Jena terdiam sesaat sambil menilik nilik wajah wanita yang baru dikenalnya dengan panggilan Mbak Hanum. Dia mencoba untuk melontarkan beberapa pertanyaan terkait ibu kandungnya itu kepadanya.
“Mbak Hanum, tau tentang Mama Jena kan?”
Hanum mengerutkan keningnya sambil bertanya tanya dalam hatinya “Apakah anak ini sudah diberitahu oleh keluarga Antonio tentang ibu kandung sebenarnya. Mengapa mereka tidak memberitahu hal sebenarnya bahwa ibu kandungnya itu telah meninggal dunia”
Lantas Hanum menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menahan air mata yang hampir tak terbendung di pelupuk matanya. Ia berlutut dihadapan Jena lalu mengusap kedua pipinya sambil menatapnya dengan penuh rasa iba.
Hanum pun mulai berfikir bahwa keluarga Antonio tidak memperlakukannya dengan baik, mengapa mereka tidak memberitahu hal sebenarnya saja atau merahasiakan ini semua agar Jena tidak perlu mencari berita tentang ibunya.
“Ayo cepat katakan Mbak Hanum… Jena ingin sekali melihat mama.” Lirihnya.
“Maaf Jena… Mbak gak bisa kasih tau kamu dimana mama-mu” Mbak Hanum mulai meneteskan air matanya. Ia memeluk Jena kembali sambil mengelus elus punggungnya.
“Mbak Hanum kenapa nangis… Mbak jangan nangis ya, Jena juga gak nangis walaupun sampai saat ini belum ketemu mama” Katanya sambil mengusap air mata yang membasahi pipi wanita paruh baya yang ada didepannya.
Kali ini bukan hanya Hanum yang bersedih dengan keadaan Jena, tetapi Pak Sapri dan Risa yang merupakan teman Jena ikut merasakan apa yang Jena rasakan. Pak Sapri mulai meneteskan air matanya mengingat perlakuan anggota keluarga Pak Julio terhadap Jena.
“Mengapa semua ikut menangis” Ucapnya polos sambil melihat supir keluarganya itu menangis dan temannya juga terlihat prihatin kepadanya.
“Kamu tidak usah mencari mama mu lagi ya… Mama mu sudah bahagia sekarang…” kata Hanum.
“Bahagia? Mama sekarang bahagia ya tanpa Jena. Em.. Mungkin Jena bukan anak yang diinginkan semua orang...” ia pun tertunduk sedih.
“Tidak Jena, bukan seperi itu maksud Mbak. Tapi mama sudah bahagia di tempat yang baru”
“Jena… Kalau kata ibuku, ucapan seperti itu maksudnya berarti mama mu sudah meninggal. Itu saja tidak mengerti!” Celetuk Risa dengan polosnya. Tentu saja semua mata kini tertuju padanya.
“Hah… Berarti mama sudah meninggal?!” Jena terkejut dan langsung bertanya pada Hanum.
Hanum agak marah sebenarnya mengapa temannya itu memberitahu nya langsung dan membuat Jena terkejut. Ia sebenarnya tak sanggup memberitahu Jena hal itu, tetapi dengan terpaksa ia pun mengangguk sebagai isyarat apa yang dikatakan temannya itu benar.
Langsung saja Jena lemas dan ia pun terduduk. Ia menangis sejadi jadinya sampai dadanya terasa sesak dan tenggorokannya sakit sekali. Mbak Hanum, Pak Sapri dan temannya itu mencoba menenangkannya.
Mbak Hanum membawakan air minum untuknya dan setelah tangisannya reda, ia pun mengajaknya ke sebuah rumah kosong disamping rumahnya. Rumah sederhana tanpa gerbang yang kini sudah dipenuhi oleh rumput liar dihalamannya.
“Jena, ini adalah rumah mama. Nama mama mu adalah Mila, dia sangat cantik sama sepertimu. Dia anak yang baik dan pekerja keras, Mbak sangat mengenalnya karena saat ia masih sekolah orang tuanya menitipkan nya ke mbak. Ia juga rajin menabung walaupun penghasilannya saat berjualan disekolah itu tidak seberapa.”
Hanum mulai membuka pintu depan rumahnya yang tidak dikunci. Besi nya sudah mulai berkarat dan permukaan tembok yang berlumut, membuat rumah tersebut terasa seram seperti rumah rumah di film horor karena rumah itu juga terbengkalai dan tak terurus.
Dalam rumah itu perabotan masih sangat lengkap, tak ada satu pun barang yang berpindah posisi saat kepergian Mila. Lalu Hanum mencoba membawa Jena untuk memasuki kamar almarhumah. Mereka melihat foto-foto Mila yang masih terpajang di kamarnya walaupun kini warna foto tersebut mulai pudar dan dipenuhi oleh debu.
Hanum mencabut salah satu foto yang terpajang itu dan menunjukkannya kepada Jena.
“Lihat Jena, ini mama mu… Dia mirip sekali denganmu bukan?”.
Jena tersenyum, akhirnya ia mengetahui rupa asli ibu kandungnya. Ia memang cantik sekali seperti Jena. Terlihat Mila yang sedang berswafoto sambil tersenyum, padahal dibalik senyumnya itu, ia menyimpan luka dan rasa sedih yang sangat mendalam.
Jena memasukkan foto mama-nya itu kedalam tas kecilnya. Matanya memandangi benda lain yang berada di kamar almarhum ibunya itu, dan ia pun langsung tertuju pada sebuah buku yang terletak di atas meja rias. Ia berlari dan mencoba membukanya.
“Sepertinya ini buku punya mama… Mbak Hanum bisa bacakan buku ini untuk Jena? Jena belum bisa baca…” Ucapnya sambil mengangkat buku itu untuk ditunjukan kepada hanum. Dan Sreet…
Selembar kertas terbang dan jatuh dihadapannya. Jadinya hanum lebih tertarik untuk membaca kertas yang jatuh itu dibanding buku yang dipegang Jena, karena fikirnya kertas ini mengandung sebuah pesan tentang sesuatu.
“Sebentar ya Jena, Mbak baca kertas ini dulu… Sepertinya ini sebuah surat untuk diberikan kepada seseorang”
Jena mengangguk dan menghampiri temannya saja yang berada di samping pak sapri di bagian ruang tamu rumah almarhum ibunya.
“Risa, kamu sudah bisa baca kan? Bisa bacakan ini untukku…” pinta Jena.
Sementara itu Hanum masih berada di kamar untuk menyelesaikan membaca surat yang ditulis almarhum Mila.
...Surat Untuk Anakku Tersayang...
..."Hai nak, ini mama....
...Bulan ini merupakan bulan terakhir kamu tidur diperut mama. Semoga mama dapat menjagamu dengan baik agar kamu menjadi anak yang bahagia dan tidak kesepian seperti mama sekarang....
...Dan jika mama tidak bisa bersamamu, mama ingin kamu menjadi anak yang mandiri dan beruntung. Semoga kamu selalu dikelilingi orang orang yang baik dan senantiasa memberikan kebahagiaan untukmu....
...Jika mama tiada, mama harap kamu membaca surat ini, dan tumbuhlah menjadi anak yang baik dan bahagia ya anakku sayang 🤍"...
Sepucuk surat tersebut membuat Hanum kembali meneteskan air matanya. Ia segera memanggil Jena untuk membacakan surat tersebut kepadanya.
“Jena ayo sini!, mbak Hanum mau bacakan surat untukmu dari mama…” Panggil Hanum.
“Iya sebentar, Jena masih baca buku milik mama…”
“Cepat kemari Jena, sepertinya isi surat ini lebih penting dari buku mama yang sedang kamu baca itu”
Lalu Jena pun langsung meninggalkan Risa yang masih membacakan isi dari buku itu dan segera menghampiri Mbak Hanum di kamar. Ia duduk di ranjang bekas almarhum mama nya untuk mendengarkan isi surat yang akan dibacakan Mbak Hanum.
Hanum membacanya dengan nada yang bergemetar sambil menahan tangis yang hampir tak terbendung. Sementara Jena sangat khidmat mendengarkan isi dari surat yang diberikan almarhum Mila untuknya.
Awalnya Jena biasa saja saat dibacakan surat itu, tetapi saat dijelaskan lebih rinci oleh Mbak Hanum, ia pun menangis bahagia ternyata ibu kandungnya peduli dan sayang terhadapnya, beda seperti Andina, ibu angkatnya yang sangat kasar kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments