Bab 2. Penghuni

Desau angin terdengar. Lingga tersentak saat suara jendela yang terbuka itu menabrak sisi dinding. Ia bangkit dengan napas tersengal, gorden kamarnya berkibar-kibar. Bulu kuduknya kembali meremang, tapi yang ia sadari ini masih siang, meski di luar agak mendung, tapi tetap saja ini masih siang, tidak mungkin ada hal aneh-aneh, kan?

Lingga mencoba menenangkan diri sendiri dengan menggosokkan minyak itu lagi. Tapi berusaha tenang di rumah ini benar-benar mustahil. Pergerakan gorden yang terus berkibar itu membuat Lingga ngeri, mau tak mau ia bangkit dan menutup jendela terlebih dahulu. Namun, saat jendela baru ditutup, mendadak jendela itu kembali terbuka. Salah satu engselnya patah, sial!

Lingga keluar untuk minta bantuan mang Damar. Betapa hari ini begitu menyusahkan. Saat keluar, mang Damar tidak ia temukan di mana pun. Justru kedua adiknya yang berlarian yang ia temukan. Dua anak itu seperti tidak paham sedang berada di mana. Kalau mereka merasakan apa yang dirasakannya, mungkin kedua anak itu hanya bisa sembunyi di ketiak ibu.

“Kalian, jangan berisik. Kalian bisa membangunkan mayat-mayat yang dikubur di belakang!” Lingga hanya asal bicara, berusaha menakut-nakuti dua adiknya yang tidak bisa diam.

“Mayat? Kakak tuh yang kayak mayat hidup.” Gian tergelak. Lingga melotot saat dua anak itu mencibirnya dengan lidah menjulur. Lingga bersyukur ibunya ada di lantai dua, jadi ia bisa leluasa jika ingin menjitak adik-adiknya.

“Jangan lari kalian.” Lingga, tak kalah cepat melesat, mengejar dua adiknya untuk membalas kelakuan mereka. Suara debum langkah menggema, memantul-mantul ke penjuru ruang tamu yang sangat besar dan pengap. Meski jengkel, namun Lingga harus menahan tawa melihat eskpresi menggemaskan adiknya yang dengan kompak membully kakaknya sendiri.

“Awas kalian, ya…” Lingga mengaum seperti macan, dua bocah kecil itu berlari kepayahan. Melihatnya Lingga makin bersemangat. Ia percepat laju larinya, namun mendadak seperti ada rambut yang sangat banyak di lantai ruang tamu, membuatnya tersandung hingga tersungkur mencium lantai.

Gian dan Vian terpingkal. “Kakak emang ceroboh… huu…”

Lingga bangkit perlahan. Bukan masalah sakit saat terjatuh tadi, namun kejanggalannya. Sial. Apa tadi ia hanya salah lihat? Apa ia berhalusinasi? Rambut panjang itu nampak jelas di pelupuk matanya, saat ia berusaha mencarinya lagi, tak ada apa pun di lantai. Sungguh.

Gian dan Vian baru menghentikan tawa mereka saat melihat warna merah yang mengalir dari hidung Lingga. “Kakak mimisan.”

Lingga terkejut saat adiknya mengatakan itu nyaris bersamaan. Ia sendiri juga tak sadar jika ada banyak darah yang mengalir dari hidungnya akibat terjatuh tadi.

“Ibu… kakak mimisan…” Vian berteriak, gadis kecil itu juga masih bisa mencemaskan kakaknya. “Sudah, jangan teriak.” Lingga menenangkan. “Kakak nggak apa-apa.” Lingga mengusap darah yang mengalir itu dengan lengan bajunya. “Cuma luka kecil di hidung. Sebentar lagi juga darahnya berhenti mengalir.”

Gian menyangsikan kata-kata kakaknya. Buktinya darah itu tak juga berhenti meski berkali-kali Lingga mengusapnya dengan lengan baju. Membuat noda yang kontras sekali dengan baju Lingga yang saat itu berwarna biru muda.

“Jangan ganggu Ibu, Ibu lagi capek,” ucap Lingga. Sepertinya ia harus minta bantuan mang Damar untuk mencarikan daun sirih, sepertinya perdarahan di hidungnya tak akan berhenti sebelum di sumpal dengan gulungan daun sirih.

Di depan, mang Damar juga tidak ada. Ah, keburu kehabisan darah kalau begini!

Lagi-lagi Lingga nyaris melompat saat pundaknya mendadak disentuh, saat menoleh, seperti dugaannya, lelaki tua bermata satu itu tersenyum kepadanya. Namun senyumnya memudar saat melihat darah di hidung Lingga.

