Jena akan berangkat ke sekolah seperti biasanya, kali ini Arhan meminta kepada salah satu ART nya untuk mengantar dan menjemput Jena sekolah. Kini, Jena tidak bisa diantar seperti biasanya oleh Andina karena dia tidak ingin kecapean walaupun hanya mengantar putri angkatnya itu sebentar. Sementara Antonio juga tak ingin mengantarnya karena malu dengan keterbatasan pemahaman Jena.
Pagi-pagi ia sudah menyiapkan perbekalan untuk mencari alamat rumah Mbak Hanum yang dikatakan Antonio semalam. Ia membawa minum dan sepotong roti lapis untuk dimakannya ketika nanti ia lapar, tak lupa uang tabungannya ia bawa jika ada pengeluaran nantinya. Dan setelah persiapannya selesai, ia segera keluar dari kamarnya dan berangkat ke sekolah dengan diantar seorang ART di rumahnya.
“Bi, nanti Jena pulangnya gak usah dijemput ya…”
“Loh, kenapa ndo?”
“Jena mau mampir ke rumah temen, nanti Jena pulang sendiri aja…”
“Benar tidak apa-apa? Nanti kamu tersesat loh. Saya juga nanti yang dimarahi pak Arhan…”
“Iya benar, bibi pulang saja”
Jena langsung saja masuk ke kelasnya setelah di antar bibi sampai ke sekolah. Setelah mengantar Jena, ART itu pun pulang saja tanpa menunggunya.
Didalam kelas, Jena berbincang dengan teman sebangkunya, Risa. Ia mengajaknya untuk menemaninya mencari ibu kandungnya sepulang sekolah nanti. Risa merupakan anak yang baik dan selalu menemani Jena. Sifatnya berbanding terbalik dengan ibunya yang julid dan pemarah.
“Kamu mau kan Ris?”
“Memangnya kamu tahu rumah mama-mu dimana Jena? Nanti nyasar lagi…”
“Kita cari saja, ya?”
Risa pun mengangguk setuju akan ucapan temannya. Berhubung hari itu ibunya tidak lagi mengantarkannya karena ada keperluan, jadi mereka bisa langsung mencari alamat rumah Mbak Hanum. Lagian rumah Risa tidak terlalu jauh dari sekolah nya dan tidak perlu menyeberang jalan, berbeda dengan Jena.
“Baik anak-anak pelajaran sudah selesai, nanti langsung pulang dulu ke rumah ya… Jangan main dulu..!” Perkataan ibu guru mengakhiri pertemuan mereka di hari ini.
Jena dan Risa lalu segera mencari tahu alamat Mbak Hanum yang mungkin saja ia tahu keberadaan ibu kandung Jena nanti. Ia segera mencari orang disekitar tempat ia sekolah. Jena tertuju pada seseorang bapak tua yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Permisi pak, bapak tahu arah selatan?” Jena mulai bertanya kepada bapak itu.
“Arah selatan atau Jalan Selatan dik?” Bapak itu kebingungan.
“E-em... saya mau mencari mama, kata om dia rumahnya kalo dari sini itu jaraknya tiga sampai empat kilometer ke arah selatan…”
“Kamu tahu pasti alamat rumahnya tidak dik? Tiga kilometer itu jauh. Kalau kamu pergi kesana sendiri nanti nyasar, apalagi alamatnya tidak pasti. Kamu harusnya tanya lagi alamat pastinya ke Om mu ya…” Bapak itupun pergi meninggalkan Jena dan Risa yang tambah kebingungan.
“Jadi gimana Jen… Mau tetap nyari aja?” Tanya Risa memastikan kepustusan Jena.
“Aduh gimana ya… Aku juga bingung. Katanya tiga kilometer itu jauh, nanti kalau nyasar juga gawat kalau jauh…”
Tak lama dari itu, ada sebuah mobil hitam yang hendak berbelok ke komplek tempat tinggal Jena. Ternyata itu Pak Sapri, sopir pribadi di rumahnya. Tak sengaja ia melihat Jena dan temannya sedang berdiri di pinggir jalan. Ia pun memarkirkan mobilnya agak ke pinggir agar tidak menghalangi kendaraan yang hendak masuk komplek. Pak sapri segera turun dan menyeberangkan anak tuan-nya itu.
