Chapter 9

Embun pagi membasahi dedaunan, menyisakan basah di pagi hari yang dingin. Nara berjalan pelan menghampiri kumpulan para wanita yang tengah berbelanja sayur pada Rois, lelaki itu tampak sedang menyimak cerita dengan seksama. 

“Kemana ya mbok Nah? padahal kemarin sore kita masih berbincang-bincang di depan rumah. Tiba-tiba saja pagi ini sudah tidak ada.” Juminten masih sesenggukan. Pasalnya mbok Nah memang sangat dekat dengannya, wanita yang tidak memiliki anak dan seorang gadis yang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua, keduanya bagaikan botol ketemu tutupnya, sangat pas dan sangat cocok. Pantas saja kalau Juminten tak henti-hentinya menangisi hilangnya mbok Nah. 

“Apa kemungkinan mbok Nah pergi ke rumah saudara Neng?” tanya Rois. 

“Mbok Nah tak punya kerabat kang, mbok Nah itu sebatang kara. Dia cuma hidup berempat sama kucingnya. Kalau pun mbok Nah pergi pasti kucingnya ikut, sebab beliau sangat menyayangi kucingnya seperti anak sendiri. Lah ini, kucingnya ditinggal lo, jadi kami semua khawatir,” papar Dara mendetail. 

“Ada apa ini? apa yang terjadi sama mbok Nah?” tanya Nara yang masih belum terlalu paham pembicaraan mereka. 

“Mbok Nah menghilang Ra,” jawab Neneng, “Kakek Qosim belum ditemukan, dan sekarang mbok Nah. Kenapa jadi menyeramkan gini sih desa kita ini?” imbuhnya, dan pada akhirnya wanita itu ikut meneteskan air mata. Nara sungguh terkejut, suara jeritan yang didengarnya semalam apakah itu mbok Nah? pikirnya. 

“Kalian jangan risau, Pak Wignyo akan terus berusaha mencari keberadaan mbok Nah, semoga saja beliau dan kakek Qosim bisa segera ditemukan,” kata bu Retno yang sedari tadi hanya memilih diam, tangannya masih sibuk memilah dan memilih sayuran. 

“Ehm…sebenarnya, aku semalam mendengar suara jeritan aneh dari arah hutan, sepertinya sih suara wanita,” ucap Nara. 

“Hah! serius kamu Ra?” tanya Dara. Begitupun Neneng dan Jumi yang sama-sama terkejut, segera menghapus air mata dari pipi mereka. 

“Bukan cuma itu, sebenarnya aku juga melihat rombongan orang membawa keranda mayat di sawah depan rumah, pakaian mereka serba hitam, dan mereka berjalan menuju hutan.” Nara menceritakan apa yang dilihatnya, ia tak ingin lagi menyembunyikan hal ini seorang diri.

“Astaghfirullah, apa itu Neng Nara? Neng serius? itu manusia apa setan?” tanya Rois. 

“Entahlah bang,” jawab Nara. 

“Apa jangan-jangan mbok Nah sama kakek Qosim dalam bahaya?” Neneng tampak syok, wanita itu merasa merinding di sekujur tubuh, ia lah yang paling penakut diantara semuanya. 

“Sudahlah, jangan berpikiran buruk. Kita semua berdoa saja untuk keselamatan mbok Nah dan kakek Qosim. Juga agar usaha tim yang dikerahkan suami saya bisa segera membuahkan hasil,” ucap bu Retno lagi, mencoba menenangkan para tetangganya.

Bukan tak ada alasan wanita itu berkata demikian, suaminya adalah perangkat desa yang menjabat sebagai sekretaris desa, melihat kejanggalan yang terjadi di daerah kuasanya tentu saja ia harus bertindak, dan memang benar pak Wignyo telah mengerahkan tim nya untuk menelusuri hutan dan sungai guna mencari keberadaan kakek Qosim dan mbok Nah. 

“Menurut kabar kan kakek Qosim kabur dari rentenir neng? memangnya itu benar ya?” tanya Rois. 

“Aku sih nggak percaya Bang, sebab beberapa hari yang lalu aku lihat kambingnya pulang kok, lagian kalau memang hilangnya kakek Qosim karena hutang, kenapa mbok Nah juga ikut hilang? bukankah ini aneh?” tanya Nara. 

“Benar kamu Ra, aku juga sempat lihat waktu si Ijah sama kang Niam bawa pulang kambing bapaknya,” jawab Dara. 

