Bab 10. Belakang Lukisan

Mereka berdua segera memakai masker yang disediakan oleh ibu, karena pasti debunya banyak dan bisa membuat Lingga terbatuk.

Lukisan itu cukup berat. Terang saja, ukurannya besar. Selain itu, kayu yang dipakai sebagai bingkai lukisan terbuat dari kayu berkualitas tinggi dan sudah berumur puluhan tahun.

Lingga terlihat agak keberatan. Ibu sempat menawarkan mang Damar untuk membantu pekerjaan Lingga, namun Lingga menolak. Mang Damar sudah tua, pasti tenaganya tidak sekuat aku yang masih muda. Pikir Lingga.

“Bu, kenapa Kakek suka sekali dengan lukisan binatang?” tanya Lingga. Berusaha memulai topik pembicaraan. Daripada diam kan?

“Loh, ini bukan hobi Kakekmu, Ling. Lukisan ini sudah ada sebelum Kakek membeli rumah ini. Kakek juga yang merenovasi rumah ini sampai bagus seperti sekarang,” jawab ibu.

Lingga tersentak kaget. Tunggu, kalau sudah ada dari dulu..ada kemungkinan lukisan ini berumur…ratusan tahun?

“Memangnya kenapa, Ling?” tanya ibu, karena melihat Lingga yang bengong, dan hampir kehilangan fokusnya mengangkat lukisan.

Lingga buru-buru menggeleng. Mengatakan pada ibu bahwa tidak ada apa-apa. Masalahnya, sekarang ibunya itu lebih cerewet dan selalu ingin tahu. Lingga cenderung tidak suka ditanyai macam-macam.

“Sudah semuanya Lingga turunkan. Lingga bawa ke gudang dulu.”

Ibu mengangguk. Wanita itu mulai membersihkan tembok yang dipenuhi oleh ramat, juga sarang laba-laba.

Gudang terletak tidak jauh dari dapur. Lingga dengan cepat, sampai ke sana. Meletakkan lukisan tersebut di pojok dekat sepeda tua yang sudah lama tidak terpakai. Kalau saja tidak besar dan lumayan berat, Lingga pasti membawa kelima lukisan itu sekaligus.

“Tinggal 4 lagi. Aku harus cepat.” Lingga berjalan ke luar gudang. Tapi...

‘Hihi…’

Langkah kakiknya otomatis terhenti. Tubuhnya membeku. Udara dingin langsung menerpa kulit belakang lehernya.

‘Hihi...’

Lagi, suara kikikan kecil itu membuat Lingga berhenti melangkah. Lingga menengok ke belakang. Tidak ada apa-apa. Pikirnya. Pemuda itu memutuskan untuk tidak mempedulikannya.

Tiba-tiba saja, ibu berteriak. Memanggil-manggil namanya dengan panik. Lingga lantas langsung berlari, dan mendapati ibunya terduduk lemas dengan kipas angin besar yang tergeletak di sebelahnya.

“Bu, ibu kenapa? Baik-baik aja kan? Kenapa kipas angin besar ini bisa jatuh bu?” Tanya Lingga bertubi sambil membantu ibunya berdiri, dan duduk di kursi panjang dekat sana.

Ibu menggeleng. Sepertinya kaki ibu terkilir. Terbukti dengan adanya lebam biru di sana. Lingga langsung memijat-mijat kaki ibunya. Tidak hanya itu, Lingga juga mengambilkan ibunya segelas air dingin untuk membuat wanita yang paling Lingga sayangi tersebut tenang.

“Ibu tidak tahu kenapa, Ling. Kipas angin itu tiba-tiba jatuh saat ibu sedang membersihkan sarang laba-laba di sana,” jelas ibu setelah tenang.

Lingga menengadah ke atas. Tepat ke arah di mana ibunya itu menunjuk. Dan betapa kagetnya Lingga saat melihat ada sesosok makhluk berkulit hitam sedang menjulurkan lidahnya kepada Lingga.

Ini pasti ulahnya. Batin Lingga.

“Ling, kamu lihat apa?” tanya ibu penasaran, karena Lingga terus saja melihat ke atas.

“Eh, nggak, Bu.” Lingga tersenyum. “Ibu istirahat saja di kamar. Biar Lingga yang bersihkan semuanya. Ya?” kata Lingga. Ibu merasa bersalah pada anak sulungnya itu. Lingga pasti capek. Belum lagi, lukisan yang tersisa itu masih harus Lingga angkat ke gudang. Batin ibu.

