“Mang, daerah sini kok jadi sepi banget ya? Perasaan waktu aku masih kecil, lumayan rame deh,” kata Lingga, mengawali pembicaraan. Mang Damar berdeham sebentar sebelum menjawab, “memangnya waktu kecil Den Lingga pernah ke sini?” tanya mang Damar, dengan sedikit nada jahil di nada suaranya.
“Mang, aku nanya serius. Jawab yang bener dong. Jangan malah balik nanya,” balas Lingga pura-pura marah. Mang Damar tertawa, “memang sebagian besar penduduk sudah pindah ke kota, Den.”
Lingga hanya manggut-manggut saja sebagai respon.
“Ya udah mang, aku berangkat dulu. Makasih ya waktunya,” kata Lingga sambil memakai helmnya.
“Kapanpun Den Lingga butuh, mang Damar akan selalu ada buat Den Lingga. Jangan sungkan,” balas mang Damar seraya tersenyum.
Lingga sudah akan menjalankan motornya, kalau pemuda itu tidak dikagetkan dengan seorang gadis yang tiba-tiba saja melintas di depan gerbang rumah kakek Lingga. Jelas pemuda itu kaget. Gadis yang lewat tadi sangat cantik dengan rambut hitam panjangnya. Jangan lupakan kulitnya yang putih bersih, dan bibirnya yang merah merona.
“Den? Kok belum jalan juga?” tanya mang Damar. Lingga seakan tersadar begitu mendengar suara serak pria tua penjaga rumah kakeknya itu.
Lingga menggelengkan kepala. Membuat mang Damar yang melihat semakin bingung. “Mang, tadi aku liat gadis cantik banget lewat sini,” kata Lingga semangat pada mang Damar.
Mang Damar mengernyitkan kedua alisnya. Mengedarkan seluruh pandangannya ke arah luar gerbang, demi mencari gadis cantik yang Lingga maksud. Tapi mang Damar tidak menemukan satu pun manusia yang lewat. Apalagi seorang gadis.
“Nggak ada siapa-siapa, Den.” Mang Damar menggaruk tengkuknya yang memang gatal. Lingga menunjuk tempat tadi gadis itu terlihat, dan bilang, “tadi dia dari arah situ, Mang. Beneran deh.”
“Ah, iya. Mungkin gadis itu sudah keburu lewat sebelum mang Damar melihatnya ya, Den.”
Lingga menangguk membenarkan. Dia yakin sekali kalau gadis itu adalah manusia. Mengingat gadis tadi memijak tanah.
Sadar telah lama membuang waktu, Lingga cepat-cepat menaiki motornya dan berpamitan sekali lagi pada mang Damar. Lelaki tua itu memperingati Lingga untuk berhati-hati karena jalanan sekitar sini tidak cukup bagus untuk dilalui motor sport seperti milik Lingga.
Lingga mengangguk dan segera melaju cepat meninggalkan mang Damar yang diam-diam melirik terus ke tempat yang Lingga tunjuk tadi‒tempat gadis itu katanya keluar.
Dalam hati mang Damar berucap, bukankah tempat yang Den Lingga tunjuk tadi, jalan menuju kuburan?
***
Dalam perjalanan menuju sekolah, Lingga tidak menemui hambatan sama sekali. Memang suasananya agak berkabut. Tapi itu bukan masalah selama tidak ada makhluk halus menampakkan wujudnya di depan Lingga.
Dering suara handphone yang berasal dari saku celana sekolahnya membuat Lingga terpaksa berhenti. Siapa tahu telepon penting dari ibu. Begitu pikirnya.
“Halo?” Kata Lingga.
Hening. Tidak ada yang menjawab.
Lingga berkata sakali lagi. Tapi masih belum ada yang menjawab. Saat Lingga akan menutupnya karena mengira hanya telepon iseng dari orang asing, tiba-tiba terdengar sebuah suara. Suara ibunya.
‘Ling, kamu balik lagi dong. Ibu butuh kamu. Cepet ya.’ Kata ibunya terdengar panik. Lingga lantas memutar balik motornya menuju rumah. Bolos sekolah tidak apa-apa, demi ibu yang membutuhkannya.
Setelah sampai di rumah, Lingga cepat-cepat berlari masuk ke dalam. Berteriak memanggil ibunya.
Ibu muncul dari lantai atas dengan alis mengkerut. Heran dengan Lingga yang kembali lagi ke rumah. Lingga yang melihat ibunya, langsung bertanya dengan tergesa, “Ibu nggak apa-apa kan? Apa yang Ibu butuhin? Lingga harus bantu apa untuk Ibu?”