“Jena sedang apa kamu disini… Ayo pulang!” Pak Sapri mengejak Jena agar segera pulang.
“Jena mau cari mama pak…”
“Mama? Bukannya mama ada dirumah ya?”
“Bukan mama Andina… tapi mama asli Jena. Kata om Anton, yang tahu mama kandung Jena itu Mbak Hanum. Pak Sapri kenal tidak?” Tanya Jena.
Pak Sapri mengingat ingat nama seseorang yang disebutkan Jena. Nama tersebut sepertinya tidak asing ditelinganya.
“Apakah keluarganya telah memberitahu nasab sebenarnya anak ini? Bukankah Mbak Hanum itu orang yang mengantarkan Jena kepada Antonio saat masih bayi… “ Gumam pak Sapri.
“Pak, Pak Sapri… Kok malah bengong? Pak Sapri tahu tidak?” tanya Jena yang melihat supir pribadi keluarganya itu malah terdiam seperti memikirkan sesuatu.
“Oh… Eh.. Mbak Hanum itu sepertinya Pak Sapri tahu… Kamu mau pak Sapri antar? Memangnya ayah ibumu mengijinkan kamu pergi menemuinya?”
“Emm… iya pak, antarkan Jena ke Mbak Hanum ya…” Jena memohon kepada Pak Sapri dan akhirnya dia pun menuruti perkataannya.
Jena ditemani temannya, Risa dan juga Pak Sapri pergi mencari keberadaan Mbak hanum. Pak Sapri mencoba mengingat jalan yang ia tempuh untuk mengantarkan Mbak Hanum ke rumahnya yang pernah ia antar kurang lebih 6 tahun yang lalu.
Pak Sapri sepertinya mengingat jalannya dengan baik dan ia menemukan sebuah gang yang fikirnya pasti bahwa ini gang yang akan mengantarnya ke rumah Mbak Hanum. Ia membawa mobilnya perlahan, sambil melihat-lihat rumah yang menurutnya itu rumah Mbak Hanum.
Pandangannya tertuju pada rumah kecil disebelah rumah kosong yang tak terawat. Seingatnya, rumah Mbak Hanum bersebelahan dengan rumah kosong itu. Ia pun mencoba untuk turun dan menghampiri seseorang yang berada di rumah kecil nan sederhana itu.
“Permisi dik, apakah ini rumah Mbak Hanum?” Tanya Pak Sapri kepada seorang Pemuda yang sedang memperbaiki sepedanya.
“Iya pak, saya anaknya. Saya panggilkan ibu ya pak, sebentar…”
Pemuda itu langsung masuk ke rumahnya dan memanggil ibunya. Saat Mbak Hanum keluar, ia agak terkejut dengan bapak tua yang ada di hadapannya. Dia mengingat kalau Pak Sapri merupakan supir pribadi keluarga Antonio yang sangat baik dibanding orang-orang yang ada di rumah Antonio.
“Eh… Bapak ini supir yang waktu itu mengantar saya ke rumah ya. Ada keperluan apa bapak kesini?” Tanya Mbak Hanum.
“Iya, Mbak Hanum. Anu… Saya mau mengantarkan Jena, dia mau bertanya sesuatu sama mbak…” Ucapnya sambil menunjukkan gadis kecil itu.
“Jena? Siapa Jena?” Mbak Hanum kebingungan. Ia tak tahu kalau bayi yang dilahirkan Mila kini sudah diberi nama oleh keluarga Antonio. Mbak Hanum terus melihat gadis kecil itu dan mengingat kalau ia merupakan anak kandung Mila. Ia sangat mengenalnya dari lensa matanya dan rambutnya yang berbeda dengan anak-anak disekitar.
“Jena kamu sudah besar nak…” Mbak Hanum memeluk erat Jena sambil menangis. Ia tak menyangka, bayi yang waktu itu ia tangisi karena nasibnya kini berubah menjadi seorang gadis cantik yang terawat.
Fikirnya, Jena sangat di sayangi oleh keluarga Antonio dan diurus mereka dengan baik. Ia sama sekali tidak berfikir kalau Jena hidup menderita, karena ia hidup di lingkungan keluarga konglomerat yang bisa memenuhi segala kebutuhannya, berbeda dengan dirinya yang sampai saat ini masih memikirkan apakah besok akan makan atau tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments