“Mang, apa warungnya masih jauh?” tanya Lingga. Mereka sudah berjalan kaki sekitar 20 menit, tapi Lingga tidak juga melihat adanya tanda-tanda kehadiran warung.
“Sebentar lagi, Den,” jawab mang Damar. “tuh, sudah kelihatan bukan?” lanjutnya sambil menunjuk sebuah rumah kecil yang terletak di ujung, hampir mendekati hutan. Lingga bernapas lega.
Mereka sampai di depan warung. Karena Lingga orang baru, jadilah hanya mang Damar yang masuk ke dalam warung. Sebenarnya mang Damar melarang Lingga untuk berada di luar sendirian, tapi Lingga malah menolak di ajak ke dalam. Katanya di luar lebih sejuk.
Memang benar di luar lebih sejuk. Angin semilir setiap detik berhembus. Menerbangkan dedaunan yang sudah layu, lalu jatuh begitu saja ke bawah. Lingga seperti terhipnotis. Daerah ini terpencil, tapi sungguh indah pemandangannya.
Semoga saja tidak ada yang muncul merusak suasana. Batin Lingga.
“Den, sudah selesai. Ayo pulang. Tapi kelihatannya den Lingga lebih betah di sini ya,” kata mang Damar. Lingga tersenyum kikuk.
“Soalnya di sini tidak ada hal-hal aneh, Mang. Tenang gitu deh,” jawab Lingga. Mereka berjalan meninggalkan warung tersebut. Semilir angin masih menemani perjalanan keduanya.
Namun tiba-tiba... indera penciuman Lingga seperti mencium sesuatu...
“Mang, ada rumah dekat sini ya? Mana?” Lingga melihat ke sekeliling. Mang Damar mengikuti arah pandang Lingga.
“Tidak ada rumah di sini, Den.” Mang Damar menggeleng. Kemudian pandangannya kembali terfokus pada jalanan di depannya yang sedikit rusak karena memang belum ada bantuan dari pemerintah untuk memperbaikinya.
“Serius? Tapi aku tadi nyium bau masakan, Mang. Harum banget. Terus... nah, Mang Damar denger? Ada suara gamelan di sebelah sana,” kata Lingga. Wajahnya heran bercampur ragu. Mang Damar berhenti mendadak.
“Den, jalanlah lebih cepat. Jangan hiraukan apa yang Den Lingga lihat, dengar, bahkan cium. Mengerti, Den?” perintah mang Damar. Lingga masih penasaran. Namun melihat raut wajah mang Damar yang serius dan agak menyeramkan, Lingga urung bertanya lebih lanjut.
Keduanya mempercepat langkah kaki mereka. Lingga hampir tersandung kerikil kecil, kalau saja mang Damar tidak dengan sigap memegangi pergelangan tangan pemuda itu.
“Hati-hati, Den. Di sini Den Lingga tidak boleh banyak melamun,” kata mang Damar memperingati.
Tiba di rumah, Lingga langsung mengambil kayu putih dan permen mint dari tangan mang Damar. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Lingga berlari masuk ke dalam rumah. Padahal, baru beberapa menit yang lalu mang Damar memperingati Lingga untuk lebih hati-hati.
Karena tepat di ruang tamu, di antara kursi-kursi itu, ada rambut yang sangat panjang, yang siap membuat siapa saja yang melewati jatuh terjerembab. Sama seperti Lingga beberapa hari yang lalu.
Entah sedang beruntung atau memang kebetulan, rambut itu tidak membuat Lingga terjatuh lagi. Mang Damar mengusap dadanya pelan, tanda lega.
***
Perasaanku buruk. Rasanya akan terjadi sesuatu nanti malam. Mungkin aku harus tidur lebih cepat, agar tidak perlu melihat hal-hal aneh lagi. Ya, setelah mandi, aku harus tidur! Batin Lingga.
Alangkah terkejutnya saat akan membuka lemari, sesuatu tiba-tiba muncul. Menggantung di atas langit-langit kamar, dengan darah hitam menetes-netes ke bawah. Harusnya Lingga sudah tidak perlu kaget lagi melihat hal tersebut, tapi... tetap saja, makhluk-makhluk ini selalu membuatnya ingin berteriak ketakutan.
Lingga mencoba memberanikan diri membuka lemari. Mengabaikan makhluk itu yang masih menggantung, seperti kelelawar. Sesekali makhluk itu mengeluarkan suara-suara aneh, mirip desisan. Tapi Lingga mencoba menutup telinganya rapat-rapat.
Pakaian ganti sudah diambil. Waktunya mandi. Biarkan saja makhluk itu ada di atas. Lakukan apapun sesukamu! Kata Lingga dalam hati, jengkel.
Memasuki kamar mandi, Lingga langsung membuka seluruh pakaiannya. Menyalakan shower, dan mengisi bathup sampai penuh.
Awalnya air yang memenuhi bathup memang bening. Tapi lama-kelamaan, air itu berubah menjadi merah. Lingga berkedip sekali. Lalu airnya kembali berubah menjadi bening. Lingga mengucek matanya, air pun dalam sekejap berubah lagi menjadi merah. Terus begitu sampai Lingga kesal sendiri, dan berusaha mengabaikannya.
Sepertinya hari ini tidak ada acara berendam! Silahkan pakai bathup itu sesuka kalian! Gumam Lingga.
Anak-anak kecil yang tadi mengerjai Lingga menampakkan wujudnya, dan terkikik geli. Tawa mereka begitu mengganggu. Air hangat yang mengalir dari arah shower jadi tidak berguna lagi dengan kehadiran ‘mereka’.
Kali ini Lingga tidak berniat untuk mandi lama-lama. Karena untuk apa berlama-lama di kamar mandi, kalau ada banyak anak kecil berkulit pucat yang juga ikut bermain-main dengan air bersama Lingga?
Sungguh, Lingga benar-benar ingin keluar dari rumah ini. Rasanya tidak adil kalau hanya dirinya saja yang bisa melihat ‘mereka’.
‘Lalu, apa kau mau ibu dan juga kedua adikmu merasakan hal yang sama denganmu Lingga? Ketakutan, mual, dan tidak tenang?’ Kata sebuah suara halus yang entah berasal dari mana.
Lingga merasakan telinga sebelah kirinya dingin. Seperti ada yang menghembuskan angin di sana. Jelas, ini perbuatan makhluk-makhluk gaib itu. Lingga sendirian di kamar. Gian dan Vian ada di kamarnya masing-masing. Tidak mungkin Gian mengerjainya lagi.
“Jangan ganggu aku,” kata Lingga. Sebisa mungkin untuk tidak bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut.
Seperti membalas perkataan Lingga, tiba-tiba gorden yang menutupi jendela kamarnya terbuka. Angin kencang seketika masuk memenuhi kamar besar itu.
‘Hati-hati. Berhati-hatilah anak muda. Jangan sampai kau terkecoh.’ Kata sebuah suara lagi. Kali ini Lingga tahu dari mana suara itu berasal. Dengan cepat, Lingga mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Di sana, Lingga bisa mellihat sesosok gadis cantik berambut pirang, dengan pakaian khas bangsawannya yang lusuh, serta ada bekas darah di mana-mana.
Kepalanya.. tidak copot. Ah, maksudku...
“Hei, kau Elizabeth?” tanya Lingga. Entah hal apa yang membuatnya berani mendekat ke arah jendela. Memandang tepat ke dalam mata biru itu yang nampak kosong.
Sosok yang disebut Elizabeth itu tersenyum, lalu dengan tiba-tiba... kepala itu lepas dari tempatnya. Darah merah muncrat, mengotori jendela kamar Lingga.
Lingga sendiri sampai mundur ke belakang beberapa langkah karena refleks.
Sungguh mengejutkan. Sepertinya Lingga salah mengambil tindakan. Peringatan yang diberikan mang Damar untuk lebih berhati-hati, nampaknya sudah Lingga langgar.
Lingga menyesal. Jelas.
Bodoh, karenamu, mungkin saja si Elizabeth itu marah! Batinnya jengkel pada diri sendiri.
Lingga berkali-kali merutuki dirinya yang ceroboh. Hingga tidak mendegar ketukan yang berasal dari luar kamarnya.
“Ling, buka pintunya,” suara ibu.
“Ling!” Lagi, masih suara ibu.
“Ya Tuhan, Lingga! Buka pintunya!”
Lingga menghela napas, kemudian beranjak dari kasurnya untuk membukakan pintu. Lingga sengaja untuk tidak membuka pintunya sampai tiga kali, sebelum yakin bahwa yang mengetuk adalah manusia.
Pintu terbuka, dan ibu terlihat sangat kesal.
“Kenapa, Bu?” tanya Lingga tanpa dosa.
“Bantu ibu mengangkat lukisan-lukisan yang katamu itu menyeramkan,” jawab ibunya separuh ketus. Lingga menurut. Niatnya untuk tidur terpaksa dibatalkan karena membantu ibu jauh lebih penting.
“Nah, kamu yang ambil lukisannya dari atas, Ibu yang bawa ke gudang. Bagaimana?” tawar ibu. Lingga menggaruk kepalanya, “biar aku yang melakukan semuanya, Bu. Ibu tinggal membersihkan debunya saja nanti,” sahut Lingga.
“Oke,” kata ibu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments