Chapter 13

Namanya di desa, kabar sekecil apapun itu akan dengan mudah tersebar. Apalagi kabar sebesar ini. Qomar dan Dara mengaku melihat sepasang kekasih berzina di hutan yang berada di belakang rumah Nara. Warga desa Jagori pun dibuat heboh oleh kabar itu, mereka yang awalnya memang marah karena pasangan kekasih itu semakin marah kini.

“Mbak Dara, memangnya mbak nggak lihat wajahnya apa?” tanya Neneng. 

Dara menggeleng cepat, dan Qomar yang pagi itu sengaja mengikuti istrinya berbelanja segera berkomentar, “karena gelap, jadi kami nggak bisa lihat jelas wajahnya.” 

“Ceritanya gimana sih kang Qomar? kok bisa kebetulan sekali selalu kang Qomar yang lihat, eh tapi sekarang mbak Dara juga ikut lihat ya,” ucap Rois. 

“Semalam itu istriku ini minta diantar ke rumah Nara, mau numpang kamar mandi depan rumahnya itu, karena memang wc kita rusak. Tiba-tiba saja kita mendengar suara desahan, dan setelah kita lihat sepasang kekasih tengah melakukan hubungan terlarang. Kali ini si wanita pakai baju biru muda, kalau yang cowok pakai jaket hitam sama topi, itu yang membuat kami tak bisa melihat dengan jelas wajahnya,” ungkap Qomar. 

“Tunggu, kang Qomar bilang di belakang rumah saya?” tanya Nara yang baru saja beberapa detik lalu ikut bergabung. 

“Eh, Nara. I-iya Nar. Oh iya kita izin pake kamar mandimu tadi malam Nar.” 

“Iya Kang nggak apa-apa, tapi apa benar kang Qomar tidak melihat wajahnya sama sekali, mungkin dari perawakannya kang Qomar mengenalinya?” Nara menyelidik. 

“Kami nggak ngerti Nara, mungkin bukan orang RT sini. Hanya saja dia sengaja berbuat di hutan karena tahu sekarang warga dilarang mendekati hutan,” jawab Dara. 

“Wah benar itu, kita harus melaporkan hal ini pada pak kades, ada oknum yang menggunakan kesempatan ini untuk berbuat maksiat, kalau dibiarkan saja bisa-bisa kekhawatiran kang Dhofir akan jadi nyata. Mana kasus mbok Nah sama kakek Qosim belum terpecahkan lagi, duh mikir apa sebenarnya orang bodoh itu ya?” ujar Neneng merasa kesal. 

“Yang dipikirin ya selakangannya aja Neng, orang kayak gitu itu.” Qomar ikut geram. 

Usai berbelanja, Nara kembali mengingat ucapan Qomar, sebenarnya ia mendengar saat suami Dara itu mengatakan bahwa ceweknya memakai baju berwarna biru muda. Nara ingat, Juminten kemarin sore memakai pakaian berwarna sama. Tapi, jaket hitam? seingatnya suaminya tak memiliki jaket berwarna hitam. 

Nara segera masuk ke rumah, menuju dapur dan mulai memasak. Pagi ini ia masak makanan kesukaannya, sambal terong dengan lauk udang tepung. Ilyas yang baru selesai mandi segera mendekatinya, bau sabun dan sampo tercium dari tubuhnya. 

“Tumben Abang keramas pagi-pagi?” tanya Nara. 

Ilyas tampak salah tingkah, namun hanya sebentar karena lelaki itu pandai menyembunyikan gugupnya. “Abang cuma gerah aja Nar, nggak enak rasanya kulit kepala lengket. Beberapa hari belum sempat keramas.”

“Oh iya Bang, waktu Nara belanja warga ramai bicarakan tentang sepasang kekasih kekasih yang lagi-lagi ketahuan berzina. Katanya sih cowoknya pakai jaket hitam.”

“Abang nggak punya jaket hitam Nar,” jawab Ilyas menahan rasa terkejutnya. 

“Loh, Nara kan nggak bilang itu Abang, Nara juga tahu Abang nggak punya jaket hitam. Kenapa loh Abang ini?” tanya Nara tertawa pelan. Namun, hatinya gelisah mendengar jawaban Ilyas. Ilyas pun ikut tertawa menutupi rasa gelisah di hatinya. 

“Nar, sepertinya di rumah pak Kades sedang ramai warga, ada apa ya? mas lihat ke depan dulu ya Nar,” pamit Ilyas yang langsung pergi meninggalkan istrinya. Nara mencoba melihat dari jendela dapur, dan benar saja rumah tempat tinggal Juminten itu sedang ramai warga bersama para polisi. Nara yang penasaran pun segera mematikan kompor dan ikut bergabung bersama suaminya di depan rumah. 

“Pak kades kita nggak bisa lagi cuma diam sekarang pak, kita menolak untuk tetap berada di dalam rumah dengan alasan mengikuti saran dukun Mangli. Sedangkan ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab menggunakan kesempatan ini untuk berbuat maksiat, lama-lama desa kita yang kena azabnya pak kades,” ucap Dhofir mewakili hati warga lainnya. 

“Maaf, kalau boleh tahu sudah berapa kali pelaku berbuat hal seperti itu?” Seorang pria muda berseragam polisi mengajukan pertanyaan kepada Dhofir. 

“Sudah dua kali ini yang kita tahu pak, yang mungkin kita kecolongan entahlah.”

“Siapa saksi mata dalam kejadian ini? bolehkah saya bertemu dengan orangnya?” tanya polisi itu lagi. 

“Tentu saja pak, Qomar majulah. Pak Albi ingin bicara denganmu, katakan semua dengan jujur apa yang kamu lihat. Jangan ditambah dan jangan dikurangi,” ucap Dhofir lagi. 

Qomar tampak takut-takut, lelaki itu maju di tengah-tengah perkumpulan warga bersama istrinya Dara. Pak Albi mulai bertanya banyak hal padanya, dan ia menjawab semuanya dengan lancar. Nara menyimak semuanya, ia bahkan menyempatkan diri untuk melihat ekspresi suaminya, Ilyas tampak tenang menyimak percakapan warga dan polisi muda itu, tak ada sedikitpun raut wajah yang tampak mencurigakan di mata Nara. 

Begitupun Juminten, Nara melihat perempuan cantik itu duduk di samping buleknya, memakai pakaian berwarna merah jambu. Namun ada satu yang mencurigakan, rambut panjang Jumi juga setengah basah. Apa ini kebetulan? Wanita itu sampai-sampai takut bahwa ia salah menduga. Apakah memang pelakunya bukan Bang Ilyas dan Jumi? kenapa bisa mereka tampak sangat tenang jika memang mereka pelaku dibalik kejadian ini. Tapi, kenapa rambut mereka sama-sama basah? 

Terpopuler

Comments

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Terang aja mereka terlihat tenang Nara,wong mereka ibarat maling,klo ketahuan baru tuh mereka ketakutan,,,apalgi bisa ikut ngumpul2 ky gini,seneng mereka bisa tau sikon kpn aman,kapan hrs nahan 😜😜😜

2024-04-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!