Bab 3. Rumah Penuh Misteri

Ada suara langkah kaki mendekat. Lingga sudah waspada dan bersiap untuk berlari lagi, kalau saja yang datang bukan ibu. Wanita itu mengernyit sambil membawa sebotol air mineral dan satu gelas beling ukuran sedang.

Lingga mengelus dadanya lega.

“Sedang apa kamu, Ling?” tanya ibu. Ada nada khawatir yang tertangkap jelas di telinga Lingga. Ibu memperhatikan Lingga yang seluruh pakaiannya basah oleh keringat. Tangan hangat ibu menyentuh pergelangan tangan Lingga, dan, “kamu panas dingin Ling?”

“Ah, nggak kok, Bu. Aku nggak apa-apa. Aku cuma...” Lingga ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada ibu. Karena ibu memang tidak terlalu percaya pada hal-hal yang jauh di luar nalar.

“Kamu mau minum? Atau mau ibu temani?” Tanya ibu lagi. Wanita itu mengusap lembut rambut Lingga, dan membawa anaknya itu untuk duduk di kursi panjang dekat lemari. Lingga menurut. Perasaannya sudah agak tenang sekarang.

“Aku cuma mimpi buruk, Bu.” Hanya itu yang bisa Lingga katakan pada ibunya. Tidak masalah berbohong sedikit. Toh, yang dialaminya malam ini memang seperti mimpi buruk baginya.

“Oh, kamu lupa baca doa ya?” Ibu meletakkan botol minum yang dari tadi dipegangnya, dan mengusap-usap punggung Lingga.

Lingga mengangguk. Menuangkan air ke dalam gelas, lalu menenggaknya sampai habis. Ketika Lingga tidak sengaja tersedak, ibu langsung menepuk-nepuk punggung Lingga. Raut khawatir jelas terlihat di wajah tua yang masih cantik itu. Lingga tersenyum menenangkan.

Betapa dia sangat menyayangi ibunya yang perhatian dan hangat ini.

“Kalau begitu, aku kembali ke kamar dulu, Bu. Ibu juga kembalilah ke kamar. Jangan berjalan-jalan sendirian di rumah kakek yang…” Lingga menggantung ucapannya.

“Yang apa, Ling?” Ibu terlanjur penasaran dengan kalimat Lingga yang tiba-tiba terputus. Bukan hanya itu saja, wajah anaknya juga terlihat lebih pucat dari biasanya. Keringat mengalir dari pelipis sampai ke leher Lingga. Ibu tentu khawatir. Tapi Lingga buru-buru bilang, “tidak apa-apa, Bu. Lingga kembali ke kamar duluan.”

Setelah berkata begitu pada sang ibu, Lingga berlari cepat menuju kamarnya. Ibu hanya mengangkat bahu, dan berjalan menuju tangga ke lantai atas.

Alasan kenapa Lingga menggantung ucapannya barusan adalah, ada sepasang mata berwarna merah darah yang menatapnya dari balik semak di luar sana. Mengancamnya tanpa suara.

***

Esoknya, Lingga bangun dengan perasaan yang lebih nyaman dari tadi malam. Makhluk-makhluk menyeramkan itu sudah tidak ada begitu Lingga kembali ke kamarnya.

Semoga saja saat malam tiba nanti, mereka tidak muncul lagi. Begitu doa Lingga untuk pagi ini. Lingga mendengar suara ibunya berteriak menyuruh Gian dan Vian untuk segera sarapan. Maka dari itu, Lingga langsung turun dari tempat tidurnya, dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Tidak mau sampai ibunya ikut berteriak padanya juga.

Air dingin yang mengguyur tubuhnya bagaikan es yang menusuk-nusuk kulitnya. Niatnya ingin mandi dengan air panas, tapi sial, tombol biru yang ada di bathup kamar mandinya tidak berfungsi. Terpaksa Lingga menggigil sepanjang acara mandinya berlangsung.

“Den, mandinya sudah belum? Nyonya sudah menunggu dari tadi,” kata mang Damar dari luar kamar mandi. Mendengar suara mang Damar, Lingga baru sadar kalau dia sudah ada di dalam kamar mandi selama kurang lebih 20 menit. Cepat-cepat Lingga membalut tubuhnya dengan handuk dan segera keluar untuk berpakaian, kalau saja Lingga tidak melihat siluet mang Damar yang tampak aneh.

Apa itu yang ada di kepala mang Damar? Tanduk? Tidak mungkin..

Hei Lingga, ini masih pagi. Tidak seharusnya hal ini terjadi di pagi hari bukan?

Oke, singkirkan pikiran burukmu itu, dan segera keluar dari sini.

“Den? Baik-baik saja kan di dalam?” Tanya mang Damar khawatir. Lingga segera menyahut kalau dirinya baik-baik saja. Pemuda itu keluar dengan mata yang memicing curiga pada mang Damar. Dilihat dari atas sampai bawah pun tetap tidak ada yang aneh pada tubuh mang Damar.

“Apa ada yang aneh dengan wajah saya, Den?” tanya mang Damar. Tersenyum, dan menyentuh pundak Lingga yang masih tidak tertutupi baju. Lingga yang kaget dengan sentuhan mang Damar, refleks menyingkirkan tangan itu dengan kasar. Mang Damar pun tidak kalah kagetnya. Pria tua itu memandang Lingga dengan pandangan khawatir. Lingga buru-buru minta maaf.

Mang Damar keluar dengan membawa pakaian kotor Lingga untuk dicuci oleh buruh cuci harian yang bekerja di rumah ini.

Rumah ini kacau. Kalau bukan karena ibu, aku sudah kabur dari sini. Gumam Lingga sambil mengeluarkan baju seragam sekolahnya.

Suasana di ruang makan seperti biasa, ribut. Si kembar Vian dan Gian berebut roti bakar isi coklat yang memang hanya tersisa satu di piring. Ibu berusaha menengahi, tapi percuma. Gian dan Vian kalau sudah ribut sulit sekali dipisahkan.

Mereka bertiga tidak menyadari kalau ada sekelompok anak kecil berkulit pucat dan tidak memakai baju sedang duduk di atas meja makan. Memperhatikan roti bakar coklat yang jadi rebutan si kembar.

“Maaf, Bu, aku telat.” Lingga akhirnya bergabung dengan mereka bertiga. Duduk di samping ibu. Sekelompok anak kecil yang tadi duduk di atas meja makan tiba-tiba lenyap karena kehadiran Lingga.

Namun Lingga tetap melihat ada jejak kaki kecil di atas meja makan. Banyak dan tidak beraturan. Walaupun begitu, Lingga berusaha fokus pada sarapannya.

“Kak Lingga ikut sampai sekolah ya?” pinta Gian dan Vian berbarengan. Lingga melotot, lantas menggeleng. Membuat si kembar dengan kompak memajukan mulut mereka beberapa senti.

“Loh? Kalian ini kenapa toh? Biasanya juga ibu yang antar kalian ke sekolah? Kenapa sekarang minta diantar sama kakak?” tanya ibu sambil memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya.

“Kan aku belum pernah diantar naik motor bareng kak Lingga, Bu… kayaknya asyik aja gitu kalau ke sekolah naik motor.” Gian memberi alasan. Selai strawberry memenuhi pinggir bibirnya. Melihat itu Vian tertawa keras. Dan dibalas dengan getokan garpu kecil di atas kepala Vian.

“Aku nggak mau mati muda karena kalian yang terus-terusan berantem,” kata Lingga akhirnya. Pemuda itu menjitak kepala Gian dan Vian dengan pelan. Tapi sukses membuat keduanya mengaduh. Pura-pura kesakitan sebenarnya.

Lingga selesai lebih dulu. Setelah menghabiskan segelas susu putih, Lingga segera pamit pada ibu, dan mengacak-acak rambut kedua adiknya dengan gemas. Vian bahkan sampai melemparkan pisau makan plastik yang dipakainya untuk memotong roti, ke arah Lingga. Dan berhasil Lingga hindari dengan mulus.

Lingga memanaskan motornya lebih dulu sebelum mengendarainya ke sekolah. Sambil menunggu motornya panas, Lingga memperhatikan sekeliling. Sepi. Sangat sepi untuk ukuran sebuah desa. Atau memang rumah kakeknya itu terletak jauh dari rumah penduduk? Entahlah, Lingga belum sempat menjelajahi tempat ini sepenuhnya.

Mang Damar melintas di depan Lingga dengan membawa alat pemotong rumput. Melihat mang Damar, membuat Lingga ingin bertanya tentang kondisi daerah sekitar sini.

Mang Damar menurut saja saat Lingga memanggilnya, dan menyuruhnya untuk duduk di kursi kayu yang sama dengan Lingga. Kursi itu sepertinya terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi. Bentuknya panjang, dan terletak di depan rumah. Cocok untuk dipakai bersantai di sore hari sambil menikmati secangkir teh manis hangat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!