“Den mimisan…”

“Iya,” Lingga mendongak, berusaha menahan darahnya. “Bisa minta tolong carikan daun sirih?”

Mang Damar mengangguk dan bergegas pergi entah ke mana. Lari mang Damar saat itu sangat cepat, Lingga bisa melihat kaki-kaki itu bergerak lincah, tidak hanya dua kaki, tapi tiga. Tunggu? Lingga mengerjap, lantas kembali menatap kaki mang Damar, dan menemukan kaki itu hanya dua saja. Sepertinya ia memang berhalusinasi. Mungkin terlalu lelah, atau apa?

Lingga tak mengerti.

Di kamarnya yang besar dan dingin itu, Lingga memikirkan lagi kejadian barusan. Tentang kaki mang Damar yang tiba-tiba berubah menjadi tiga, dan tentang rambut hitam panjang yang membuatnya terjerembab jatuh sampai mimisan. Semuanya terlalu nyata untuk bisa dibilang hanya halusinasinya saja.

Lingga yakin, penyebab kejadian ini adalah ulah para makhluk halus penghuni rumah kakeknya. Hampir sama seperti rumah Lingga yang ada di kota. Namun di sini sepuluh kali lipat lebih menyeramkan, karena Lingga bisa melihat, merasakan kehadirannya, dan mendengar suaranya. Bukan hanya sekadar mencium baunya yang busuk, dan merasakan dinginnya yang menyengat.

Memang hanya ayah yang bisa mengerti keadaanku yang begini. Batinnya sambil menerawang ke arah langit-langit kamar.

Lalu tiba-tiba udara di kamarnya seperti berkali-kali lipat lebih dingin, mencekam. Bukan hanya itu saja, lampu di kamar Lingga pun tiba-tiba nyala-mati-nyala-mati, terus begitu sampai sepuluh kali.

Lingga hanya diam seperti patung. Matanya bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri mengikuti kursi goyang yang ada di kamarnya. Seperti ada yang menduduki. Batin Lingga. Harum bunga melati menyeruak memenuhi kamar tersebut. Ada sepasang tangan pucat yang naik perlahan ke atas kasur Lingga.

Suara gesekan kukunya pada seprai biru kasur Lingga terdengar sangat menyayat. Dalam hati, Lingga terus merapalkan kalimat ‘ini mimpi ini mimpi ini mimpi’ seperti mantra. Tapi bekas tanah merah yang menempel di atas kasurnya terlalu nyata untuk bisa disebut sebagai mimpi.

Lingga gemetar hebat saat wajah menyeramkan itu akhirnya terlihat. Matanya seperti mau keluar dari tempatnya, dan ada bekas luka yang menganga lebar di bagian dadanya. Memperlihatkan organ-organ dalam yang hampir membuat Lingga muntah.

Lingga tanpa sadar menangis. Matanya ingin terpejam, namun sulit. Seperti ada yang memaksa mata Lingga untuk terus terbelalak menyaksikan adegan-adegan menyeramkan yang terjadi di kamarnya.

Ingin rasanya malam ini segera berakhir. Kalau perlu hidupnya yang berakhir. Ah, jangan berpikir sembarangan kamu Ling. Batinnya, mencoba menepis pikiran-pikiran negatif yang sejak tadi berseliweran di otaknya.

Lingga mual. Tangan kanannya refleks menutupi mulutnya melihat makhluk itu tiba-tiba saja memutar kepalanya 360⁰. Tulang-tulang lehernya jelas patah. Darah berwarna hitam legam muncrat kemana-mana. Lingga tidak tahan lagi!

Pemuda itu berteriak sekencang-kencangnya, lalu kabur keluar kamar. Berlari secepat yang dia bisa.

Lingga beberapa kali menengok ke belakang. Untuk berjaga-jaga siapa tahu makhluk menyeramkan itu mengikutinya. Tapi nihil. Tidak ada satu pun yang mengikuti Lingga. Suasana rumah sepi senyap. Lorong-lorong yang ada di sepanjang ruang makan ke ruang tamu gelap gulita.

Lingga berhenti tepat di depan jam dinding besar yang menempel di tembok, diapit oleh dua lemari berisi perabotan seperti gelas, dan piring. Pemuda itu berusaha mengatur napasnya yang tersengal akibat berlari. Lututnya bergetar hebat, dan kulitnya terasa dingin. Namun entah kenapa keringat mengalir dengan deras.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Avilla Maria

Avilla Maria

cerita yang bagus sekali apakah ada cerita yang berjudul perahu tangkuban?

2024-08-28

0

Feny Kurniawati

Feny Kurniawati

semangat kakak othor

2024-04-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!