Chapter 8

Merasa lelah menangis, Nara tak sadar ia telah tertidur berjam-jam lamanya. Hari sudah sore, ia bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan melakukan kewajiban sebagai seorang muslimah. Setelahnya ia mencoba melihat keluar rumah, mencari-cari keberadaan Ilyas yang tak kunjung pulang. 

Pikiran buruk tentang suaminya yang tengah bermesraan dengan gadis yang lebih cantik dan lebih muda darinya membuat hati Nara terasa sangat sakit. Tak bisa dipungkiri, Juminten memiliki wajah cantik, kulit putih dan bersih. Gadis itu rajin perawatan. Sedari kecil ia dirawat bu Retno istri pak Kades karena bapaknya telah meninggal dunia, sedangkan ibunya kabur bersama suami orang. 

Nara tak menyangka, jika peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu nyata untuk Juminten. Lihat saja, gadis yang terlihat polos itu telah berhasil memikat hati suami Nara. Lama Nara terdiam di kursi teras, dia melamun seorang diri. Hingga suara panggilan dari samping rumahnya terdengar di telinga. 

“Mbak Nara, sendirian saja mbak? mas Ilyas mana?” tanya Juminten dari teras rumah bu Retno, gadis itu tengah menggendong putra bungsu bibinya. 

Meski hatinya kesal, tapi Nara masih bisa mengontrol raut wajahnya. “Entahlah Jumi, Bang Ilyas belum pulang juga sampai jam segini,” jawab Nara. 

“Tadi Jumi lihat mas Ilyas sedang bercakap-cakap dengan paklek dan beberapa warga lain sih mbak, mungkin sebentar lagi pulang. Sudah kangen ya mbak? mas Ilyas sih, udah jarang pulang sekalinya pulang malah betah di luar rumah. Makanya mbak, mbak Nara kudu pinter-pinter raih hatinya mas Ilyas. Kalau perlu dandan mbak Nara, lelaki itu suka wanita cantik dan menggoda,” papar Jumi panjang lebar. 

Nara semakin kesal, tangannya mengepal di bawah meja, matanya terus menatap Juminten, sedangkan sudut bibirnya sedikit terangkat. “Dari mana kamu mempelajari semua itu Jumi? kamu kan belum menikah?” tanya Nara lagi. 

“Memang belum sih mbak, tapi teman-teman Jumi sudah banyak yang menikah dan mereka sering sharing pada Jumi, jadilah Jumi banyak mengerti tentang kehidupan pernikahan, mbak Nara boleh kok misalkan mau curhat atau butuh solusi tentang rumah tangga mbak sama mas Ilyas, Jumi janji akan jadi pendengar yang baik untuk masalah mbak Nara.” Jumi tersenyum manis menatap wajah wanita di depannya. 

Merasa kesabaran telah berada di ujung batas, Nara segera berpamitan untuk masuk ke dalam rumah. Tak ingin berlama-lama duduk bersama pelak*r itu. Hatinya terasa sangat sesak, dan air mata pun kembali menderas bersama dengan langkah kaki yang membawanya masuk ke dalam ruangan. 

Tak lama kemudian, ia mendengar suara Ilyas yang menyapa Jumi di luar rumah. Mereka seperti tetangga pada normalnya, kalau saja Nara tak tahu yang sebenarnya mungkin ia juga akan mengira mereka hanya sebatas teman kecil, adik kelas, dan tetangga saja, tak lebih dari itu. 

“Nar, Nara sayang,” panggil Ilyas. Nara hanya diam duduk di depan televisi, di ruang tengah, “loh kamu disini? kok dipanggil nggak jawab sih? kamu tadi pulang dulu ya Nar? Abang cariin nggak ada,” kata Ilyas mendekati istrinya dan ikut duduk menatap layar televisi. 

“Abang sudah shalat belum?” 

“Belum.” Ilyas terkekeh pelan. 

“Ya shalat dulu lah Bang, ini sudah hampir maghrib,” jawab Nara.

“Nanti dulu lah, Abang masih capek baru datang,” ucap Ilyas bermalas-malasan. 

“Abang tahu shalat itu wajib bagi seorang muslim, dan menunda-nunda waktu shalat itu dosa. Kenapa masih Abang lakukan?” Nada suara Nara terdengar tegas dan menyeramkan, tapi kedua matanya masih fokus menatap layar televisi. 

