Lewat Tengah Malam

Lewat Tengah Malam

Chapter 1

Nara mengendap-ngendap di balik jendela kaca kamarnya, bersembunyi di samping meja kerja sang suami. Ia melihat bayangan hitam membawa keranda mayat berjalan di tengah sawah depan rumahnya, menuju arah hutan dimana sungai Banyu bening berada. 

Rumah Nara memang berada di ujung, sisi kanannya adalah pepohonan jati yang tumbuh subur sepanjang jalan samping sungai. Sedangkan depan rumahnya adalah persawahan yang luas. Sungai Banyu bening sendiri adalah sungai terbesar dan terpanjang di desa Jagori, ujung sungai mencapai kota, jika warga sengaja berjalan sepanjang alur sungai maka ia bisa sampai ke kota sebelah.

Sesuai namanya, sungai Banyu bening memiliki air yang sangat jernih. Meski begitu, sebab sungai sangat dalam dan arus air yang sangat kuat, tak satupun warga desa yang memanfaatkan sungai untuk keperluan sehari-hari, bahkan anak-anak dilarang untuk pergi ke sungai tanpa pengawasan orang dewasa. Selain itu karena untuk mencapai sungai mereka harus melewati hutan jati yang cukup lebat dan gelap. 

Nara menyibak sedikit gorden kamar, berusaha melihat bayangan hitam itu lebih jelas. Namun begitu, ia tetap tak bisa memperkirakan berapa jumlah mereka. Pakaian serba hitam ditengah kegelapan malam menghalangi pandangan matanya. Namun, satu hal yang ia yakini mereka membawa benda mirip keranda mayat di pundak. Jika itu benar maka ada sekitar empat orang dalam rombongan mereka, sebab Nara memperhitungkan bentuk keranda yang memiliki empat sisi. 

Nara memilih kembali rebah diatas ranjang setelah rombongan pembawa keranda mayat itu hilang ditelan gelapnya rerimbunan daun jati. Sejak sore ia rela menunggu hingga tengah malam untuk memastikan apakah rombongan itu akan kembali lewat malam ini. Dan benar saja, mereka kembali datang tepat di jam yang sama seperti malam-malam sebelumnya. 

***

Suasana desa Jagori di pagi hari tampak sangat hidup, beberapa lelaki berjalan kaki menuju sawah, sedangkan yang perempuan tengah sibuk mengerumuni seorang penjual sayur yang menjajakan sayurnya tiap hari kedesa itu. Jarak tempuh dari desa Jagori ke kota lumayan jauh, pasar juga tak ada di sana, jika warga desa ingin ke pasar mereka harus ke kota, atau bisa ke desa sebelah yang jalannya rusak dan berbatu. 

“Bang, bang Rois berapa bayam seikat ini?” tanya seorang wanita cantik berkulit putih, mata wanita itu mengerjap manja. 

“Kalau buat Neng Jumi mah dua rebu aja Neng,” jawab Rois, lelaki sekitar usia tiga puluhan yang berprofesi sebagai penjaja sayur keliling itu mengedipkan matanya genit. 

“Lah emangnya kalau buat kita berapa Bang?” Seorang wanita berambut bob pendek ikut bertanya. 

“Dua ribu lima ratus lah buat eneng Dara,” jawab Rois cengengesan. 

“Yaelah bang, kenapa harus beda kayak gitu?” 

“Ish neng Nara mah kayak nggak ngerti aja.” Rois tersenyum tipis, mengedipkan mata berkali-kali, duda tanpa anak itu berusaha mengingatkan bahwa dirinya mencintai Jumi sudah sejak awal mereka berjumpa. 

“Jumi mah nggak bakal mau sama lelaki modelan kamu Is, seleranya tinggi. Iya kan Jum?” tanya mbok Nah, seorang wanita tua yang baru saja datang bergabung, “Rois, tolong ambilkan aku ikan pindang itu, buat makan si Moly,” ucap mbok Nah lagi. 

“Permisi, lagi pada belanja nih semuanya?” tanya seorang kakek yang kebetulan melewati mereka. 

“Ah, kakek Qosim, iya nih kek. Mau mampir dulu kek? icip-icip kue basahnya, masih pada anget nih kek. Dara traktir deh kek,” tawar Dara pada kakek Qosim. 

“Makasih nduk, kakek sudah kenyang. Tadi sebelum berangkat sudah sarapan masakannya si Ijah, menantu kakek,” jawab lelaki tua itu. Tangannya memegang tali tampar yang terikat pada leher seekor kambing berwarna putih. Kambing itu terlihat sangat gemuk, bulu-bulunya yang lebat juga nampak bersih. Sepertinya kakek Qosim rajin memandikannya. 

“Wah, kambing kakek gemuk sekali kek?” tanya Nara, gemas dengan kambing yang terlihat lucu itu. 

“Iya kan nduk? sebentar lagi mau kakek jual, mumpung harga kambing lagi naik naiknya ini. Lumayan bisa buat uang saku cucu nanti kalau anaknya Danu datang dari kota,” jawab kakek Qosim, lantas tertawa renyah. 

“Danu sama istrinya mau berkunjung to kang?” Mbok Nah menoleh dan bertanya pada lelaki sebayanya itu. 

“Iya Nah, kamu sendiri apa putramu tetap tak ada kabar?” 

“Jangan bahas dia lagi kang, aku sekarang sebatang kara. Ndak punya siapa-siapa aku,” keluh mbok Nah tentang putranya yang tak kunjung pulang bertahun-tahun lamanya. 

“Yo sing sabar, kamu wes dikelilingi genduk-genduk ayu. Ada nduk Dara, Neneng, Juminten dan siapa ini namanya?” Kakek Qosim menunjuk Nara. 

“Nara Kek,” jawab Nara sopan, tersenyum menatap lelaki tua yang juga menatapnya. 

“Oh iya, Nara. Istrinya Ilyas, gimana nduk? kamu betah tinggal di desa ini?” 

“Alhamdulillah betah kek,” jawab Nara. 

“Yang bikin nggak betah itu kalau malam kek, dia sendirian terus gara-gara Ilyas kerja diluar kota dan jarang pulang,” jawab Neneng menggoda Nara. 

“Suruh pulang nduk, nggak baik suami istri sering pisah. Banyak godanya kalau lelaki berjauhan sama istri itu. Kamu harus tetap waspada, ya sudah kakek mau lanjut perjalanan dulu ya. Keburu siang nanti kambingnya nggak dapat makan,” ucap kakek Qosim, kembali berjalan tertatih menuju hutan. 

“Hati-hati kek,” jawab Nara dan Dara hampir bersamaan. Kakek Qosim tersenyum dan mengangguk, lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Rois yang sedari tadi hanya menyimak kini kembali berbicara panjang lebar, menceritakan tentang harga kambing dan segala berita terbaru yang diketahuinya. 

“Gara-gara ucapan kakek Qosim tentang lelaki yang suka tergoda, aku jadi ingat sesuatu,” kata Dara, berbisik pelan dan sedikit memajukan badannya. 

“Apa itu mbak Dara?” tanya Neneng mewakili teman-temannya. 

“Tiga hari yang lalu, saat suamiku ngeronda. Dia lihat dua orang di hutan, di samping rumahmu Ra,” ucap Dara, memandang Nara di sampingnya, “dua orang ini sepertinya sepasang kekasih yang sedang melakukan itu, perbuatan terlarang,” bisiknya dikata kalimat terakhir. 

“Mbak Dara serius? sumpah demi apa mbak?” 

“Ya Allah Neng, mana mungkin mas Qomar bohong urusan seperti ini. Malah mas Qomar bilang kok yang cewek pakai baju pink polos, kayak kaos gitu. Kalau yang cowok pakai kemeja putih. Awalnya sih mas Qomar cuma denger suara desahan-desahan gitu, hampir saja dia lari karena takut. Eh si cewek manggil mas gitu, ya udah mas Qomar kepo, pas coba dilihat, astaghfirullah, mereka lagi saling melepas pakaian. Dan terjadilah hal itu.”

“Mas Qomar lihat dong mbak Dara?” tanya Neneng antusias. 

“Kamu itu Neng, demen banget kayaknya. Ya lihatlah, tapi sebentar. Mas Qomar lupa ponselnya tertinggal di pos kamling. Niat hati mau ambil ponsel untuk ngerekam sebagai bukti, eh pas kembali adegan ninu ninu nya sudah selesai, pelakunya udah pulang.” Dara tertawa lepas saat mengakhiri kalimatnya. 

“Ya Allah, itu siapa berbuat hal laknat kok dihutan? emangnya nggak takut azab apa ya? nggak takut kalau penunggu hutan marah nantinya?” keluh mbok Nah, mengelus dada berulang-ulang. 

“Emangnya hutan ada penunggunya ya mbok?” tanya Rois. 

“Kamu ini Is, dimanapun tempatnya itu ada penunggunya. Makanya kita harus hati-hati dalam perbuatan dan ucapan kita. Jangan sembarangan. Apalagi seperti hutan, udah jelas banyak dedemitnya disana, ndak diragukan lagi itu.” Mbok Nah berkata panjang lebar. 

“Apa kang Qomar nggak lihat wajahnya mbak Dara?” tanya Nara. 

“Itu masalahnya Ra, wajah mereka nggak terlihat. Karena memang gelap.”

“Laporkan saja nduk sama pak Wignyo, biar segera diusut, seenggaknya kalau pak Wignyo bikin pengumuman, pelakunya akan was-was dan nggak akan mengulangi perbuatan mereka lagi. Geram aku, bocah gemblung ndak mikir, zina kok di hutan. Astaghfirullah.” Mbok Nah menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan anak muda jaman sekarang. 

“Ehm, bang Rois. Bisa totalkan belanjaan Jumi nggak? Jumi mau segera pulang soalnya, sepertinya ini Jumi kelamaan disini, khawatir bulek sudah nunggu dari tadi,” pinta Juminten. 

“Ah iya neng, sini biar saya totalkan.” Rois tersenyum genit seraya menerima kantong plastik berisi belanjaan Juminten. 

“Iya, kita sudah lama ngerumpinya, ayo Is jangan lama-lama. Gantian kita setelahnya,” perintah mbok Nah kemudian. 

“Iya mbok, sabar ya mbok, neng. Satu-satu ya, semua pasti dapat bagian,” jawab Rois terkekeh pelan. 

Terpopuler

Comments

m0π-m0π🥰ՇɧeeՐՏ🍻

m0π-m0π🥰ՇɧeeՐՏ🍻

q mampir.... ko jadi ingat tadi nonton di YT ya, keranda terbang🙈🙈🙈

2024-05-02

2

Tuxepos Jasmine

Tuxepos Jasmine

aku mampir ka🤗🤗🤗🤗

2024-04-27

1

Skypea

Skypea

Kakkk aku suka sekali gaya penulisannya, santai tp tertata rapi. btw judul ceritanya sm ky podcast yg srg aku dengerin hehe

2024-01-24

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!