Bab 8. Penghubung Dunia Gaib

“Gian... Vian... ayo makan siang!” teriak Lingga. Suaranya memantul memenuhi lorong saat ia keluar dari dapur. Lorong yang menghubungkan dengan ruang makan dan taman belakang.

“Iya, kak...”

Lingga mendengar suara Gian menyahut. Suaranya sangat jelas dan dekat, juga memantul. Tapi saat menengok sekeliling, sosok bocah kecil itu tidak ditemuinya di manapun.

“Gi... jangan main-main ya...” Lingga berucap, dengan hati-hati. Kedua bola matanya bergerak was-was mengamati sekeliling. Lukisan-lukisan binatang yang terpasang di sepanjang lorong membuatnya sedikit bergidik. Harimau, kuda, sampai ular. Semua terlihat nyata. Lingga pastikan lukisan ini akan berpindah ke gudang setelah ia selesai mengurus makan makan siang adik-adiknya.

“Gi...” panggil Lingga mulai geram. Anak nakal itu sebenarnya di mana?

“Di sini, Kak...”

Tidak ada siapa pun. Lingga menduga adiknya pasti sembunyi. Benar saja, Lingga bisa melihat Gian tengah bermain di belakang. Ia bisa melihat adiknya dari jendela yang mengarah ke halalaman, dekat sumur tua. Napas Lingga tercekat saat menyadari itu.

Sumur tua?

Tanpa sadar napas Lingga tersengal. Sumur tua itu... tidak. Harusnya Gian tidak dekat-dekat dengan sumur itu.

Dan Lingga tidak salah lihat ketika bibir sumur itu tak tertutup papan lagi. Pasti si nakal Gian yang membukannya. Lingga bersumpah tidak sedang berhalusinasi saat melihat tangan-tangan kecil yang pucat mencuat dari lubang sumur. Pelan, tapi pasti... menggerayangi tubuh adiknya hingga terpusat pada leher. Tangan-tangan itu seperti akan mencekik dan menarik adiknya agar terjun ke lubang sumur. Tidak boleh!

Lingga reflek membuka pintu dan berteriak, “Gian!”

Yang merasa dipanggil namanya menyahut dengan semangat, “di sini, Kak!”

Gian melihat kakak laki-lakinya berlari ke arahnya dengan sengal yang membuat dadanya naik turun sesampainya Lingga di hadapan Gian.

“Kenapa lari-lari gitu, Kak?”

Lingga tak menjawab pertanyaan adiknya, melainkan menjewer telinga Gian dengan muka jengkel. “Ngapain kamu main di deket sumur? Nggak tau ini bahaya?”

“Au...” Gian mengaduh, “bahaya apa sih, Kak? Ini cuma sumur kering yang sangat tua. Nggak dalam. Dangkal banget malah. Nggak mungkin mati kalo jatuh ke sana.”

Mungkin Gian benar tentang sumur tua itu faktanya tidak membahayakan. Tapi, Lingga merasa justru sumur ini salah satu yang mengerikan. Bagian dari rumah kakek yang Lingga yakini adalah pintu gerbang dunia lain.

Aroma bangkai busuk mendadak menyeruak, menyiksa indera penciuman Lingga lagi. Lingga mual. Tapi anehnya, Gian sepertinya tidak mencium aroma apa pun. Justru bocah kecil itu terkikik melihat kakaknya yang membekap bibir sambil membungkuk, nyaris muntah lagi.

Lingga benar-benar muntah saat melihat tangan pucat mulai merangkak ke bibir sumur. Pelan-pelan memperlihatkan sosok kecil mengerikan. Seperti mayat bayi yang gentayangan.

“Kalau Kakak perempuan, mungkin aku sudah beliin tes kehamilan.” Gian berseru jahil sebelum ngeloyor pergi. Meninggalkan kakaknya yang masih menumpahkan sebagian isi perutnya.

***

Vian tidak mau turun untuk makan siang. Gadis kecil itu tengah mengerjakan PR saat Lingga mengetuk kamarnya. Lingga memutuskan mengantar makan siang itu ke kamar Vian sebelum kembali ke dapur, menemani adik lainnya yang belum juga memulai makan siangnya.

“Cuma ada telur hitam ini, Kak?” Gian jadi kehilangan nafsu makannya meski lapar. Makan siang kali ini tidak ditata di meja makan. Gian disuruh makan di dapur. Nasinya lembek dan telurnya terlalu hitam di salah satu sisinya.

“Berisik. Makan saja sana.” Lingga kesal. Banyak hal yang jadi alasannya untuk uring-uringan. Sumur dan mayat bayi tadi, serta ucapan adiknya yang tajam barusan. Memasak makan siang saja sudah pengorbanan, tapi tak ada sedikit pun penghargaan. Lingga mencoba menahan diri untuk tidak menjewer adiknya lagi, berusaha cuek dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Rasa asin yang luar biasa menyapa lidah. Sial, benar-benar gagal masakannya.

“Aku nggak mau makan.” Gian meletakkan piring yang masih berisi nasi lengkap dengan telur dadar itu ke wastafel. “Aku mau dipesenin pizza aja.”

Lingga menggeram. Susah payah usahanya membuat makanan, bocah itu malah minta dipesankan junk food. Hilang semua selera makan Lingga bersamaan dengan diletakkannya piring di wastafel juga. Ia meninggalkan dapur, tak peduli lagi adiknya mau makan atau tidak.

Lingga jengkel, benar-benar jengkel saat ini. Lingga bahkan menendang apa pun yang menghalangi langkahnya, termasuk sandal dan bola sepak Gian di bibir pintu dapur, tak terkecuali kepala noni yang tergeletak di lorong menuju ruang makan.

Kepala noni?

Ah, rasanya Lingga mulai mual lagi. Pemuda tanggung itu melesat menuju kamar mandi, tapi lagi-lagi terlambat, isi perutnya sudah berhamburan sebelum sampai tujuan.

Mendengar suara muntahan, Gian berlari keluar. Tak tega juga melihat kakaknya yang sampai pucat pasi begitu. Bocah kecil itu tumben sekali baik, memijit tengkuk kakaknya sambil bertanya, “Kakak kenapa, sih?”

Lingga menggeleng. Ia hanya takut jika nantinya Gian jadi ketakutan akibat ceritanya. Cukup ia saja yang tertekan karena keanehan rumah ini. Gian dan Vian tidak perlu tahu. Lingga menepis tangan Gian yang masih bergerak di lehernya dengan pelan.

“Kakak mau ke depan dulu, beli minyak kayu putih.”

Gian menatap kakaknya dengan iba. Sebelum Lingga melangkah lebih jauh, Gian berteriak, “Aku mau makan kok.”

Lingga menoleh, sembari mengernyit.

“Aku mau makan masakan hancur Kakak,” sahut Gian, lalu berlari kembali ke dapur.

***

Matahari yang terik begini, mang Damar heran melihat Lingga yang berlalu lalang di depan gerbang rumah. Lelaki tengah baya itu menghampiri anak majikannya itu, lantas bertanya, “Den, mau ke mana?”

Lingga menoleh dan tumben sekali pemuda itu tidak melompat karena kaget saat melihat wajahnya yang seram. “Di sekitar sini nggak ada warung atau toko kelontong ya, Mang?”

“Ada, tapi jauh di ujung sana. Mending di rumah saja, daripada nyasar,” ucap mang Damar. “Memangnya Aden butuh apa? Biar saya saja yang berangkat.”

“Minyak kayu putih sama permen mint,” jawab Lingga. Dan ia membutuhkan dua barang itu dalam jumlah yang sangat banyak, untuk persediaan.

“Awal tinggal di sini, saya juga seperti Aden.” Mang Damar tersenyum. Lingga menelan ludah. Mang Damar memang bukan orang sembarangan. Kalau orang lain, mungkin mengira mang Damar adalah hantu. Tapi tidak! Lingga bisa merasakan bahwa mang Damar juga manusia. Sama sepertinya. Hanya saja, yang aneh adalah tanduk dan kaki yang kadang terlihat, menambah organ tubuh mang Damar.

“Ke‒kenapa, Mang?” tanya Lingga.

“Saat saya kerja di sini, mungkin usia saya nggak jauh lebih tua dari Aden. Saya sering muntah juga kalau liat yang aneh-aneh,” kisah mang Damar. Sembari menerawang.

“Mang Damar sering liat yang aneh-aneh juga?” Lingga terkejut.

“Tidak sering. Mungkin hanya sesekali saja dalam sebulan.”

Lingga mengangguk. Jadi memang cuma dirinya yang terus diteror tanpa henti.

“Aku tiap hari liat penampakan di mana-mana, Mang. Di taman, di sumur, di kamar, di ruang makan. Mengerikan.” Bergidik saat melihat berbagai macam penampakan tak wajar itu. Tapi, Lingga hanya bisa cerita pada mang Damar.

“Itulah, sepertinya makhluk-makhluk gaib itu tertarik sama Den Lingga gara-gara bisa lihat mereka dengan jelas.” Mang Damar menarik kesimpulan.

“Apa?” Lingga melongo. Berharap bahwa pendapat mang Damar itu salah. Jika makhluk-makhluk astral itu memang tertarik padanya, berarti habislah riwayatnya. Kalau begini terus, ia bisa mati kena busung lapar, gara-gara terus muntah melihat setan dengan wujudnya yang mengerikan.

“Saya tau, kok.”

Mang Damar tersenyum saat mendengar Lingga bertanya lagi. “Tau apa?”

“Mata Den Lingga itu tembus dunia lain, kan?” tebak mang Damar.

Lingga diam saja.

“Aden pasti tau jika rumah ini memang sangat padat penduduk dunia lainnya. Memang tempat favorit mereka, tempat di mana mereka bisa mampir dan bermain di dunia nyata. Seperti gerbang penghubung antara dunia gaib dan dunia kita.”

Lingga mulai gemetaran. Dingin menyergap seluruh tubuhnya. Menggigil hingga membuat gemelatuk giginya terdengar. “Takut, Mang… jangan cerita lagi.”

Mang Damar merangkul pundak Lingga, “Santai saja, Den. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, sekuat apa pun makhluk gaib, mereka tidak akan bisa membunuh bangsa kita, manusia.”

Benar kata mang Damar. Tapi tetap saja mereka mengerikan.

“Nah, saya mau ke toko ujung sana dulu…” Mang Damar menepuk pundak Lingga sebelum berlalu.

“Ikut, Mang…” kejar Lingga. Ia tersenyum ketika melihat mang Damar mengangguk mengiyakan. Sebenarnya, masih banyak hal yang ingin Lingga tanyakan, tapi masih segan. Termasuk soal tanduk dan kaki ketiga itu. Lingga baru membuka mulutnya untuk bertanya, tapi urung. Mungkin lain kali saja.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!