Chapter 11

Angin berhembus sedikit kencang, menerbangkan dedaunan kering di depan rumah Nara. Nara berdecak kesal sebab dedaunan itu membuat halaman yang telah di sapunya menjadi kotor kembali. 

Ia menghentikan aktivitas menyapunya, saat sebuah mobil polisi berhenti di depan rumah pak kades. Seorang polisi sekitar usia empat puluhan dengan perut sedikit tambun keluar dari dalam mobil, dan seorang lagi dengan tubuh sedikit kerempeng keluar dari sisi kemudi. 

Nara tersenyum pada dua polisi itu, yang akhirnya disambut oleh pak Wignyo dan istrinya. Nara mencoba mencuri dengar pembicaraan mereka, polisi mengatakan akan menyisir daerah sekitar hutan untuk mencari keberadaan kakek Qosim dan mbok Nah, tapi satu hal yang membuat Nara janggal. Polisi itu enggan masuk ke dalam hutan, dengan alasan mengikuti ucapan sang dukun. 

Dara berjalan mendekat dari arah sawah mbah Siti, di tangannya ada belimbing wuluh. Sepertinya ia baru meminta belimbing wuluh dari mbah Siti. “Ra, itu polisi yang mau menyelidiki kasus mbok Nah sama kakek Qosim ya?” tanya Dara sedikit berbisik. Nara melihat polisi itu masuk ke dalam rumah pak Kades. 

“Iya mbak, mereka bilang akan menyisir daerah sekitar hutan untuk mencari keberadaan kakek Qosim dan mbok Nah, cuma aneh.” 

“Aneh gimana Ra?” 

“Memangnya polisi boleh menjadikan hal mistis sebagai acuan penyelesaian kasus mbak?” tanya Nara. 

“Maksudmu gimana Ra?” Dara mengajak Nara untuk duduk di kursi yang tersedia di teras rumah Nara, keduanya pun berjalan beriringan menuju teras rumah Nara.

“Polisinya nggak mau masuk hutan mbak, katanya sih karena mereka percaya ucapan dukun Mangli, dan mereka nggak bisa mengabaikan peringatan ini,” jawab Nara. 

“Loh kok aneh, lagian ini kan siang. Harusnya sih nggak masalah. Apalagi kalau polisi setauku ya Ra, meskipun pribadinya mempercayai dukun, tapi karena tuntutan pekerjaan harusnya ya tetap ikuti prosedur. Kakek Qosim kan hilangnya di hutan waktu cari kambing, kok carinya cuma di sekitarnya aja, nggak mau masuk?” 

“Nah kan? aneh kan mbak. Emang boleh seperti itu?” tanya Nara lagi, Dara mengedikkan bahu. 

Sebuah motor polisi kembali berhenti di depan rumah pak Wignyo, seorang polisi bertubuh tinggi tegap turun dari atasnya. Melepas helm dan juga jaket yang dikenakan. Polisi itu tersenyum pada Nara dan Dara, lantas ikut masuk ke dalam rumah pak kades. 

“Ra, yang ini polisinya ganteng banget. Masya Allah, siang-siang cuci mata. Nggak nyesel aku Ra duduk di depan rumahmu, kalau saja tadi langsung pulang, mana bisa aku lihat pemandangan seindah ini?” ucap Dara yang terus menatap tubuh polisi yang akhirnya masuk ke dalam rumah pak Kades. 

“Apaan sih mbak Dara, ingat bapaknya Bobby di rumah mbak,” jawab Nara yang mulai cekikikan. 

“Ah, mas Qomar lupain dulu kalau kayak gini. Yang satu ini mah impian semua wanita Ra, masya Allah.” 

“Wah, mbak Dara mulai tak tertolong,” jawab Nara menggelengkan kepalanya heran. 

Tiba-tiba saja aparat negara berperut tambun berjalan keluar rumah, diikuti lelaki muda berseragam sama yang sepertinya adalah bawahannya di kantor. Melihat keberadaan Nara dan Dara lelaki berperut tambun itu berjalan sedikit menjauh, membelakangi Nara dan Dara. Namun, Dara berusaha mendengar percakapan mereka. 

“Kenapa kamu datang kemari? bukankah tadi sudah aku bilang cukup kita saja yang menangani kasus ini?” tanya lelaki yang lebih tua. 

“Maaf pak, saya juga mendapat perintah dari komandan untuk mengikuti bapak kesini,” jawab lawan bicaranya. 

“Ya sudah, tapi kamu harus mengikuti perintah saya.” 

“Tapi pak, bukankah kita harus tetap masuk ke dalam hutan. Kita harus melakukan pencarian menyeluruh pak, jika ingin mendapatkan hasil. Mana bisa kita mengikuti ucapan seorang dukun, bagaimana nanti kita melaporkan kasus ini?”

“Kamu diam saja, biar itu menjadi urusanku. Kamu tinggal nurut, jangan banyak bertingkah Albi,” ucap lelaki itu berbalik badan meninggalkan bawahannya. Dara yang tertangkap sedang menguping tersenyum canggung dan segera berbalik. 

“Ra, kamu harus tahu ini.” Dara mendekat, duduk membelakangi arah polisi yang akhirnya memilih kembali mengenakan jaket dan helmnya, lantas mulai melajukan motornya meninggalkan desa. 

“Aku sudah dengar mbak Dar, orang bapaknya ngomongnya keras banget kok,” jawab Nara. 

“Oalah, yowes Ra. Aku pulang dulu ya, mas Qomar nungguin sambelnya, aku sampai lupa malah asyik cerita-cerita sama kamu.” Dara terkekeh pelan, lantas berjalan meninggalkan Nara kembali sendiri di dalam rumahnya. 

Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Nara. Ilyas suaminya telah kembali, wajah Nara berubah masam, kehadiran Ilyas tak lagi menyenangkan hatinya. Rasa kecewa bercokol kuat dalam hati, tak tahu bagaimana nanti ia akan menghadapi sang suami. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!