Bab 12. Ada yang Aneh

“Kamu tadi malem tidur ditemenin Mang Damar ya?” tanya ibu. Wanita itu sedang membuat roti bakar kesukaan Gian dan Vian untuk mereka sarapan. Lingga yang ditanyai seperti itu hanya mengangguk sambil menuang segelas susu putih kesukaannya.

“Kenapa? Takut? Kan sudah besar,” kata ibu sambil tersenyum jahil pada Lingga.

Lingga mendecih kesal dengan wajah memerah karena malu. “Kenapa tidak panggil Ibu, atau adikmu Gian untuk menemani?” tanya ibu lagi. Dengan malas Lingga menjawab, “aku nggak mau ganggu tidur kalian. Kebetulan, cuma Mang Damar yang belum tidur tadi malam Bu.”

Ibu menaruh roti bakar rasa coklat itu ke dalam piring, lalu membawanya ke meja makan. Diikuti Lingga yang membawa sekotak besar susu putih. Gian dan Vian berlarian dari atas tangga menuju ruang makan. Ribut seperti biasa. Tapi justru karena hal itu lah yang membuat rumah menyeramkan ini terasa begitu ‘hidup’. Apalagi kalau si kembar sudah meributkan hal-hal tidak jelas. Semakin menambah hangat suasana.

“Pelan-pelan makannya, dasar bocah,” kata Lingga, saat melihat kedua adiknya makan dengan terburu dan berantakan kemana-mana.

“Kakak sendiri nggak makan? Kok cuma minum susu?” tanya Gian sambil menunjuk sekotak susu putih yang dari tadi Lingga pegang.

“Pasti karena Kakak takut muntah lagi kalau makan,” Vian menimpali. Tumben, anak itu lebih diam dari biasanya. Batin Lingga.

“Ya, bener banget, Vi,” sahut Lingga malas. Diam-diam Vian melirik Lingga dengan ekor matanya, intens. Lingga yang merasa kalau Vian dari tadi meliriknya, bertanya, “kenapa Vi? Ada yang aneh di muka Kakak?”

Vian diam, kemudian mengalihkan pandangannya ke mana saja, asal tidak ke arah Lingga lagi. Lingga yang melihat gelagat tak biasa dari Vian hanya mengangkat bahu. Berusaha tidak mempedulikan walau sebenarnya agak penasaran.

“Bu, Vian udah selesai. Ayo berangkat.” Secara mengejutkan, kali ini Vian dulu lah yang selesai menghabiskan sarapannya. Gian saja sampai melotot dan berteriak, “tumben rakus! Eh tapi biasanya juga rakus sih. Tapi sekarang kok cepet?”

Vian melirik Gian sebentar, lalu beralih lagi pada ibu. Wanita itu juga sudah menyelesaikan sarapannya. “Tunggu sampai Gian selesai ya, Sayang,” kata ibu. Vian melirik Gian dan berkata, “cepat habiskan.”

Lingga yang memperhatikan, merasa aneh dengan tingkah Vian hari ini. Pasalnya, Vian tidak pernah melirik dingin pada Gian seperti tadi.

Aneh, apa mungkin mereka berdua berantem?

Tapi…

“Ling, jangan melamun terus dong. Kamu mau terlambat ke sekolah?” Suara ibu mengagetkan Lingga. Otomatis, pikirannya tentang sifat aneh Vian hari ini, buyar. Lingga juga cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. Walau kelihatannya di luar masih diselimuti kabut, kalau bersantai, Lingga akan terlambat juga ke sekolah.

Ibu, Gian dan Vian, sudah ke luar lebih dulu. Lingga sempat memperhatikan Vian saat anak itu ke luar dengan menggandeng tangan ibu. Tidak ada yang aneh. Masih yang biasa. Manja, dan..kecil untuk anak berusia 10 tahun. Berbeda dengan Gian yang agak gemuk.

Lingga berusaha menepis berbagai pikiran negatif yang berseliweran di otaknya tentang Vian. Nggak Ling, adikmu masih sama seperti biasa. Mungkin moodnya saja yang sedang jelek hari ini. Batin Lingga.

Di depan, saat Lingga ke luar untuk memanaskan motor, sudah ada mang Damar yang sedang membersihkan halaman, dan menyiram tanaman seorang diri. Seperti biasa.

Lingga pikir, kenapa tidak menyewa pembantu saja untuk membantu mang Damar? Kasian kan kalau mang Damar harus melakukan pekerjaan membersihkan rumah dan halaman sendiri? Memang sudah ada buruh cuci, tapi tetap saja tidak membantu pekerjaan mang Damar.

“Mang, makasih ya. Udah nemenin aku tadi malem. Makasih banget lho, Mang. Tidurku semalem nyenyak banget,” kata Lingga pada mang Damar semangat.

Mang Damar tersenyum kecil menanggapi ucapan Lingga. “Den Lingga bisa panggil saya kapanpun Den Lingga butuh,” sahut mang Damar.

“Err…oke, Mang. Tapi aku usahain nggak bakal sering-sering ngerepotin Mang Damar kok.”

“Ngomong-ngomong, Den Lingga nggak ngerasa ada yang aneh sama Non Vian?” Mang Damar berhenti melakukan pekerjaannya, dan menatap Lingga lekat-lekat. Lingga mendadak diliputi perasaan aneh.

“Nggak tuh, Vian baik-baik aja kok. Masih sama kaya kemaren-kemaren. Aku juga nggak liat ada makhluk aneh ada di sekitar Vian. Emang mang Damar ngerasanya gimana?” tanya Lingga.

“Oh, gitu toh. Nggak, saya cuma tanya aja, buat memastikan. Ternyata memang nggak ada apa-apa ya.” Mang Damar kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara Lingga, pemuda itu terdiam memikirkan ucapan mang Damar barusan.

“Den? Kenapa melamun? Sudah jangan dipikirkan. Mudah-mudahan aja firasat saya salah,” kata mang Damar. Kata-kata ‘firasat saya salah’ sengaja mang Damar kecilkan nadanya.

“Mang, aku nggak enak badan. Aku masuk dulu ya,” tanpa menunggu mang Damar membalas perkataannya, Lingga sudah masuk ke dalam rumah. Mang Damar jadi merasa menyesal telah mengatakan hal barusan kepada Lingga.

Di dalam rumah, Lingga mendengar lagi alunan musik klasik yang sangat menghanyutkan itu. Seperti terhipnotis, Lingga memejamkan matanya. Melangkah mengikuti arah alunan musik itu berasal.

Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah lemari besar yang terletak di ruang makan. Lingga yakin, suara itu berasal dari sana. Untuk membuktikan benar atau tidaknya, Lingga segera membuka lemari itu, berusaha mencari benda yang menurutnya bisa menghasilkan alunan suara musik klasik.

Kotak musik. Lingga mencari kotak musik di dalam lemari. Tapi nihil. Tidak ada apapun dalam lemari besar itu. Hanya debu tebal yang ada, dan membuat Lingga terbatuk.

Tersadar bahwa tujuan awalnya bukan ke sini, Lingga segera membalikkan badan dan melangkah menjauhi ruang makan. Namun Lingga merasa mendengar sesuatu. Seperti suara pintu terbuka. Lingga menoleh lagi ke arah lemari itu. Tidak ada siapa-siapa. Lemarinya juga sudah tertutup. Sadar bahwa ada yang tidak beres, Lingga berlari menjauhi ruang makan.

Udara sekitar mendadak sedingin kutub. Untuk yang satu ini Lingga tidak akan kaget lagi. Yang akan membuat Lingga kaget adalah setelah udara mendadak berubah dingin. Biasanya akan ada sesuatu yang muncul. Atau bau-bauan yang tercium. Atau suara-suara aneh menyeramkan yang terdengar.

Lingga menunggu. Satu menit, dua menit, sampai menit-menit selanjutnya Lingga terus menunggu dalam ketegangan dan kecemasan. Entah apa yang membuatnya betah berdiam diri dalam suasana seperti ini.

Yakin kalau tidak akan ada yang keluar, Lingga melanjutkan langkahnya menuju kamar. Tapi sebelum mencapai langkahnya yang ke empat, Lingga merasa seperti ada yang mengikuti. Dengan amat perlahan Lingga menoleh, dan…

Menemukan mang Damar berada tepat di belakangnya. Hanya berjarak lima langkah saja. Lingga menghela napas lega. Jantungnya hampir copot hanya untuk sekadar menengok! Mang Damar mengernyit, kemudian bertanya, “ada apa, Den?”

“Nggak, nggak ada apa-apa, Mang. Aku kira tadi... ah, udahlah. Bukan apa-apa,” jawab Lingga. “Saya mau mengambil sesuatu di dapur. Tapi melihat Den Lingga yang sepertinya ketakutan, saya khawatir dan memutuskan untuk mengikuti Den Lingga. Hanya untuk memastikan Den Lingga aman sampai ke kamar. Maaf kalau saya malah semakin membuat Den Lingga takut,” jelas mang Damar panjang lebar.

Lingga tersenyum kikuk. “Nggak apa-apa, Mang. Jangan minta maaf. Aku juga ngerasa nggak enak sama Mang Damar, karena secara nggak langsung, aku curiga sama mang Damar.”

“Memangnya apa yang membuat Den Lingga takut?” tanya mang Damar.

“Itu, aku… ah lupain, Mang. Aku ke kamar dulu.” Belum selesai Lingga menjawab pertanyaan mang Damar, dia sudah berlari menuju kamarnya. Meninggalkan mang Damar yang terheran-heran sendiri.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!