“Nggak apa-apa kok, Ling, Ibu sudah baikan. Kaki Ibu juga sudah tidak sakit,” kata ibunya. Lingga mengernyit. “Ibu jangan keras kepala deh. Biar Lingga saja yang kerjakan. Ibu pokoknya istirahat di kamar, titik!” perintah Lingga.

Ibunya tidak bisa berbuat apa-apa kalau Lingga sudah ngotot. Terpaksa, ibu berjalan meniggalkan Lingga menuju lantai atas, ke kamarnya.

Tuh kan, masih pincang saja berlagak sok kuat. Dasar ibu. Gumam Lingga.

Saat akan diangkat, Lingga merasa bahwa lukisan itu bertambah berat. Sepuluh kali lebih berat dari yang pertama. Aneh, saat diangkat dari atas tadi, tidak ada yang seberat ini. Pikir Lingga heran.

Penasaran, Lingga membalik lukisan itu dengan susah payah. Karena beban berat lukisan tersebut berasal dari arah belakang lukisan.

Dan setelah dilihat…

Ugh! Sial! Sial! Sial! Sial!

Banyak kepala anak kecil yang menempel di belakang lukisan, sedang memamerkan gigi-gigi mereka yang merah dan kotor.

Lingga bisa sedikit lega setelah kembali ke kamarnya. Mang Damar mengantarkan Lingga sampai ke kamar, menyalakan semua lampu dan menenangkan Lingga berkali-kali.

“Jangan takut sama hal begituan, Den,” ucap mang Damar. “Nanti juga terbiasa.”

“Maksud Mang Damar, ini nggak bakal bisa berakhir?” Lingga menggigit bibir saat naik ke ranjang. Takut. Sangat takut. Perkataan mang Damar itu sama sekali tidak membuatnya membaik. Kalau memang melihat hal-hal di luar nalar itu akan berkelanjutan, Lingga pasti bisa dianggap gila atau benar-benar gila! Lingga tidak mau! Tidak!

“Tidak ada yang bisa mencegah mata melihat, telinga mendengar, dan tubuh yang merasa, Den.” Mang Damar menunduk dan permisi ke luar. Tubuhnya berkeringat setelah membantu mengangkat lukisan.

Mang Damar baru sampai mulut pintu ketika Lingga memanggilnya kembali. Pria itu menoleh, “kenapa, Den?”

“Makasih…”

“Bukan apa-apa…”

***

Yang Lingga tak mengerti, kenapa justru orang seperti mang Damar yang membuatnya tenang? Satu-satunya orang yang bisa Lingga ajak bicara tentang keanehan di rumah kakek. Mang Damar memang bukan orang biasa. Barangkali, mang Damar punya kemampuan khusus. Entahlah, tapi setiap ada mang Damar, Lingga merasa lega, mungkin karena bisa menumpahkan keluh kesahnya. Meski Lingga sendiri kadang juga merasa mang Damar itu berbeda.

Ah, Lingga baru ingat ada tugas dari sekolahnya saat matanya hampir terpejam. Sial. Lingga buru-buru bangkit dan menggeledah isi tasnya. Matematika, pelajaran paling menyebalkan. Pemuda itu mengumpat berkali-kali saat mengerjakan soal yang begitu rumit. Meski berusaha fokus, tapi tetap saja sulit. Begitu serius Lingga mengerjakan soal itu hingga tak menyadari ada banyak bola mata yang mengamatinya. Termasuk perempuan bergaun merah yang tengah menenteng kepalanya sendiri.

Nyaris tengah malam ketika Lingga tak sanggup lagi. Ada satu soal yang belum terpecahkan, dan Lingga memilih mengabaikannya sebelum kepalanya benar-benar pecah.

Lingga menguap beberapa kali. Rasanya mengantuk sekali. Ia baru saja akan menghempaskan tubuhnya ke ranjang, tapi menyadari gorden jendela kamarnya masih terbuka, Lingga bangkit dan melangkah menuju jendela. Saat itu, Lingga bisa melihat mang Damar.

Ada yang lain dari mang Damar. Pria tua itu sepertinya tidak pernah tidur. Sepertinya bukan cuma kali ini. Tiap kali Lingga akan menutup gorden menjelang tidur, mang Damar pasti masih ada di pelataran rumahnya. Duduk di kursi rotan yang usang. Padahal sudah hampir tengah malam. Kenapa mang Damar tidak tidur? Lingga saja sudah menahan kantuk demi menyelesaikan PR.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!