“Ya Allah, padahal baru kemarin desa kita adakan doa bersama, eh malah ada kejadian lagi. Ampunilah dosa-dosa kami ya Allah,” kata Neneng menyatukan dua tangan dan mengangkatnya ke atas, semua lantas mengaminkan doa wanita itu. 

***

Usai memasak, seperti biasa Nara akan duduk bersantai di depan rumah. Menatap hamparan padi di depan rumahnya yang mulai berisi dan merunduk. Beberapa orang berlalu lalang di depan rumahnya, rupanya mereka pekerja di sawah mbak Siti dan mbah Mus. 

Nara mendengar mereka membicarakan tentang keranda mayat, dan menghubungkan hilangnya mbok Nah dan kakek Qosim ada hubungannya dengan keranda itu. 

“Ada benarnya ucapan pak Kades, pokoknya jangan sampai kita keluar malam, apalagi mendekati hutan. Mbok, kamu jangan sekali-kali ke sawah malam hari mbok? menurut cerita pengusung keranda mayat itu lewat sini, yang lihat kan istrinya Ilyas, itu loh ada orangnya di depan rumah. Coba kita tanya yuk?” ucap seorang lelaki. Nara bisa mendengar jelas percakapan mereka. 

“Kamu tanya aja sendiri, aku nggak terlalu kenal sama wanita itu,” ucap lelaki lainnya. 

“Nggak kenal ya kenalan to Dun,” jawab mbah Siti kemudian. Sedangkan mbah Mus hanya tersenyum menanggapi percakapan mereka. 

“Nara, nduk. Kesini lo nak, kita makan bersama lagi. Mbah bawa bekal makanan kesukaanmu ini,” jerit mbah Siti dari seberang jalan. Nara tersenyum, meski enggan ia tak sampai hati menolak permintaan mbah Siti yang selama ini baik padanya. Nara berjalan menghampiri mereka, dan duduk diatas tikar kecil yang digelar di samping sawah. 

“Nduk, kamu benar lihat pengusung keranda lewat sawah mbah?” tanya mbah Siti begitu Nara sudah bergabung bersama mereka. Nara mengangguk, tersenyum.

“Di desa kabarnya sudah ramai nak, kayaknya hilangnya kang Qosim sama yu Nah ada hubungannya dengan pengusung keranda mayat itu. Ya Allah, semoga tak ada hal buruk yang terjadi pada mereka,” ujar mbah Siti berharap hal baik untuk dua teman sejawatnya. 

“Si Ijah udah nangis aja mbok waktu dengar kabar ini, sebab kabar yang beredar mengatakan mungkin keranda itu membawa mayat bapaknya. Niam juga ikut nangis, gak tega aku lihat mereka,” jawab lelaki bernama Madun itu.

“Kamu tahu Dun, tadi Bang Dhofir bersama Niam akhirnya datang ke rumah pak kades,” ucap lelaki satunya. 

“Ngapain kang Hadi?” tanya Madun penasaran. 

“Katanya sih mereka mau minta pak kades panggil orang pintar untuk selesaikan kasus ini. Bang Dhofir masih yakin kalau ini karena kutukan di desa sebab pasangan kekasih yang berzina di hutan samping rumah mbak Nara itu,” ucap Hadi seraya menunjuk deretan pohon jati yang tumbuh di samping rumah Nara. 

“Dhofir itu anak muda, tapi percaya sekali hal semacam itu. Bukannya minta tolong polisi, malah panggil dukun,” jawab mbah Mus. 

“Tapi ya benar juga lo Mus.” Mbah Siti yang merasa setuju dengan gagasan Dhofir pun ikut membenarkan keputusan mereka. 

“Tapi Niam juga sudah minta pak Kades buat lapor polisi kok mbok,” jawab Hadi lagi. Kelima orang itu pun terdiam, pikiran mereka dipenuhi segala dugaan-dugaan tentang kejadian yang menimpa desa mereka. Disaat demikian tiba-tiba saja Neneng berlari mendekati mereka, nafas wanita itu tersengal. 

“Mbok, semuanya. Ayo semua warga diminta berkumpul di depan rumah pak Kades,” ucap Neneng. 

“Ada apa Neng?” tanya mbah Siti. 

“Entahlah mbok, semua warga juga panik segera bergegas berkumpul. Sepertinya ini ada hubungannya dengan kejadian yang dialami desa kita beberapa hari terakhir,” jawab Neneng. Kelima orang itu pun segera berdiri, berangkat bersama menuju rumah pak Kades mengikuti Neneng. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!