Chapter 12

Suasana malam desa Jagori tampak lengang, tak satupun terlihat warga yang keluar dari rumahnya. Bahkan pos ronda yang biasanya ramai akan warga begadang semalaman tampak sunyi senyap. Nara melihat semuanya dari jendela kamarnya. 

“Belum tidur Nar?” tanya Ilyas, berdiri di tengah pintu. 

“Ini mau tidur Bang,” jawab Nara setengah hati. Ia benar-benar tak mampu mengontrol sikapnya di depan Ilyas, terlalu kecewa dan sakit hati, setiap kali mengingat kissmark pada kemeja lelaki itu, maupun aroma parfumnya yang telah berubah, selalu sukses membuat Nara merasakan sesak dalam dada. Namun, tak sedikitpun Nara ingin mempertanyakan segalanya, ia menahan semuanya. 

“Nar, malam ini boleh nggak Abang minta itu.” Ilyas mengedipkan mata, Nara memahami maksud lelaki itu, bertahun-tahun ia menemani Ilyas sudah sangat mengerti jika suaminya menginginkan dirinya. 

“Maaf Bang, Nara agak capek malam ini, lain waktu ya Bang,” jawab Nara yang kemudian segera membaringkan tubuhnya, dan menarik selimut hingga menutupi kepala. Ilyas merasa heran dengan sikap istrinya beberapa hari terakhir, namun lelaki itu hanya mengira Nara memang tengah kurang enak badan. 

“Sudah minum obat kan Nar kamu? kalau dirasa kurang enak badan segera minum obat. Jangan dibiarkan berlarut,” jawab Ilyas. 

Nara hanya memberi isyarat dengan ibu jarinya yang menyembul di balik selimut, lantas kembali menarik tangannya dan berkata, “jangan lupa matikan lampu dan tutup pintu kalau keluar kamar,” ucapnya saat menyadari pergerakan Ilyas yang hendak meninggalkannya sendiri. 

Usai memastikan pintu telah tertutup dan lampu kamar dimatikan oleh suaminya, Nara segera duduk, menghidupkan lampu tidur yang berada di atas nakas. “Kalau peduli harusnya temani dong istrinya, bukan malah ditinggal. Dasar tukang selingkuh,” gumamnya sebelum akhirnya kembali berbaring hingga terlelap. 

Beberapa jam kemudian, tepat tengah malam. Ilyas berjalan mengendap. Setelah memastikan istrinya telah terlelap ia segera meraih jaket kulit berwarna hitam yang telah disiapkannya di dalam tas. Mengenakan topi baseball dan celana yang juga berwarna hitam. 

Ilyas mengetikkan pesan dalam ponselnya, lantas berjalan keluar lewat belakang rumah menuju hutan. Lelaki itu berhenti tepat di samping pohon jati yang usianya mungkin sudah puluhan tahun, itu terlihat dari betapa besarnya ukuran pohon itu. Lampu belakang rumah Ilyas mampu menjangkau tempatnya berdiri kini. 

Tak lama kemudian seorang perempuan berjalan pelan dari arah belakang rumahnya. Melihat keberadaan Ilyas membuat senyum perempuan itu mengembang pada pipinya. 

“Mas, sudah lama menunggu?” tanya perempuan itu. 

“Belum lama Jumi, kamu kok belum tidur?” tanya Ilyas pada Juminten. 

“Belumlah mas, sejak mas bilang mau pulang tadi siang Jumi bertekad ingin bertemu. Karena Jumi sudah sangat rindu sama mas Ilyas,” ucapnya lagi, meraih tangan Ilyas dan meletakkannya pada pinggulnya, sedang tangannya sendiri melingkar di leher kekasih gelapnya itu. 

“Iya kah? katanya takut ketemuan lagi, takut warga tahu kalau yang mereka maksud malam itu adalah kita?” 

“Iya sih mas, cuman kan sekarang warga desa nggak ada yang berani keluar mas, jadi kita bebas. Eh, ngomong-ngomong mbak Nara sudah tidur? mas nggak takut mbak Nara nyariin gitu?” 

“Mas kan udah bilang, Nara itu kalau tidur kayak kebo. Nggak akan bangun dia sekalipun ada gempa.” Ilyas menyentuh wajah cantik perempuan di depannya. 

“Jumi, mas boleh minta nggak malam ini?” tanya Ilyas memasang wajah memelas. 

“Minta apa mas?” Jumi pun berpura-pura tak mengerti, padahal hatinya sudah berdetak kencang. 

“Mas tadi minta jatah sama Nara, tapi mas ditolak mentah-mentah. Memang istri nggak berbakti dia,” ucap Ilyas memancing emosi Jumi, ia tahu perempuan di depannya sangat mencintainya, sudah dari remaja Juminten mengejar Ilyas. Hanya saja ia tak menyukai Jumi yang dulu dekil dan hitam itu, siapa sangka setelah ia kembali ke desa bersama Nara, Juminten telah berubah menjadi gadis cantik berkulit putih dengan tubuh yang sintal. 

“Kok bisa-bisanya sih mbak Nara seperti itu? mana boleh menolak suami. Apalagi mas Ilyas kan sudah capek bekerja untuk dia. Ya sudah, gimana kalau Jumi bantu, kebetulan Jumi juga lagi pengen mas.” Jumi tersenyum menggoda. 

Sepasang kekasih gelap itu akhirnya saling memuaskan satu sama lain, terdengar erangan demi erangan yang bersahutan. Desahan penuh nikmat juga lolos dari bibir merah bersapukan lipstik pemberian sang kekasih. Saat ombak terasa bergelung di ujung pantai, buih pun pecah memberikan efek nikmat tiada tara. Nafas tersengal, keringat bercucuran. Pasangan gelap itu saling memeluk satu sama lain dan kembali melepas rindu dengan cerita-cerita kenangan masa lalu. 

***

“Mas Qomar, ayo dong anterin. Udah mules banget ini rasanya,” pinta Dara pada sang suami yang masih menggeliat di atas ranjang. 

“Berangkat sendiri lah sayang, mas ngantuk berat ini,” jawab Qomar tanpa membuka kedua matanya. 

“Ya Allah tega banget sih mas, kalau cuma ke wc pribadi aku nggak akan minta tolong. Masalahnya ini wc kita tiba-tiba rusak mas, jadi tolong ya antar ke rumah Nara, itu di depan rumahnya ada kamar mandi. Nggak mungkin juga kan mas aku mau ketuk-ketuk rumah tetangga di jam segini, cuma rumah Nara yang ada kamar mandi di luar. Ya mas, anterin yuk,” rengek Dara lagi sembari memegang perutnya. 

“Ya udah ayo. Kamu ini benar-benar merepotkan. Makanya lain kali kalau bikin sambal kira-kira cabenya,” omel Qomar pada sang istri. Dara tak menanggapi ucapan Qomar, ia segera berlari keluar rumah, menuju rumah Nara. Kebetulan rumah mereka hanya dipisah oleh rumah pak kades, jadi tak terlalu jauh menuju rumah Nara. 

Dara segera masuk kamar mandi, sedangkan Qomar menunggu istrinya di teras rumah Nara. Mata Qomar awas menatap sawah dan hutan, ia teringat cerita tentang pengusung keranda mayat. “Sayang, jangan lama-lama ya. Mas takut,” ucapnya pada sang istri.

“Ya mas, tunggu sebentar i-ini mules banget rasanya,” jawab Dara. 

Beberapa menit berlalu, dengan muka cerah Dara keluar dari kamar mandi. Sepertinya ia sudah sangat lega, perutnya tak lagi mulas. Namun, tiba-tiba pasangan suami istri itu dikejutkan oleh suara desahan dari arah belakang rumah Nara. 

“Dara, kamu dengar suara itu?” tanya Qomar. 

“Iya mas, suara apa ya? kok kayak nggak asing. Kayak suara orang sedang bercinta nggak sih mas? apa itu Nara dan suaminya?” 

“Kalau Nara harusnya kedengeran dari jendela ini. Ini kan kamar Nara? dia kan pernah cerita yang lihat pengusung keranda lewat jendela kamarnya,” kata Qomar. 

“Iya ya mas, ini suaranya dari belakang sana. Tapi kenceng banget ya. Kita pulang aja yuk mas, aku takut,” rengek Dara yang mulai meraih tangan sang suami. 

“Tunggu sebentar sayang, aku kayak dejavu. Seperti pernah mengalami kejadian ini. Kalau pikiranku benar, kita bisa menangkap pelaku perbuatan Zina. Ayo sayang kita lihat dulu, pelan-pelan ikuti mas.” Qomar berjalan mengendap-ngendap, diikuti Dara dibelakang punggungnya. 

“Astaghfirullah Dara, benarkah yang mas lihat ini??” 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!