Chapter 3

“Assalamualaikum,” ucap seorang lelaki yang baru saja turun dari sebuah mobil. Mobil berwarna hitam yang terparkir di samping rumah Nara. 

“Waalaikumsalam, Pulang Yas? yang lama kali ini, kasihan istrimu sendirian terus,” kata Dara pada teman masa kecilnya itu. 

“Iya Mbak, mbok Nah, Bang Rois. Sehat semua ya?” tanya Ilyas. 

“Alhamdulillah,” jawab Mbok Nah dan Rois serentak. 

“Ya sudah, aku balik duluan ya,” pamit Nara, berjalan kembali menuju rumah. 

“Cieee, yang suaminya pulang nggak jadi belanja,” goda Dara. 

“Bukan gitu, sepertinya Bang Ilyas sudah bawa sarapan buat kita, jadi belanjanya besok saja ya Bang.” Nara tersenyum kepada Rois, wanita itu segera menyusul suaminya yang telah lebih dulu berpamitan dan masuk ke dalam rumah. 

“Abang, tungguin Nara dong.” Nara berlari-lari kecil mengikuti langkah lebar suaminya yang telah berada di dalam rumah, lelaki itu tak menghiraukan panggilan istrinya, memilih meletakkan baju dan melepas pakaian lantas pergi mandi. 

“Nar, tolong ambilkan Abang handuk ya,” perintahnya tatkala separuh badan telah berada dalam kamar mandi. 

“Ih, Abang mah. Baru pulang bukannya salim dulu langsung masuk kamar mandi,” protes Nara yang tetap melaksanakan perintah sang suami. Berjalan cepat menuju kamar, mengambil handuk baru di dalam lemari pakaian. 

Ilyas tak menjawab omelannya, lelaki itu seakan tak mendengar apa yang ia katakan, menerima handuk dari tangan Nara dan menutup pintu. Guyuran air terdengar memecah kesunyian dalam rumah besar itu, rumah kuno peninggalan sang mertua. Meski merasa kesal. Namun, Nara mencoba abai. Menganggap mungkin sang suami terlalu capek, hingga ingin langsung berendam di dalam air hangat. 

Nara berjalan pelan meraih kantong plastik oleh-oleh suaminya. Ia tersenyum saat menyadari Ilyas membeli ayam goreng Mang Jono kesukaannya. Meski lelaki itu tampak sedikit cuek, namun kebiasaan membeli makanan setiap pulang ke rumah tak dilupakannya. Nara mulai menghidangkan ayam goreng di atas piring, tak lupa nasi dan juga air putih ia siapkan juga diatas meja. 

Saat suaminya selesai mandi, Nara tersenyum dan berkata, “Abang ayo sarapan dulu,” ajaknya. 

“Kamu makan sendiri aja Nar, Abang tadi sudah sarapan di warungnya.” Ilyas meletakkan handuk sembarang tempat, lantas berjalan mendekati dispenser air di ujung ruangan, mengambil segelas air dan meminumnya. 

“Yah, kok nggak makan di rumah saja sih Bang, Nara kan jadi makan sendiri kalau gini,” rengeknya, cemberut menatap wajah sang suami. 

“Jangan manja, kamu setiap hari juga makan sendiri kan Nar? memangnya selama ini ada yang nemenin? kan nggak.” Ilyas hendak berjalan menuju ruang tamu. Namun, secepat kilat Nara meraih tangan sang suami, menyeretnya mendekati meja makan. 

“Setidaknya temani lah Bang, masa Abang di rumah dan Abang bekerja nggak ada bedanya, Nara tetap makan sendiri. Temani ya,” pinta Nara mencoba bersikap manja di depan sang suami. Ilyas menghela nafas panjang, terpaksa mengikuti keinginan istrinya dan duduk di atas kursi di samping meja makan. Nara mulai makan dengan lahap, sedangkan Ilyas sibuk dengan ponsel di tangan. 

“Abang, tau nggak sih tadi pagi mbak Ijah heboh nyariin kakek Qosim, katanya kakek nggak pulang dari kemarin. Padahal kemarin pagi itu kita jumpa kakek Qosim saat belanja, beliau mau ke hutan gembala kambing. Sorenya pun Nara masih jumpa, Kakek Qosim kayak orang linglung nyari kambingnya yang hilang.”

Melihat suaminya hanya diam menatapnya, Nara kembali berkata, “Ada yang bilang kakek Qosim sengaja kabur menghindari tagihan utang putranya yang di kota, ada juga yang berpikir bahwa kakek Qosim mungkin saja sedang dalam bahaya. Kalau menurut Abang pribadi, setuju yang pertama apa yang kedua Bang?” 

“Alah, paling juga kakek Qosim cuma lagi jalan-jalan. Masalah seperti ini nggak perlu dibahas terlalu dalam, nggak penting. Kamu juga nggak perlu ikut campur, biarkan saja,” ucap Ilyas. 

“Abang kenapa sih? nggak biasanya Abang begini,” protes Nara pada suaminya. 

“Abang ya selalu begini Nar, mau bagaimana lagi.” Ilyas berdiri meninggalkan istrinya menuju kamar, “selesaikan sendiri makan kamu, Abang mau istirahat lelah,” sambungnya. 

“Cuek banget, awas saja kalau butuh bantuanku, akan ku balas,” gumam Nara pelan, memandang kepergian sang suami menuju kamar mereka. Ia segera menyelesaikan acara makannya, mencuci piring dan membersihkan dapur seorang diri. 

Setelah semuanya selesai, seperti biasa Nara memilih duduk di teras rumah, menikmati sejuknya angin yang berhembus dari sawah depan rumahnya. Pemandangan sawah yang padinya sudah mulai tinggi tampak hijau dan subur, sesekali daun-daun padi itu akan bergoyang diterpa angin. Nara memilih mendengarkan musik favoritnya, sambil menikmati keindahan ciptaan tuhan disekitarnya. Meski tiada yang akan menyangka, pemandangan indah ini akan berubah mengerikan jika malam tiba, apalagi saat rombongan pengusung keranda mayat itu kembali tiba. 

“Lagi nyantai nduk?” Dua orang wanita paruh baya bertanya dari samping sawah. Mereka adalah mbak Siti dan mbah Mus pemilik sawah depan rumahnya itu. 

“Iya mbah, wah padinya bagus ya mbah. Ini nggak lama lagi bakal menguning dan panen nih,” goda Nara berjalan mendekati dua wanita yang kini duduk di samping sawahnya beralaskan tikar kecil. 

“Doakan saja nak, semoga diberi kelancaran dan bisa panen banyak,” ucap mbah Siti. Dua nenek itu ada sahabat, mereka orang baik yang selalu menyapa Nara saat bekerja di sawahnya. Bahkan terkadang saat makan siang mereka tak segan membagi bekalnya dengan Nara, makan bersama di teras rumah wanita muda itu. 

“Suamimu pulang nak?” tanya mbah Mus. 

“Iya mbah, sedang tidur sekarang. Sepertinya kelelahan dia,” jawab Nara tersenyum ramah. 

“Iya nak, biarkan dia istirahat. Oh iya kamu sudah dengar kabar kang Qosim?” Mbah Siti sedikit berbisik saat bertanya tentang kakek Qosim. 

“Iya mbah, kasihan sekali. Apa sampai sekarang belum ditemukan ya mbah?” 

“Belum nak, baru saja mbah lihat Ijah sama suaminya masih terus mencari di hutan. Kasihan dua anak muda itu, sepertinya benar kata orang-orang, kang Qosim melarikan diri membawa kambingnya itu. Dia sudah lelah sama tingkah anaknya, si Danu itu selalu nyusahin kang Qosim selama ini, Kang Qosim terlalu baik dengan mengatakan bahwa Danu anak yang berbakti.” Mbah Siti bercerita panjang lebar. 

“Hus, itu belum tentu benar Ti, bisa saja Qosim dalam bahaya. Kita sebagai tetangga kalau nggak bisa bantu cari, doakan saja yang terbaik, jangan malah bantu sebar kabar yang belum jelas, jatuhnya nanti fitnah.” Mbah Mus tampak lebih bijaksana, menasehati sahabatnya yang sedang membicarakan tentang kabar yang santer beredar di kalangan masyarakat. 

“Semoga saja kakek Qosim segera ditemukan ya mbah, kasihan mbak Ijah,” harap Nara. Ketiga wanita beda usia itupun bersama-sama menikmaTi semilir angin, saling bercerita segala macam pengalaman hidup masing-masing. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!