“Kamu jadi aneh sejak pindah ke rumah kakek, Ling,” sahut ibunya dari balik kemudi. Insiden rem mendadak tadi hampir membuat wanita itu jantungan sekaligus panik saat melihat pelipis Lingga membiru karena membentur dashbor.
Lingga diam, kemudian melirik ke arah ibu yang ada di sampingnya sebelum menjawab, “bukan aku yang aneh. Rumah Kakek yang aneh.”
Ibu menggelengkan kepala dan menghela napas lelah. Anak sulungnya memang berubah jadi aneh. Sebelumnya Lingga tidak pernah begini saat masih tinggal di rumahnya di kota. Ah, mungkin Lingga butuh beradaptasi lebih lama di rumah kakek. Pikir ibu saat itu.
Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya mobil Innova silver itu memasuki halaman depan rumah kakek. Ada mang Damar yang sedang menyiram tanaman menyambut mereka.
Lingga keluar dari mobil lebih dulu. Diikuti ibu yang menyapa dan tersenyum pada mang Damar. Bilang kalau mang Damar, “rajin sekali. Mang Damar tidak capek bekerja terus?”
Mang Damar tersenyum canggung, katanya, “ini sudah kewajiban menjaga dan merawat peninggalan almarhum Kakek.”
Sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah, Lingga melihat ibunya berbincang dengan mang Damar. Entah apa yang mereka bicarakan. Lingga tidak peduli.
Dan, oh shit! Wujud itu lagi! Batin Lingga. Matanya terbelalak melihat mang Damar dengan tanduk di kepala, dan kakinya yang bertambah jadi tiga. Lingga cepat-cepat masuk ke dalam rumah.
Tidur tanpa memikirkan apapun mungkin pilihan yang paling baik. Setidaknya begitu menurut Lingga. Nyatanya, pemuda itu saat memasuki ruang tamu, seperti mendengar ada suara musik yang berasal dari arah ruang makan. Membuatnya penasaran dan melupakan rencana semulanya untuk segera tidur.
Sampai di ruang makan, alunan musik klasik itu berhenti. Berganti menjadi suasana menegangkan karena keadaan ruang makan yang dingin dan agak remang. Aneh, pikir Lingga. Ini masih siang, tapi kenapa jadi…gelap?
Menengok ke sana kemari, akhirnya Lingga menemukan penyebabnya. Gorden di ruang makan itu tertutup, menyebabkan tidak ada cahaya matahari yang masuk. Lingga langsung menyibakkan gorden itu dan... sinar matahari langsung berebut masuk. Menjadikan ruang makan itu tidak gelap dan mencekam lagi.
Siapa sih yang iseng menutup gorden?
Kalau tidak Gian, ya Vian..
Atau mang Damar?
Atau? Ah, sudah cukup Ling! Sudah, istirahat saja sana kamu!
Lingga tidak mau terlalu ambil pusing tentang masalah gorden. Dirinya segera beranjak dari ruang makan menuju kamarnya sendiri saat ini. Namun, ada sesuatu yang terasa sangat aneh bagi Lingga. Tentang alunan musik klasik yang dia dengar barusan.
Melodinya indah, dan menyayat. Seperti musik-musik klasik abad pertengahan yang hanya diisi oleh viola, dan piano. Lingga ingin mendengar musik itu lagi.
Apa ibunya membeli kotak musik untuk Vian? Atau mang Damar menyetel musik klasik itu di piringan hitam koleksi kakek? Batin Lingga.
Tapi Lingga tidak melihat adanya piringan hitam di sekitar ruang makan. Lalu apa?
Sudah Ling, sudah cukup! batin Lingga lagi sambil menghela napas lelah. Lingga juga baru merasakan ada memar di pelipisnya. Rasanya perih dan pening. Ini pasti karena tadi membentur dashbor. Lingga memang benar-benar membutuhkan istirahat sekarang.
Suasana kamar Lingga tidak jauh berbeda dari tadi pagi, atau dari hari-hari sebelumnya. Masih sama, dingin. Tapi untungnya, tidak ada penampakan-penampakan menyeramkan hari ini yang berusaha mengganggunya.
Melihat kasur empuk yang menggoda, Lingga langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur berseprai biru tersebut. Nyaman, ah..ngantuk sekali, gumam Lingga.
Tidak butuh waktu lama, Lingga langsung terlelap. Jatuh ke dalam mimpi yang membuatnya terbuai. Melupakan segala hal yang terjadi hari ini.
Tanpa Lingga sadari, ternyata dari tadi ada sosok yang terus berada di sampingnya. Memakai pakaian khas jaman dulu, berkulit pucat, dan berambut pirang. Cantik, kalau saja kepala itu tidak terlepas dari tempatnya. Sosok noni-noni Belanda itu sedang menatap Lingga dengan kepalanya sendiri yang berada dipangkuannya.