Ibu yang kaget dengan pertanyaan Lingga yang membabi buta, segera menenangkan anaknya. Ibu menyuruh Lingga duduk, dan bicara pelan-pelan. Lingga menurut, tapi masih menampakkan raut paniknya pada ibu.
“Tadi Ibu telepon Lingga kan? Bilang kalau Lingga harus kembali lagi ke rumah, karena Ibu butuh bantuan Lingga,” jelas Lingga dengan agak tenang.
“Telepon kamu?” tanya ibu. Lingga mengangguk. “Ibu nggak telepon kamu, Ling.” Lanjut ibunya. Lingga terdiam, “tapi Bu, suaranya suara Ibu, dan―”
“Kamu pasti pusing ya? Badan kamu panas. Sudah, jangan sekolah dulu hari ini. Istirahat saja ya,” kata ibu. Wanita itu beranjak pergi menuju dapur untuk mengambilkan minuman dingin. Lingga masih terdiam.
Suara wanita yang dia dengar di telepon tadi memang mirip sekali dengan suara ibunya. Lingga yakin itu suara ibunya. Tapi kenapa? Apa mungkin…
Hantu?
***
Beberapa minggu tinggal di rumah kakek, Lingga mencoba membiasakan diri. Tapi nyatanya? Tidak bisa. Katakan saja ia sedang berhalusinasi saat melihat ada kepala di balik tudung saji. Saat teriak di ruang makan, ibunya melotot dan mengomel—dan adiknya meledek dengan juluran lidah. Seluruh tubuhnya bergetar saat adiknya mencomot ayam goreng yang berada persis di depan kepala berambut panjang itu. Ada darah yang terciprat pada potongan ayam goreng itu.
“Jangan dimakan!” pekik Lingga ketika Gian baru menggigit ayamnya. Semua bengong melihat napas Lingga yang tersengal, seperti baru lari maraton, sebab ada aliran keringat dari pelipisnya.
Sinting!
Lingga muak diledek seperti itu oleh adik-adiknya, meski mereka hanya anak kecil, tapi tetap saja menyebalkan. Tak ada yang mengerti, bahkan ibunya sendiri juga mengatakan demikian.
“Istirahat yang cukup, kayaknya kamu kelelahan…”
Tapi Lingga sama sekali tidak merasa ada keluhan dalam tubuhnya. Ini nyata, apa yang dilihat kedua bola matanya terlalu jelas jika dianggap sekadar halusinasi. Tapi ibunya tak mengerti, Lingga bangkit dan meninggalkan separuh nasi yang masih tersisa di piring. Nafsu makannya lenyap sejak melihat banyak tetesan darah di meja makan, darah yang berasal dari kepala yang tersaji di balik tudung. Sial, Lingga merasa perutnya kembali bergejolak, dan…
“Hueekk…” Isi perutnya tumpah sebelum ia sampai di wastafel kamar mandi. Seragam sekolahnya ternoda, tumpahan muntah itu membuat kemejanya basah. Ibu panik, meninggalkan sarapan paginya dan buru-buru memijat tengkuk Lingga.
“Ibu bilang apa? Kamu lagi nggak sehat. Pagi-pagi gini sudah muntah.”
Lingga tak banyak bicara. Ibunya tak akan percaya jika mengatakan penyebab ia muntah adalah kepala yang berada tepat di tengah meja makan. Kepala wanita berambut pirang panjang. Ada darah segar yang mengalir dari kelopak yang bola matanya nyaris terlepas.
“Ibu buatkan surat izin, kamu istirahat di rumah dulu sekarang.”
Lingga membiarkan ibunya mengantar sampai kamar. Sepertinya ia memang harus segera tidur. Istirahat dan berharap hal-hal aneh barusan hanya mimpi.
“Ibu tinggal nggak apa-apa, ya? Ibu mau nganter adik-adikmu.” Ibu membuka lemari besar di kamar Lingga, menyiapkan baju ganti untuk menukar baju Lingga yang terkena muntahan tadi. Tak butuh waktu lama bagi Lingga untuk berganti baju dan melompat ke tempat tidur.
“Aku bukan anak kecil, Bu.”
Ibunya tersenyum, lalu melangkah menuju jendela untuk menutupnya. Sepertinya Lingga masuk angin gara-gara jendela kamarnya selalu terbuka.
“Jangan suka buka jendela, udara dari luar dingin banget, kan?”
“Aku nggak pernah buka jendela, Bu.”
Wanita itu menggeleng lemah, lalu meninggalkan kamar Lingga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
n e u l
minuman hangat dong mak /Cry/
2024-01-15
2