Di kamarnya, Lingga terus saja melamun. Pikirannya melayang kemana-mana. Sudah ada 45 menit Lingga seperti itu. Lingga seolah tidak peduli kalau tubuhnya nanti dirasuki. Untuk saat ini, Lingga ingin menghilangkan semua kenangan-kenangan buruknya di rumah ini. Lingga muak, sungguh. Kalau saja dia sedikit punya keberanian untuk melawan makhluk-makhluk itu, mungkin Lingga tidak akan sedepresi ini. Sayangnya, Lingga hanya bocah pengecut yang hanya bisa meminta bantuan pada lelaki tua renta seperti mang Damar. Benar-benar memalukan, pikirnya.
Kalau saja ibunya itu percaya pada apa yang Lingga katakan, mungkin tidak akan sesulit ini keadaannya. Mungkin mereka semua sudah pergi dari rumah ini ke rumah Paman. Tidak apa-apa jauh, yang penting tenang. Tidak ada gangguan. Lingga sadar, dimanapun tempatnya, selalu ada makhluk-makhluk halus penghuni daerah setempat, tapi setidaknya mereka lebih jarang menampakkan diri. Tidak seagresif yang ada di sini.
Saking asiknya melamun, Lingga sampai tidak menyadari bahwa dari tadi ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya dari balik lemari pakaian. Lalu ada juga bayangan hitam besar yang berdiri di sudut pintu kamar mandi. Mereka seakan mengejek Lingga yang dengan mudahnya terpengaruh oleh berbagai tipu daya yang mereka buat.
Ini karena iman Lingga lemah. Pasti. Kalau iman Lingga kuat, dia tidak akan semudah itu diganggu. Karena tugas setan itu menggangu dan menggoda manusia bukan? Sampai manusia tersebut putus asa, lalu tidak percaya lagi pada Tuhannya. Dan mereka berhasil melakukan tugas itu pada Lingga. Sudah pasti mereka betah mengganggu Lingga. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menyeret manusia menuju kehancuran. Membawa manusia masuk ke dalam kegelapan untuk menemani mereka di neraka.
Suara air yang berasal dari shower di kamar mandi sedikit membuat Lingga waspada. Pemuda itu juga baru menyadari bahwa ada beberapa pasang mata yang menatapnya tanpa berkedip. Merah dan bersinar. Seperti mata serigala di malam hari. Lingga berusaha untuk tetap tenang. Dia memejamkan matanya. Mencoba untuk tidak melihat hal menyeramkan yang tersaji di depannya.
Kakinya perlahan bergerak, menuruni tempat tidur, diikuti dengan tubuhnya kemudian. Matanya masih enggan untuk terbuka. Sengaja Lingga melakukannya. Akibatnya, karena matanya tertutup, dia beberapa kali menabrak tembok, dan pinggiran meja yang ada di kamarnya. Lingga ingin keluar.
Tangannya meraba-raba knop pintu, lalu membukanya. Setelah berhasil keluar, barulah mata Lingga terbuka. Di luar rasanya lebih aman, pikir Lingga. Kakinya melangkah menuju ruang tamu, pelan, dan waspada. Lingga melirik jam tangan hitam yang terpasang di lengan kirinya. Sudah jam empat sore. Gumam Lingga.
Normalnya, jam 4 sore itu matahari masih bersinar, gelap belum merayap menggantikannya. Tapi di sini, jam empat sore seperti sudah jam setengah enam, bahkan maghrib. Mungkinkah karena mendung? Atau karena aura di sini memang gelap dan kelam? Mengingat begitu banyaknya makhluk-makhluk halus berkeliaran.
Kapan rumah di kota selesai direnovasi? Kenapa ayah belum juga menghubungi? Tidak terjadi apapun kan pada ayah? Ayah baik-baik saja kan? Batin Lingga cemas. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana lagi. Tubuhnya sedikit limbung. Kalau tidak ada sofa di ruang tamu, mungkin Lingga sudah jatuh lemas di lantai. Tentu saja lemas, dari tadi Lingga menolak makanan masuk ke dalam perutnya.
Lingga tidak peduli kalau nanti dia terserang maag, atau pencernaannya bermasalah. Setiap Lingga menyentuh makanan, yang terlihat di matanya bukanlah makanan, melainkan benda bergerak menjijikan seperti kecoa, atau bahkan belatung. Pernah Lingga sedang makan, lalu tiba-tiba makanannya itu berubah menjadi tanah merah. Tentu hanya Lingga yang bisa melihat. Sementara ibunya hanya bisa mengernyit dan menggeleng saat Lingga berlari dan memuntahkan makanannya pada wastafel di dapur.
“Kak..”
Lingga menoleh. Suaranya berasal dari arah tangga. Dan benar saja, sudah ada Gian yang berdiri mematung dengan pandangan kosong. Anak itu berjalan menghampiri Lingga, duduk di sebelahnya, dan menatap Lingga intens. Ada sedikit perasaan takut yang Lingga rasakan saat pandangannya bersirobok dengan pandangan kosong adiknya.
“Kak..” Gian memanggil Lingga lagi. Suaranya datar. Tapi ujung bibirnya sedikit terangkat ke atas. Seolah ingin mengejek Lingga.
Lingga tahu kalau yang ada di sebelahnya bukan Gian. Lingga tahu itu. Tapi tetap saja, wajah itu milik Gian. Adiknya yang usil, nakal, tapi sangat manja padanya. Mana mungkin Lingga tidak mengacuhkan Gian, mana mungkin Lingga lari terbirit saat Gian duduk di sebelahnya. Lingga tak tega.
Maka dengan suara pelan, Lingga menjawab, “apa?” pada adiknya. Gian semakin mengangkat ujung-ujung bibirnya, membentuk sebuah seringai. Senang, kalau Lingga ternyata mau merespon panggilannya. Lingga memalingkan wajahnya. Tidak mau melihat wajah Gian yang perlahan-lahan berubah. Menjadi sosok wajah lain, yang… menyeramkan.
“Kak, jangan usir kami ya,” kata Gian. Wajahnya tiba-tiba ada di depan Lingga, menatap Lingga dengan pandangannya yang kosong. Lingga tersentak. Apa katanya tadi? Jangan usir kami? Apa barusan makhluk itu berusaha memohon untuk tidak mengusirnya? Memohon? Shit, yang benar saja! Batin Lingga.
Lingga memundurkan tubuhnya, sampai menempel pada sandaran sofa. Wajah Gian sudah kembali normal. Tapi bola matanya merah. Gian menangis, tapi bukan airmata yang keluar, melainkan darah. Lingga tidak tahu harus berbuat apa. Andai ibunya ada di sini dan menyaksikan hal aneh yang terjadi pada Gian, pasti ibu akan langsung percaya pada Lingga. Mungkin ibu akan langsung membawa Gian pada orang ‘pintar’, dan mereka berempat segera pergi dari rumah ini.
“Kak, jangan usir kami ya?” ulang Gian lagi. Kali ini Gian memiringkan kepalanya. Menatap Lingga dengan sorot mengiba. Sesaat Lingga terlena, dan refleks menjulurkan tangannya untuk menghapus darah yang mengalir keluar dari mata adiknya. Mungkinkah Gian sudah kembali? Apa sebenarnya Gian berontak? Atau…
Belum selesai Lingga berpikir tentang kemungkinan Gian ‘kembali’, tangan kecil itu sudah berada pada leher Lingga. Menekannya dengan kuat, hingga Lingga sulit untuk bernapas.
Lingga sudah lengah! Dia berusaha melepaskan tangan Gian pada lehernya, tapi tangan Gian seolah menjadi berkali-kali lipat lebih kuat. Sementara Lingga, tenaganya hilang. Lemas. Lingga tanpa sadar menangis.
Mang Damar yang kebetulan lewat di depan, melihat kejadian itu dan langsung berlari panik. Apa yang Den Lingga lakukan? Mau bunuh diri? Yang benar saja! Pikir mang Damar.
“Den, sadar, berhenti Den. Jangan sakitin diri sendiri. Dosa Den, dosa!” Mang Damar membantu Lingga melepaskan cengkraman pada lehernya. Lingga lega, sekaligus pasrah. Cengkraman itu semakin menguat. Mang Damar terlihat berusaha keras menolong Lingga. Sampai akhirnya…terlepas.
Lingga terbatuk, matanya merah, napasnya tersengal. Mang Damar menatap Lingga marah, “apa yang Den Lingga lakukan?! Bunuh diri itu dosa Den!”
“Mang, bukan… tadi… ada yang… ada tangan… di leherku… Mang Damar tidak… lihat? Hah?” kata Lingga, terputus-putus.
“Yang mang Damar lihat, Den Lingga sedang mencengkram leher sendiri kuat-kuat. Tidak ada siapapun yang mang Damar lihat. Sungguh,” balas mang Damar. Lingga mengernyit. Bukankah tadi… ada Gian yang berusaha untuk membunuhnya?
“Makhluk itu mencoba membunuhku, Mang! Aku nggak bohong! Sumpah!” Lingga tetap bersikeras pada keyakinannya. Mang Damar mengusap-usap punggung Lingga, mencoba menenangkan. Napas Lingga mulai kembali teratur. Tapi ada tanda merah di sekitar lehernya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments