Bab 18. Marah

Terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. Wisnu berlari, wajahnya dipenuhi oleh keringat. “Ling, aku nggak sanggup. Ilmuku belum cukup. Maaf, Ling. Aku pulang,” kata Wisnu. Napasnya tersengal. Lingga bisa lihat ada sorot ketakutan dalam mata Wisnu.

Wisnu berlari ke luar rumah. Menyalakan mesin motornya, lalu melesat dengan cepat. Tubuh Lingga lemas. Ternyata Wisnu pun tidak berani pada ‘mereka’.

Aku harus gimana?

Telepon ayah? Batin Lingga frustasi.

Tubuhnya merosot ke bawah. Bersandar di belakang sofa. Memeluk lututnya sendiri. Pada titik ini, Lingga merasa sendiri. Ibu tidak percaya, sementara ayah tidak ada. Satu-satunya harapan Lingga kini hanya mang Damar.

Itupun Lingga masih ragu. Masalahnya, sosok mang Damar kadang terlihat begitu menyeramkan di mata Lingga. Seperti... ada yang mendiami tubuh mang Damar. Seperti ada sosok lain dalam tubuh mang Damar.

“Den, sumurnya tidak bisa ditutup. Sebaiknya Den Lingga tidur. Ayo, Mang Damar temani,” tawar mang Damar yang tiba-tiba datang. Ekspresinya datar. Tangannya juga dipenuhi tanah. Seperti habis menggali sesuatu. Lingga menatap mang Damar ragu.

“Den Lingga nggak perlu takut sama saya. Saya manusia, Den,” kata mang Damar. Pernyataan itu membuat Lingga tersentak. Dengan canggung, Lingga menerima uluran tangan mang Damar, membantunya berdiri.

“Maaf, Mang. Aku cuma lagi bingung,” jelas Lingga hampir seperti bisikan. Mang Damar hanya tersenyum maklum.

Keduanya berjalan menuju kamar Lingga. “Udah, Mang Damar nggak usah nemenin aku lagi. Aku jadi nggak enak.”

“Den Lingga lupa sama apa yang pernah saya bilang berulang kali, buat jangan sungkan sama saya?”

Lingga menunduk, “tapi Mang―”

“Udah, Den Lingga jangan banyak alesan lagi. Saya khawatir sama Den Lingga.”

Beberapa hari ini situasi makin memburuk saja. Bukannya menyembuhkan Gian dan Vian yang kerasukan, Wisnu justru membuat hantu-hantu itu makin menjadi. Saat Lingga mencoba menanyakan sesuatu pada Wisnu ketika mereka bertemu di sekolah, Wisnu justru kabur, terbirit seolah ketakutan.

Harusnya Lingga sadar, mengusir hantu-hantu penghuni rumah kakek adalah sebuah kesalahan. Mereka yang tinggal jauh lebih dulu, pasti marah jika dipaksa pergi meninggalkan tempat yang mereka suka. Lingga baru sadar hal itu ketika hampir tengah malam. Lingga merasa pintu kamarnya bergerak-gerak. Sungguh, saat itu Lingga yakin sudah mengunci pintu dari dalam, tapi mendadak pintu itu terbuka lebar-lebar.

Dengan menahan napas, Lingga bangkit dan menutup pintu kembali, tak lupa menguncinya rapat-rapat. Saat hendak kembali ke ranjang, mendadak pintunya kembali bergerak, terbuka lebar dan hempasan angin juga luar biasa, tirai-tirai terkibar, sampai pintu lemari pun terbuka.

Lingga mengamati sekeliling dengan keringat dingin. Tubuhnya gemetaran. Ia berlari menuju ranjang, berniat menyembunyikan diri di balik selimut. Namun saat sampai di sana, Lingga menyadari kasurnya basah. Ia mengamati tempat empuk itu ternyata dipenuhi darah segar yang berbau sangat anyir. Lingga memekik, lalu melompat turun. Saat kakinya menginjak lantai keramik kamarnya, kakinya justru terpeleset sesuatu yang licin. Lingga menjatuhkan pandangan dan mendapati darah juga ada di mana-mana.

Antara jijik dan ketakutan, Lingga berlari menuju ke luar kamar. Namun sialnya, kamarnya justru tidak bisa dibuka. Terkunci rapat. Kenapa jadi begini? Lingga menggedor pintu kuat-kuat, sembari berteriak, “Bu… Ibu…” berkali-kali, namun tak ada sahutan. Lingga masih terus mencoba menggedor pintu, tapi percuma. Lingga beralih ke jendela kamarnya, biasanya ada mang Damar di dekat sana. Lingga mencoba membuka jendela, tapi justru anehnya grendel jendela itu berkarat, dan sama sekali tak bisa bergerak saat ia coba menggeser pengunci jendela itu.

“Mang!” teriak Lingga, tangan kanannya menggedor-gedor kaca jendela. “Mang Damar, tolongin, Mang.”

Samar-samar, terdengar suara tawa perempuan yang mengerikan, memenuhi isi ruang. Tawa tanpa wujud itu membuat Lingga makin panik. Ia gemetaran sampai lutut-lututnya lemas dan tubuhnya merosot ke lantai. Ia terduduk, bersandar di dinding dekat jendela. Ia hanya tercekat saat melihat laci meja belajarnya bergerak-gerak. Makin cepat, makin cepat, dan akhirnya bergeser mundur, perlahan… tangan-tangan pucat keluar dari sana. Merayap, seperti cicak yang bergerak, keluar dari laci.

Lingga ingin berteriak saat dua tangan itu bergerak keluar, disusul dengan tubuh yang dibalut gaun mewah berwarna merah. Lingga bisa mengenali sosok itu, pasti Elizabeth. Makhluk itu merangkak turun dari laci meja, dan setelah sosoknya keluar sempurna dari laci, Elizabeth meraih kepalanya yang masih tertinggal di laci.

Makhluk halus berkepala buntung itu melangkah mendekat ke arah Lingga yang melipat tangannya di atas lutut, ia menggunakan itu untuk menyembunyikan wajahnya.

Namun Lingga masih bisa mendengar, kikik gembira hantu itu saat melihatnya ketakutan. Lingga merasa terhina, namun apa daya? Ia memang benar-benar takut. Makin takut saat laci mejanya bergerak lagi. Dengan gerakan cepat, lebih dari yang tadi. Lingga memberanikan diri untuk melihat apa yang terjadi, nyatanya? Bukan hanya ada Elizabeth di dalam kamarnya, ada pasukan yang lain rupanya?

Sosok anak-anak kecil juga muncul dari laci. Merayap-rayap seperti cicak. Disusul dengan potongan-potongan organ manusia yang tak beraturan. Bergerak-gerak liar mengelilingi Lingga yang gemetaran dan nyaris pingsan ketakutan.

Aroma busuk yang menyeruak membuat Lingga kembali mual, napasnya tersengal. Sosok-sosok makhluk astral yang mengerikan makin mendekat ke arahnya. Barang-barang yang ada di ruangan mendadak bergerak, bergetar dan terlempar ke arah Lingga.

Pyaaar!!!

Gelas susu sisa sarapan pagi tadi terlempar, persis di sebelah Lingga. Beling-beling berserakan. Dan ini nyata? Sial.

Prang!

Kali ini vas bunga yang terjatuh, sempat menyerempet lengannya tadi, dan terasa sangat sakit. Lingga meremas lengannya yang nyeri. Rasa sakit kali ini memang nyata. Dan ini pasti bukan sekadar halusinasi. Padahal mang Damar bilang kalau makhluk halus tidak mungkin bisa membunuh manusia? Ayah juga pernah mengatakan hal yang sama. Tapi nyatanya?

Lingga terdiam, merenungkan kembali kata-kata ayahnya.

Setan, arwah, ataupun makhluk halus lainnya tidak ada yang bisa membunuh manusia. Kecuali, kecerobohan manusia itu sendiri.

Kecuali kecerobohan sendiri? Apa maksud semua ini? Lingga makin gemetar mengingat kelakuannya kemarin yang ingin mengusir mereka dari rumah ini. Marahkah mereka? Murka?

Lingga memejamkan mata, sudah pasrah dengan apa yang akan mereka lakukan. Jika memang ia harus mati, mungkin sudah saatnya ia mati. Suara gebrakan pintu mendadak terdengar saat makhluk-makhluk itu mulai menggerayangi Lingga. Beberapa detik kemudian, pintu kamar Lingga terlepas. Mang Damar muncul di saat yang tepat, dan anehnya hantu-hantu itu langsung lenyap.

Lingga lemas. Tubuhnya terkapar di lantai. Mang Damar menghampiri Lingga yang tergeletak di samping jendela.

“Den?” Suara mang Damar hanya dapat terdengar samar-samar oleh telinganya. Mang Damar membimbing Lingga bangkit, meski lemas, Lingga masih bisa bergerak pelan. Ditidurkan kembali ke ranjang, mang Damar menyentuh tubuh Lingga yang sedingin mayat. Ya Tuhan, Lingga benar-benar ketakutan. Mukanya pucat. Bahkan ia tak berusara sampai mang Damar menyelimutinya.

Mang Damar menggosok telapak tangan Lingga, berusaha membuatnya hangat. Kedua bola mata itu menatap kosong ke depan. Pikirannya seperti tak pada tempatnya lagi.

“Den, jangan begini terus den. Ayo bicara sesuatu…” bisik Damar di telinga Lingga. “Mang Damar sudah di sini, sudah tidak apa-apa…”

Akhirnya kepala Lingga bergerak, menoleh ke arah mang Damar yang menatapnya dengan cemas. “Mang!” Lingga buru-buru bangkit, seolah baru terbangun dari tidurnya. Pemuda itu tersengal-sengal dan langsung memegang erat lengan mang Damar.

“Tolong jangan pergi,” pinta Lingga. “Jangan tinggalin aku ya, Mang.” Gemetaran tangan Lingga, mang Damar masih bisa merasakannya dengan jelas. Ketika Lingga menatapnya, ada gelincir keringat yang memenuhi wajahnya. Rasa empati itu membuat mang Damar merasa bersalah, kalau tadi datang lebih cepat, mungkin Lingga tidak akan kepayahan seperti ini.

“Den, tidurlah. Saya temenin.”

Lingga menurut jika mang Damar sudah memberi janji.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!