Chapter 7

Nara dan warga desa mengikuti bacaan tahlil dan tahmid yang dipimpin sang kyai dengan khusyuk, hanya anak-anak kecil yang sesekali suaranya terdengar di antara mereka. 

Setelah acara berdoa bersama telah usai, kyai Marzuki memberikan sedikit nasehat. Agar warga desa Jagori semakin mendekatkan diri pada yang maha kuasa, supaya tak ada hal-hal buruk yang menimpa warga desa lagi, dan sama-sama mendoakan agar kakek Qosim bisa segera ditemukan. 

Acara sedekah desa dan doa bersama ini pun ditutup dengan makan-makan. Warga bergantian mengambil makanan yang terhidang diatas meja, para ibu menyuapi anaknya masing-masing. Dan para bapak sudah menikmati isi piringnya dengan lahap. 

“Mbak Nara, ayo kita ambil makanan mbak. Kalau nggak cepat nanti kita nggak kebagian loh,” kata Juminten yang tiba-tiba saja telah berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum manis dan berjalan mendahului Nara. Nara memaksakan diri untuk mengangguk dan mengikuti gadis cantik itu, aroma parfumnya masih terus mengganggu pikiran.

Tubuh Nara meremang, rasanya panas di sekujur badan. Seperti ada aliran listrik bertegangan rendah menyengatnya, memberikan efek merinding pada kulit tubuhnya. Langkahnya terhenti dan dadanya sesak saat matanya tak sengaja melihat Ilyas berjalan mendekati Juminten, mereka saling menyapa, bahkan Juminten tak segan-segan meletakkan daging pada piring Ilyas. 

Jika tak ada tragedi parfum dan kissmark di kemeja Ilyas, mungkin sikap Jumi akan terlihat biasa saja. Karena memang sejatinya gadis itu sangat ramah pada semua orang. Tapi kini lain cerita, aroma manis dari parfum yang dikenakan Jumi membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. 

Nara mencoba mendekati Jumi, duduk di bangku yang sama dengan wanita yang kini tengah bingung memilih makanan di depannya itu. Nara melihat dengan seksama warna bibir Jumi, warna yang sama dengan yang dilihatnya pada kemeja Ilyas beberapa hari yang lalu. Nara bisa langsung menyadari hal itu, sebab warna bibir yang digunakan Jumi tidak pada umumnya yang banyak dipakai wanita, terlihat cantik dan mahal. Bahkan Nara sendiri tak mengerti nama warna pemerah bibir gadis itu.

“Mbak Nara, ambil yang banyak. Makan sepuasnya, kapan lagi ada acara seperti ini,” ucap gadis itu kegirangan. Tubuh atasnya menari-nari bahagia, membuat aroma parfum kembali menguar dari tubuh sintal gadis itu. Jumi pun menatap Nara dan tersenyum senang sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan Nara sendiri.

Ilyas berjalan mendekatinya, lelaki itu berkata, “Nar, kenapa diam saja disini? apa perlu Abang ambilkan makan buat kamu? kamu mau apa, hmm? disana ada lalapan tempe,tahu,ayam. Ada juga sayur asem, bahkan nasi pecel, semuanya ada. Abang akui, masyarakat desa ini sangat kompak untuk urusan sedekah. Mereka akan berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik untuk desanya,” ucap Ilyas panjang lebar, namun tak sedikitpun didengar oleh Nara. Wanita itu masih sibuk menetralkan hatinya. 

“Nara, kamu kenapa sih? kamu sakit ya?” tanya lelaki itu lagi, menyadari sang istri jadi lebih pendiam daripada biasanya. 

“Ah, tidak Abang. Nara hanya sedikit pusing. Tapi nggak apa-apa kok, ya sudah Nara mau ambil makan dulu ya.” Nara berlalu meninggalkan Ilyas dengan rasa bingungnya. Namun, lelaki itu tak mau ambil pusing, ia berjalan membawa piring berisi nasi dan lauk pauk mencari cari adakah tempat kosong untuk ia duduk dan menikmati makanannya. 

Tangan Nara bergetar hebat, ia hampir tak bisa mengisi piringnya dengan makanan apapun. Nafasnya memburu, dan kakinya mulai terasa lemas saat lagi-lagi ia menyaksikan suaminya yang telah duduk menikmati makanan, dan tiba-tiba Juminten berjalan mendekatinya. Wanita itu bahkan menyentuh pundak suaminya dengan sangat mesra, sikap genitnya pada Ilyas tertangkap mata Nara. Begitupun Ilyas yang seolah merasa nyaman dengan sikap gadis manja itu, hal itu membuat Nara semakin kacau. 

Nara memilih diam, membiarkan piringnya masih tetap kosong. Kini ia melihat Ilyas kembali mengisi piringnya dengan lauk pauk, dan Juminten mengikuti langkahnya. Gadis itu terus menempel pada suaminya bagaikan lintah, kemanapun Ilyas pergi Juminten ada disampingnya, dan Ilyas pun terlihat sangat bahagia, mereka saling berbincang dan tertawa tawa. 

Nara tak kuasa melihat adegan ini, tangisnya pecah. Diletakkan kembali piring yang masih kosong, berjalan pelan menuju persawahan di samping balai desa. Disana padi telah menguning, rupanya pemilik sawah akan segera panen setelah ini. 

Nara berjongkok di samping tanaman padi, rimbun daunnya menutupi tubuh mungilnya. Bahunya bergetar kuat, isak tangis terdengar menyesakkan. Entah sudah berapa juta tetes air mata yang mengalir diatas pipinya. Angin menerbangkan anak rambutnya, membuat tiap helai rambut menempel pada pipinya yang basah oleh air mata, wanita itu terluka, berdarah-darah di dalam hati.

Kejadian di kafe Intan itu nyata adanya. Jumi membohonginya waktu itu, dan mungkin Ilyas pun juga. Nara juga tak pernah tahu, rapat yang dikatakan sang suami apakah benar adanya atau hanya alasan untuk bisa bermalam dengan gadis genit itu. 

Bayangan Ilyas berdua di atas ranjang dengan Juminten, saling bergumul dan saling mengerang nikmat sebagaimana yang biasa mereka lakukan selama ini, membuatnya semakin hancur. Nara tak lagi berada di posisi untuk tetap mengikuti acara, lewat tengah sawah ia berjalan pelan pulang ke rumahnya. Tak peduli jika Ilyas mencarinya, itupun jika lelaki itu mengingat dirinya. 

Terpopuler

Comments

kang'3ncum 🥰

kang'3ncum 🥰

hancur sudah 😭🤧nyesek ya Nar...

2024-05-02

1

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Sedih bngt diposisi Nara kasian sumpah,seorang istri yng begitu percaya melepas suami utk mencari nafkah mlh dpt balasan seperti itu 😭😭😭

2024-04-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!