“Iya iya, Abang shalat sekarang. Cerewet sekali kamu Nar.” Ilyas beranjak pergi menuju dapur, di mana kamar mandi dan tempat sholat berada di sampingnya. 

“Yang berhubungan sama tuhan aja dia berani abai, apalagi kalau hanya menyakiti hatiku.” Nara mendengkus kesal, “dan apa tadi dia bilang? aku cerewet? oh jadi aku cerewet beda sama Jumi yang lemah lembut. Belum aja dia jadi istrimu Bang, dasar lelaki s**l,” gumam Nara penuh emosi. 

Remot televisi di tangan menjadi pelampiasan, menekan-nekan tombolnya tanpa henti, layar televisi sudah berubah beberapa kali tapi si empunya masih juga tak mau berhenti. Berakhir dengan remot melayang dan mendarat di atas lantai. Suaranya membuat lelaki di belakang sana berlari terburu-buru mendekati istrinya. 

“Ada apa Nara?” tanya Ilyas. 

“Remotnya sakit,” jawab Nara ketus, berjalan memasuki kamar tanpa menghiraukan suaminya yang kebingungan. Ilyas meraih remot di lantai, mencoba menekan tombol dan mengarahkannya di depan televisi. 

“Nggak apa-apa remotnya, baik-baik saja. Nara kenapa sih? apa dia lagi datang bulan?” gumam Ilyas, kembali berjalan menuju ruang belakang. Beberapa menit kemudian, Ilyas muncul di balik pintu, lelaki itu menatap istrinya yang duduk terdiam di depan jendela. 

“Nara, kamu sakit ya? kamu lagi nggak enak badan atau gimana? atau kamu lagi datang bulan?”

“Hanya sedikit pusing Bang, nanti di buat istirahat juga pasti sudah sehat,” jawab Nara tanpa membalikkan badan menatap lawan bicaranya. 

“Ya sudah, minum obat yang sudah Abang sediakan terus istirahat. Oh iya Nar, maaf ya sepertinya malam ini Abang tidak bisa menemanimu. Baru saja Abang dapat telepon yang meminta Abang untuk segera kembali karena ada rapat mendadak.” Ilyas segera meraih tasnya, mengganti pakaian santainya dengan pakaian resmi. 

“Maaf ya Nar, Abang janji langsung pulang setelah semuanya selesai, Abang berangkat dulu ya, hati-hati di rumah. Ingat pesan Abang, jangan suka kepo kalau ada apa-apa, kamu segera tidur saja biar cepat sehat.” Ilyas meraih tangan Nara, mengecup tangan istrinya lantas melambai dan keluar kamar dengan senyuman di bibirnya. Nara tak menjawab ucapan Ilyas, ia bahkan tak mengantar kepergian suaminya itu, ia kembali termenung menghadap jendela, menatap kepergian suaminya dari sana. 

***

Jam di rumah Bu Retno berdentang sebanyak dua belas kali. Jam raksasa yang terpajang di ruang tamu itu suaranya selalu sampai ke rumah Nara, dan sukses membuat Nara terjaga ditengah malam. Ia memang tertidur sejak sore, setelah minum obat karena rasa pusing yang menyiksa. 

Nara merasa ingin buang hajat, ia segera berlari menuju kamar mandi. Setelahnya ia kembali berjalan menuju kamar, Nara menyempatkan diri melihat keluar kamar, suasana depan rumah terlihat sangat sepi. Bahkan di pos kamling tak terlihat satupun orang yang berjaga, ia mengingat ucapan pak Wignyo tadi siang, bapak kepala desa memang meminta agar tak ada satupun warga yang berkeliaran di luar rumah pada malam hari, setidaknya sampai jelas kasus hilangnya kakek Qosim. 

Nara hendak kembali tidur, saat membalikkan badan ia dikejutkan oleh suara jeritan wanita dari arah hutan. Nara segera berlari menuju ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Nara mencoba merapal segala doa yang diketahuinya, ia sangat ketakutan, dan memaksa matanya untuk kembali terpejam. 

Terpopuler

Comments

kang'3ncum 🥰

kang'3ncum 🥰

misteri yang menegangkan

2024-05-02

1

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Benar2 msh misteri,,

2024-04-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!