Kenyataan bahwa kasus Vian bukan jadi yang terakhir membuat Lingga tertekan. Sungguh, pemuda itu hanya bisa tercengang saat kasus selanjutnya dialami oleh adiknya yang lain, Gian. Lingga hanya bisa tercekat saat melihat keanehan Gian, yang suka mengamuk saat kemauannya tidak dituruti. Gian memang nakal, tapi ia tidak pernah nakal yang berlebihan seperti sekarang, Gian sampai melempar balok kayu ke arah Lingga hanya karena Lingga menolak diajak bermain bola. Beruntung bisa dihindari dengan cepat, kalau tidak mungkin bisa memar lumayan parah.
“Di luar panas, Gi. Mending kamu tidur siang aja.” Lingga berusaha bersikap halus pada Gian. Tapi anak itu justru bertindak sebaliknya. Ia melempar lagi segala barang yang ada di dekatnya. Vas-vas bunga yang berjajar di pelataran rumah ia hancurkan semua. Bunga-bunga peliharaan mang Damar tumpah ruah, hancur bersama kemarahan Gian.
“Nggak mau! Aku maunya kita main bola!”
Lingga menyerah, dan memilih mengalah. Daripada adiknya itu makin menjadi, mungkin lebih baik dituruti. Ibu pasti marah kalau tahu Gian memecahkan banyak barang dengan sengaja hari ini.
“Oke-oke... kita main bola sekarang.” Lingga mengangkat tangannya.
“Di halaman belakang.”
Menggeleng lemah, Lingga berjongkok guna menyamakan tinggi badannya dengan adiknya, pemuda itu menepuk puncak kepala Gian, “mainnya di depan aja, ya... ada Mang Damar juga tuh, bisa jadi wasit kita.”
Lingga hanya tak mau dekat-dekat dengan sumur itu. Banyak hal yang harusnya tidak dilihat di sana. Tapi sayangnya Gian tak mengerti, bocah itu menggeleng dan tetap memaksa ke belakang. Menarik-narik kaos Lingga dan menggeretnya sampai di halaman belakang.
Siang itu, Lingga main bola hingga terkapar di halaman belakang. Nyaris tiga jam tanpa henti. Lingga tak habis pikir melihat adiknya yang tetap berdiri tegak setelah permainan ekstrim barusan. Berkali-kali sempat ingin berhenti, Gian langsung mendepak bolanya hingga mengenai jendela yang menghubungkan halaman belakang dengan dapur. Akhibatnya, kaca pecah dan ibunya marah. Lingga yang jadi sasaran kemarahan ibu. Jadi, tak ada pilihan lain kecuali menuruti kemauan Gian, daripada anak itu merusak lagi.
Puas bermain bola, Gian langsung berlari ke dalam rumah. Menyusuri lorong menuju ruang tengah dan menyalakan televisi dengan suara sangat keras. Ibu yang saat itu tengah membaca majalah resep masakan sampai tersentak kaget.
“Gi, kenapa volumenya sampai setinggi itu? Ayo, dikecilkan,” pinta ibu, halus. Tapi Gian langsung berdiri di atas sofa dengan sandal yang masih melekat di kakinya.
“Nggak mau,” tegas Gian, kaku. Ibunya jelas tak suka dengan kelakuan Gian yang aneh itu.
“Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu?” Ibu melotot. Seringai di bibir Gian terbentuk, “Lingga.”
“Lingga?” Ibu sempat heran saat menyadari bahwa Gian memanggil nama Lingga tanpa embel-embel.
“Iya.”
“Oke, tapi sekarang Gian turun, ya...” pinta ibu dengan tangan kanan yang terulur ke depan, berniat membantu Gian turun dari sofa. Tapi, alih-alih menurut, Gian justru mengamuk, berteriak-teriak tidak mau dan meraih asbak peninggalan kakek dan melempar ke arah ibunya.
Wanita itu memekik kesakitan saat asbak itu mengenai pelipisnya. Lebam dan sedikit robekan di pelipis tidak membuat Gian merasa bersalah. Bocah itu malah lompat-lompat di atas kursi, kegirangan.
Saat itu, Lingga yang baru masuk terang terkejut melihat Gian yang melompat-lompat di atas sofa, sementara ibunya menahan rasa sakit di pelipisnya. Melihat ada luka di kepala ibunya, Lingga bisa menyimpulkan bahwa Gianlah pelakunya.
Kalau tadi Lingga masih bisa bersabar, tapi kali ini, setelah ia melihat adiknya itu melukai ibunya, Lingga tidak bisa menahan diri untuk tidak meledak pada Gian. Lingga menyeret adiknya turun dari sofa. Membuat adiknya itu nyaris terjatuh. Ibunya berkali-kali mengingatkan untuk tidak kasar pada adiknya, tapi Lingga tak acuh. Pemuda itu terlanjur emosi.
“Kamu tau apa yang kamu lakukan?!” Suara Lingga nyaring, Gian sampai tersentak dan tak berani mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Lingga.
“Kamu nyelakain Ibu. Mau jadi anak durhaka, kamu?!” bentak Lingga. “Nggak tau diri, kamu pikir siapa yang selama ini ngerawat, memasak, dan nganter ke sekolah kalau bukan Ibu? Bisa kamu masak sendiri? Mau kamu berangkat sekolah sendiri?”
“Ling, sudah hentikan.” Ibunya pening mendengar keributan ini, apalagi setelah Gian menangis kencang sekali, dan Lingga sama sekali tidak peduli. Pemuda itu masih saja meneriaki adiknya berkali-kali.
Keributan itu baru berakhir setelah ibu menghampiri Lingga, mendekat dan mendaratkan tamparan kerasnya di wajah Lingga. Tersentak, Lingga menatap ibunya tak percaya.
“Ini semua gara-gara kamu!” sentakan dari ibu membuat dunia Lingga seolah runtuh.
Kenapa? Kenapa justru ia yang dipersalahkan? Ini tidak adil. Lingga merasa dadanya menyesak, tapi ia juga tidak bisa melakukan apa pun. Lawan bicaranya tetap saja ibunya, yang tidak akan bisa dilawan. Tapi nyeri di balik dadanya sudah tak terukur lagi.
Ia bergerak mundur dengan wajah datar. Ia bisa menangkap mata ibunya yang berkaca-kaca, tapi belum sempat wanita itu mengucap maaf, Lingga sudah berlari pergi. Entah mau ke mana, yang jelas ingin menenangkan diri.
Laki-laki itu pantang menangis! Laki-laki itu orang yang tetap berdiri kokoh meski hamparan pipinya terasa panas, laki-laki tidak akan menangis meski hatinya terasa berdarah-darah.
Lingga menatap wajahnya di cermin depan wastafel. Tak ada yang berbeda, mungkin hanya raut mukanya yang tertekuk. Perasaan campur aduk memenuhi rongga dada, membuatnya menyesak. Ini kali pertama ia mendapat luka dari orang tua sendiri. Dan efeknya? Sakit hatinya 10 kali lebih sakit dari luka fisik. Mungkin butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Itu sebab kenapa ia mengurung diri di kamar, meski bukan sepenuhnya keputusannya benar. Banyak sekali makhluk yang mengganggunya kala ia sedang sendiri. Termasuk sekarang, saat menatap bayangannya sendiri, yang ia dapati bayangnya bisa bergerak dan bicara.
“Bodoh sekali, kamu!” bayangnya meledek. Lalu terkikik menyedihkan. Bola matanya berwarna merah dan ada darah yang keluar dari hidung. Mengerikan.
“Apa?” suara Lingga bergetar, namun masih berusaha untuk tidak kabur. Ia takut, tapi tidak mau selamanya jadi pengecut.
“Ayo, ikut saja jadi bagian dari kami...” suara tawa menyusul, menggema... menghentak-hentak dada Lingga.
Tatapan mata Lingga seakan kosong ketika tangan kanannya perlahan menyentuh permukaan cermin. Bayangnya tersenyum, terus mengajak Lingga bersamanya, masuk di dunianya yang menyenangkan. Lingga tersentak saat didengarnya suara ibu memanggilnya, bersamaan dengan suara ketukan pintu yang teratur.
Saat membuka pintu, Lingga cukup terkejut melihat ibunya benar-benar sudah menitikkan airmata.
“Bu, kenapa?” tanya Lingga, sembari mengusap airmata ibunya dengan tangan kanan.
Ibunya menggenggam tangan kanan Lingga yang masih bergerak mengusap tangis ibunya, “Maafkan Ibu…”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Avilla Maria
saya suka karna ada vian nya gitu
2024-08-28
0