Chapter 17

“Aku sebenarnya sudah mati rasa dengan Bang Ilyas mbak, aku nggak perduli dia mau apapun dengan Juminten, mereka sudah tidak bisa diampuni lagi,” jawab Nara. 

“Ya tapi setidaknya kamu harus menghukum mereka Nar, atau coba pikirkan warga desa yang selama ini baik padamu. Pertimbangkanlah mereka, suamimu sudah sangat meresahkan,” jawab Dara. 

Nara kembali berpikir keras, setelah cukup lama ia pun kembali berkata, “baiklah mbak, tapi aku minta tolong.” Nara menatap wajah Dara dengan mata berkaca-kaca. 

“Apa itu, cepat katakan. Kalau aku bisa menolong akan aku lakukan,” ucapnya. 

“Bisa mbak Dara temani aku, aku nggak mungkin keluar malam sendiri, dalam keadaan hatiku yang hancur.” Nara tak mampu lagi bertahan, air matanya terjun bebas menuju lantai, sebab ia kini menunduk dalam. 

“Benar yang dikatakan Nara, sayang. Kamu harus temani dia. Kondisinya yang seperti ini rawan menjadi korban kejahatan. Apalagi itu di kota. Berangkatlah kalian, mas tunggu di rumah, mas akan doakan kalian selamat dan mendapatkan bukti yang kita butuhkan,” ucap Qomar menepuk pundak istrinya. 

“Baiklah Nar, kita sholat maghrib dulu sekalian ganti baju. Nanti kita berangkat pake motorku ya,” kata Dara, mengelus pundak wanita di depannya. 

“Baiklah mbak,” jawab Nara. Kini mereka berpisah, Dara kembali ke rumah untuk melaksanakan shalat dan berganti pakaian, begitupun Nara. 

Beberapa menit kemudian, Nara dan Dara telah bersiap. Setelah memastikan pintu terkunci, Nara segera naik motor yang dikemudikan oleh Dara. Keduanya pun meluncur menuju kota, berbekal lokasi ponsel Ilyas yang telah Nara setting dari ponselnya sendiri. 

“Jadi kamu sudah tahu dari lama Ra? sampai kamu sudah pasang gps di ponsel suamimu?” tanya Dara di tengah deru angin malam. Suara wanita itu terdengar kecil meskipun Dara sudah berkata cukup keras. 

“Iya mbak,” jawab Nara. 

“Kamu pintar juga ternyata ya Ra?” jawab Dara. Tak lama kemudian motor mereka telah terparkir di sebuah hotel. Nara dan Dara turun dari atas motor. 

“Gila Ilyas, dia bawa Jumi ke hotel ini. Hanya untuk Wik wik?” ucap Dara menggelengkan kepala, “kamu yakin Ra, posisi gps nya Ilyas disini? jangan-jangan kita salah lagi. Ini hotel gede banget, gaya-gayaan mereka, biasanya juga wik wik di hutan,” seloroh Dara, yang reflek menutup mulut menyadari kesalahannya. 

“Maaf Ra, habisnya aku kesel banget sama suami kamu,” ucapnya lagi. 

“Nggak apa-apa mbak Dara, ya sudah yuk kita masuk,” ajak Nara. Saat mereka hendak masuk Dara tak sengaja melihat mobil Ilyas berhenti di depan hotel, wanita itu segera menarik tangan Dara dan mengajaknya untuk bersembunyi. 

“Ada apa mbak?” tanya Nara, terkejut karena Dara menarik tangannya kuat. 

“Ssst, jangan berisik. Kamu lihat ke depan.” Dara menunjuk pada Ilyas yang baru turun dari mobil bersama Juminten. Perempuan itu telah berganti pakaian, kalau tadi ia memakai celana jeans dan kaos panjang, kini perempuan itu memakai pakaian seksi yang kurang bahan. Belahan dadanya terekspos sempurna. Tangannya bergelayut manja pada pundak Ilyas, sedangkan Ilyas tersenyum bahagia menatapnya. 

“Astaghfirullah Jumi, aku harus potret pemandangan ini,” ucap Dara mengeluarkan ponsel dari saku bajunya, memotret Jumi dan Ilyas beberapa kali. 

Setelah pasangan gelap itu masuk ke dalam hotel, Dara hendak berjalan mengikuti mereka. Namun, Nara menarik tangannya kuat. “Mbak Dara mau kemana?” 

“Mau masuklah, kita labrak mereka. Kita viralkan mereka. Kalau perlu kita bikin siarang langsung. Akunku sudah banyak pengikutnya Ra, kalau kita live sudah pasti banyak yang nonton. Biar mereka viral sekalian,” jawab Dara penuh emosi. 

“Mbak, ini hotel besar. Nggak mungkin kita bisa masuk semudah itu. Petugasnya juga nggak bakalan kasih tahu kita di kamar mana Bang Ilyas dan Jumi menginap. Kita nggak bisa apa-apa mbak, sepertinya foto yang mbak ambil tadi sudah cukup.” Nara memandang wajah Dara yang tampak kecewa, wanita itu telah membayangkan melabrak Jumi dan itu pasti akan menyenangkan pikirnya, ia sudah sangat kesal pada bu Retno yang selama ini sombong padanya, kalau bisa membuat keponakan kesayangannya menderita, bukankah itu menyenangkan? 

Dara terpaksa mengalah, ia kembali membuka ponselnya. Tapi sayang, potret yang ia ambil semuanya gelap, wajah Jumi dan Ilyas tak terlalu tampak disana. 

“Loh, kok jadinya gelap gini ya Ra, aduh hp sialan. Ini gara-gara mas Qomar, sudah berkali-kali aku minta dibelikan ponsel baru. Tapi dia tak mendengarkanku, kalau kayak gini siapa juga yang rugi. Ya Allah…. maaf ya Ra,” rengek Dara merasa sangat menyesal. Nara hanya bisa tersenyum. 

“Sudahlah mbak, mungkin memang belum ditakdirkan mereka ketahuan dengan cara seperti ini,” jawab Nara mencoba menenangkan wanita di depannya yang mulai terisak, kesal akan keadaan. 

“Nggak gitu Nara, kamu sudah jauh-jauh datang kemari. Tapi kita nggak dapat apa-apa.” 

“Siapa bilang aku nggak dapat apa-apa? aku dapat saudara sebaik mbak Dara. Coba kalau nggak ada acara Bang Ilyas dan Jumi yang menghianatiku, mbak Dara juga nggak mungkin sampai merelakan waktu dan tenaga menemaniku ke kota. Iya kan? Ya udah jangan menangis. Kita makan yuk, aku traktir di warung langgananku,” ajak Nara, menarik tangan Dara yang terpaksa mengikutinya kembali menuju parkiran. 

Terpopuler

Comments

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

OMG!!! knpa jga kameranya hrs bureeeenggg 😭😭

2024-04-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!