Tangannya hampir menyentuh kulit wajah Lingga, kalau saja ibu tidak masuk ke dalam kamar. Sosok itu langsung menghilang.
Ibu tersenyum lega melihat Lingga yang tampak nyenyak dalam tidurnya. Wanita itu mengambil selimut yang tersimpan di lemari untuk menutupi tubuh Lingga agar tidak kedinginan. Walaupun siang, dan matahari bersinar cerah, udara di sini tetap dingin. Mungkin karena letaknya yang berada di kaki gunung.
Ibu lalu keluar dari kamar setelah menyelimuti Lingga. Memutuskan untuk memasak makan siang, agar nanti saat Gian dan Vian pulang, dia tidak perlu repot-repot lagi menyiapkan. Tinggal dipanaskan saja sebentar, dan si kembar sudah bisa menikmati makan siangnya yang enak.
***
Lingga merasa ada sesuatu yang menggelitik kulit wajahnya. Tidurnya jadi tidak tenang lagi karena itu. Berusaha untuk tidak peduli, karena mungkin saja itu hanya semut yang iseng menjamah kulit wajahnya, Lingga kembali mencoba untuk terlelap.
Tapi beberapa menit kemudian, rasa menggelitik itu datang lagi. Kali ini dibarengi dengan kekehan tawa dan hembusan napas menerpa permukaan kulit wajahnya. Karena tidak tahan dan kesal, Lingga membuka mata dan…
“Uwaaaaaaaaaaaaaaaa~.”
Gian tertawa sampai terpingkal. Anak itu benar sukses mengerjai kakaknya. Lihat, Lingga sampai teriak begitu.
“Anak nakal! Jangan ganggu tidur Kakak, pergi sana!” omel Lingga pada Gian. Anak itu masih tidak bisa menghentikan tawanya. Senang bukan main melihat wajah Lingga yang ketakutan. Lingga berusaha memejamkan mata lagi.
“Ibu bilang, Kakak harus makan siang. Tuh, sudah siap,” kata Gian sambil mengguncang-guncangkan tubuh Lingga.
Lingga terusik, lagi. Dengan malas, pemuda itu terpaksa bangun. Daripada mendengar omelan ibu. Masalahnya kalau ada anaknya yang susah makan, ibu akan sangat rewel. Dan itu membuat Lingga tidak nyaman.
Gian langsung berlari keluar, setelah berhasil membuat Lingga bangun. Anak itu menceritakan hasil kerjaannya mengerjai Lingga kepada Vian. Berisik sekali mereka berdua. Vian ikut-ikutan menertawakan Lingga. Karena Vian perempuan, maka suara tawanya lebih cempreng dan mengganggu.
Awas saja kamu Gian. Nanti akan kakak balas! batin Lingga.
Sampai di ruang makan, Lingga melihat Gian dan Vian sedang berusaha menahan tawa mereka dan berbisik-bisik. Lingga mendelik ke arah mereka berdua. Mengancam tanpa suara. Tapi hal itu tidak membuat si kembar takut apalagi ciut. Mereka malah menjulurkan lidah secara kompak ke arah Lingga.
Merasa paling tua, dan sudah tidak pantas lagi untuk ribut-ribut seperti anak kecil, Lingga mengalah. Dia duduk diam sambil memainkan gadgetnya, menunggu ibu yang masih ada di dapur. Entah menyiapkan apa.
Gian dan Vian sih sudah makan duluan dengan lahap. Lingga nampak tidak selera melihat makanan yang sebenarnya sangat menggugah itu. Masih teringat tentang insiden kepala di dalam tudung saji.
Ibu datang, dan terheran melihat Lingga yang belum juga memulai makan siangnya. “Kamu kenapa sih, Ling? Ayo dong makan. Enak lho~ tuh lihat Gian sama Vian. Semangat banget makannya. Kamu juga dong,” bujuk ibu.
“Iya Bu, ini juga mau ma―”
Oh Tuhan, jangan lagi. Jangan lagi, jangan lagi, jangan lagi! Lingga merapalkan kalimat itu seperti mantra.
“Ling?”
Lingga seakan tidak mendengar panggilan ibu. Matanya masih tertuju pada semangkuk sup yang sebenarnya biasa saja, namun tampak begitu aneh di mata Lingga.
“Ling?!” Panggil ibu agak keras. Lingga tetap diam. Ibu kesal, lalu menggebrak meja. Menyebabkan si kembar terhenyak dan berhenti makan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
n e u l
please, capek banget jadi Lingga, mau makan gak jadi² mulu /Cry/
2024-01-18
1