Bab 19. Jangan Bahas Hantu Lagi

“Kamu tidur sama mang Damar lagi?” Ibu geleng-geleng melihat Lingga. Tadi pagi, ibu sempat melihat tukang kebunnya itu keluar dari kamar Lingga dengan mata mengantuk. Lingga itu sudah genap 17 tahun bulan lalu, tapi jiwa penakutnya itu masih saja lebih dominan. Bahkan kedua adiknya saja tidak pernah minta ditemani tidur.

“Bu, kemarin ada—“

“Jangan bahas hantu lagi,” potong ibu sebelum Lingga menyelesaikan ucapannya. “Ibu nggak mau denger soal mistis-mistis lagi!”

Geram, Lingga meremas roti bakarnya. Lalu menggigitnya dengan brutal. Pagi ini Vian dan Gian tidak keluar kamar. Vian seperti biasa, masih minta makanan dikirim ke kamarnya, sementara Gian, kabarnya masih marah soal kemarin. Anak itu mengurung diri dan tidak mau keluar.

“Kenapa sih kamu jadi cowok penakut banget?” Ibu menata dua piring roti bakar untuk dikirim ke kamar si kembar.

“Bu, sungguh… nggak ada seorang pun yang bakal berani kalau ngerasain apa yang aku rasain.” Lingga mencoba menjelaskan. Tapi sulit sekali membuat wanita itu percaya.

“Den Lingga nggak bohong, Bu.”

Wanita itu menoleh ketika mang Damar mendadak berdiri di belakangnya. Lingga sampai tersedak saking kagetnya dengan kehadiran mang Damar yang tiba-tiba. Lingga yakin kalau ibunya juga merasakan hal yang sama. Bahkan wanita itu sempat menumpahkan sedikit susu kotak saat mang Damar mendadak muncul.

“Mang, ngagetin aja, sih?” seru Lingga.

“Maksud mang Damar apa?” tanya ibu heran.

“Nggak ada salahnya sesekali dengerin den Lingga,” ucap mang Damar serius. Wanita itu tak serta merta menerima pendapat mang Damar. Bagaimana pun juga, wanita itu lebih percaya pada hal yang lebih realistis.

“Mang, jangan suka belain Lingga.” Meski kalimat itu diucapkan dengan senyum yang mengiringi, tetap saja kesannya serius.

“Sungguh, bukan maksud bela Den Lingga, Nya.”

“Bener, Bu. Di sini yang ngerti kondisiku cuma Mang Damar aja kayaknya.” Lingga menenggak susunya dengan brutal, lalu tersedak. Ibunya tertawa, mang Damar menahan diri untuk tidak ikut tertawa.

“Mang Damar telalu memanjakan Lingga.”

Lingga terbatuk lagi, tapi kali ini bukan karena tersedak susu, tapi karena kata-kata ibunya barusan. “Ibu, apaan sih?”

“Tentu saja nggak, Nya. Den Lingga ini bukan anak manja.” Mang Damar menepuk bahu Lingga, membuat pemuda itu tertawa malu. Ibu yang melihatnya tidak bisa melakukan apa pun kecuali mengiyakan saja. Sepertinya hubungan Lingga dan mang Damar lebih dekat dari kelihatannya. Mereka lebih mirip ayah dan anak saja.

“Mang, duduk sini, sarapan,” lanjutnya, menyiapkan sepiring roti lagi untuk mang Damar. Ibu mengamati Lingga yang begitu hangat menyambut tukang kebun itu di meja makan.

“Nggak, Den. Nggak sopan banget makan bareng majikan.” Mang Damar menolak, sungkan. Pria itu tetap menggeleng meski Lingga sudah menarik kursi untuknya.

“Halah… majikan apa? Mang Damar udah kayak pamanku sendiri. Sini, duduk…” Lingga menepuk kursi, mempersilahkan mang Damar yang masih saja merasa tak enak jika Lingga memperlakukannya terlalu istimewa.

“Bener, Mang. Duduk aja, sarapan dulu…”

***

Lingga berangkat ke sekolah setelah menyelesaikan sarapannya. Sepeninggal Lingga, hanya ada mang Damar dan ibu Lingga di ruang makan. Mang Damar baru akan membereskan piring dan gelas kotor, namun wanita itu menghalangi mang Damar yang akan ke dapur.

“Mang, saya mau bicara sebentar.”

Mang Damar kembali duduk dan menatap wanita itu dengan muka bingung. “Kenapa, Nya?”

“Yang Mang Damar maksud tadi apa?” tanya wanita itu, pikirannya sebenarnya tak tenang. Mulai berpikir, apa selama ini ia jadi ibu yang sangat buruk? Nyaris tak pernah mendengar keluhan Lingga sampai-sampai anak sulungnya itu lebih dekat dengan tukang kebun?

“Nyonya belum tahu soal Den Lingga?” tanya mang Damar.

“Tahu soal apa, Mang?”

“Susah ceritanya, Nya. Saya cerita juga nyonya nggak bakal percaya. Ini nggak masuk akal. Nanti, suatu saat, pasti Nyonya mengerti.” Setelah mengatakan itu, mang Damar menunduk permisi, mengemasi piring-piring kotor di meja dan membawanya ke dapur untuk dicuci.

Seharian ini pikiran ibu benar-benar terganggu dengan perkataan mang Damar. Belum lagi melihat Lingga yang seperti menjauhinya. Itu sungguh, membuat ibu khawatir. Gian dan Vian juga tidak mau bicara banyak padanya. Ketiga anaknya seolah menjelma menjadi sosok yang berbeda. Apa mungkin yang dikatakan mang Damar dan Lingga itu benar? Apa aku harus percaya pada hal-hal yang sudah jelas tidak masuk akal itu? Pikir ibu.

“Nya, tidak baik melamun sendirian di luar.” Mang Damar tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan ibu. Mungkin lelaki tua itu habis dari halaman belakang, bajunya kotor oleh tanah. Ibu hanya tersenyum menanggapi ucapan mang Damar. “Mang Damar mau temenin saya di sini? Biar saya nggak ngelamun lagi,” kata ibu sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Mang Damar menurut. Agak kurang nyaman duduk bersebelahan dengan majikannya ini, karena tubuhnya bau keringat.

“Mang, ceritakan tentang Lingga yang saya tidak tahu. Dia… berubah.” Suara ibu memelan di akhir kalimat. Kesedihan terpancar di bola matanya yang bening. Keriput-keriput halus yang ada di sekitar wajahnya sangat jelas terlihat. Mang Damar jadi tidak tega melihat majikannya bersedih seperti itu.

Dengan terpaksa mang Damar bilang, “Den Lingga sering diganggu makhluk halus penghuni rumah ini, Nya.”

“Diganggu bagaimana? Tidak ada makhluk yang mengganggu manusia dengan menampakkan wujud aslinya kan?” Suara ibu meninggi, tidak terima dengan apa yang mang Damar katakan.

“Tidak, makhluk-makhluk itu nyatanya memang benar-benar menggangu Den Lingga. Nyonya harus percaya. Tidak mau bukan kalau sampai Den Lingga depresi? Sebaiknya Nyonya pergi dari―”

“Mang Damar ngusir saya?!” Ibu terlanjur marah. Perkataan mang Damar sangat kelewatan baginya. Punya hak apa dia menyuruh kami pergi? Ini rumah ayah, bukan rumahnya! Batin ibu murka. Dia berlalu begitu saja, masuk ke dalam rumah, meninggalkan mang Damar yang menghela napasnya lelah. Memang, kelakuannya tadi terbilang sangat lancang untuk ukuran tukang kebun sepertinya. Tapi sungguh, maksud mang Damar itu baik.

Daripada nanti semuanya terlambat? Lebih baik segera angkat kaki dari sini bukan? Pikir mang Damar.

Lelaki tua itu juga sebenarnya sudah sangat tidak betah tinggal di sini. Namun apa daya? Janji dan kesetiaannya pada almarhum kakek Lingga membuatnya mau tidak mau harus bertahan di sini. Sampai ada yang membeli rumah ini, dan memecatnya, barulah mang Damar bisa pergi. Tapi mana? Sudah dua tahun berlalu sejak kematian almarhum kakek Lingga, rumah ini tidak juga dilirik untuk di beli. Memang sudah ada beberapa keluarga yang datang ke sini, berniat untuk membeli rumah ini pada awalnya. Tapi apa? Semuanya ketakutan saat diajak berkeliling rumah oleh mang Damar.

Hampir semuanya mengeluh bahwa rumah ini berhantu. Mang Damar putus asa. Sepertinya dia harus tinggal di sini sampai mati. Toh, sudah tidak ada keluarganya yang tersisa. Anak dan istrinya meninggal 10 tahun yang lalu akibat kecelakaan. Mang Damar bisa apa selain berserah diri pada Tuhan?

Kadang, karena matanya yang cacat, mang Damar sering digunjing oleh beberapa penduduk di sekitar sini. Katanya mata setan lah, jelmaan siluman lah, dan segala hal buruk lainnya. Mang Damar diam, bukan berarti mang Damar tidak kesal dan marah. Dia ingin marah. Ingin sekali. Namun para penduduk yang selalu menggunjingnya itu sudah lebih dulu hijrah ke kota. Tidak ada kesempatan bagi mang Damar untuk membalas. Ya, mang Damar pernah berniat ingin membalas perbuatan mereka semua. Entah dengan cara apa.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!