar sempat mengucap basmalah sebelum memejamkan mata.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!