“Ya Allah, niatku menolong Echa, murni, beneran tulus. Namun bukan berarti, aku mau menikahinya apa pun alasannya! Aku punya Hasna, selain nasib hubungan baik keluarga kami yang juga dipertaruhkan!” batin Rain.
Rain memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Ia melakukannya pelan, sambil menahan napas, sekaligus deg-degan. Tangan kanannya yang gemetaran juga berangsur bergerak. Niatnya, Rain akan menarik ekor ulat di sebelahnya. Namun, ular tersebut mendak layaknya lompat.
“Aaaaa!”
“Aduuuh ....”
“Anj-ing, sakit banget!”
Lega. Rain yang tak merasa mengucapkan apa yang terdengar tadi, mendadak boros dalam bernapas. Hingga aroma koto-ran ayam di sana, membuat Rain nyaris muntah-muntah.
“Astagfirullah ... alhamdullilah akhirnya doaku dijabah!” batin Rain yang perlahan mengintip dari bilik kandang ayam ia bersembunyi.
Rain dapati, Adul yang dipatok ular beberapa kali. Padahal, Adul sudah guling-guling di tanah sekitar yang terbilang basah. Namun, ular itu terus menye-ang Adul.
“Bah, ... tolong, Bah!” teriak Adul kesakitan.
“Coba, abah dukun berani nolong, enggak? Dia sakti, kan? Harusnya punya banyak stok nyawa!” batin Rain.
Namun, pak Dartam juga sibuk kebingungan. Pak Dartam tak langsung melakukan tindakan, dan justru mondar-mandir ragu tak berani mendekati Adul.
“B—ah ...,” mohon Adul yang kali ini merintih. Suaranya tak seheboh sebelumnya.
“Bahaya ini ... moga saja tuh ular enggak punya komplotan. Ngeri,” batin Rain yang sebenarnya merasa sangat takut kepada ular. Lebih takut dari dikejar pak Dartam dan juga Adul.
Ular kobranya masih ada di dekat Adul. Sementara pak Dartam baru saja mengambil bilah kayu. Pak Dartam menggunakan bilah kayu tersebut untuk mengusir ular. Namun, ular tersebut melakukan perlawanan.
“Ularnya tahu mana orang yang dakjal!” batin Rain buru-buru melanjutkan pelariannya ketika pak Dartam lari ke depan sambil sibuk meminta tolong.
“T—olong! T—tolong, Adul dipatok ular!” heboh pak Dartam.
“Haduh ... banyak orang. Jangan-jangan habis ini aku ketahuan! Aku harus cari jalan lain!” Tak mau kembali ketahuan apalagi tertangkap, Rain nekat ke pesawahan.
Rain tertatih melewati setiap pematang sawah. Tidak memakai alas kaki, dan benar-benar hanya memakai sarung, Rain yang akhirnya bisa melarikan diri, menangis tersesu-sedu.
“Walau aku enggak tahu sekarang, aku sedang di mana. Meski aku enggak tahu, berapa jauh lagi aku harus melangkah, seenggaknya aku sudah terbebas dari orang dakjal seperti Echa dan komplotan!” batin Rain masih berlinang air mata.
Rain yang sudah melangkah sangat jauh dari pemukiman, berangsur menghentikan langkahnya. Malam yang sunyi berteman suara kodok dan jangkrik bersaksi, mengenai kelegaan Rain. Rain mengawasi suasana malam di sana yang benar-benar damai. Hamparan sawah di sana baru ditanami. Akan tetapi, keindahan alam tersebut justru membuatnya teringat Hasna calon istrinya.
“S—sayang, ... maaf banget, ya!” batin Rain.
“Sekarang, hal yang harus langsung aku lakukan hanyalah menghubungi keluargaku!”
“Aku harus memberi Echa dan semuanya pelajaran!”
“Semuanya benar-benar harus mendapatkan balasan, tanpa terkecuali! Karena warga yang asal main kero-yok kepadaku juga harus mendapatkan balasan!”
Meski masih berlinang air mata, Rain berangsur melanjutkan langkahnya. “Capek, ... sakit, tapi akan lebih sakit lagi kalau aku hanya diam, apalagi membiarkan diriku ditangkap mereka!”
Satu jam lebih telah berlalu. Hujan angin turut menyertai langkah Rain. Selain itu, Rain juga merasa dirinya sudah melangkah sangat lama, benar-benar jauh. Namun akhirnya, Rain menemukan jalan. Memang bukan jalan raya dan di sana juga tidak ada yang lewat, tapi Rain benar-benar merasa lega.
“Alhamdullilah, ya Allah. Ini aku tinggal cari bantuan. Minimal aku cari bantuan ke RT terdekat buat hubungin Hasna ....” Tekad Rain sudah bulat. Padahal dari tampang saja, keadaannya sangat mencurigakan. Lebih mirip orang tidak warasnya, ketimbang orang warasnya.
“Sebenarnya ini daerah mana. Beneran enggak ada yang lewat, atau memang ini lokasi keramat?” pikir Rain.
Yang membuat Rain bingung, Rain bahkan tak percaya, rumah yang ia datangi justru rumah pak Dartam. Pak Dartam sungguh sudah berdiri menunggu di depan pintu. Pria itu tersenyum penuh kemenangan menatapnya. Sambil berlindung di bawah payung hitam, pak Dartam melangkah mendekat.
Awalnya, Rain hanya melihat pak Dartam sebagai satu-satunya yang ada di sana. Namun lama-lama, ada banyak sosok di sekeliling pak Dartam. Dari yang kerdil berwajah tua, hingga yang tingginya melebihi rumah pak Dartam.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji'un! Ini beneran enggak bener!” batin Rain yang kemudian tak bisa berkata-kata. Padahal, pak Dartam sudah memboyong pasukan seramnya, makin dekat dengan Rain.
“Rain ... balasan ke mereka bukan dengan tinju apalagi penjara. Pembalasan ke mereka benar-benar hanya jalur langit!” Hati kecil Rain menasihati, dan Rain benar-benar tidak takut.
Rain sudah langsung khusyu dalam berdoa. Anehnya, hujan yang awalnya mengguyur disertai angin terbilang kencang, perlahan usai. Bersamaan dengan itu, tatapan Rain juga fokus kepada kedua mata pak Dartam.
Pak Dartam yang awalnya tersenyum penuh kemanangan, perlahan menjadi kebingungan. Pak Dartam bahkan mulai panik ketika satu persatu dari mereka yang mengawalnya, perlahan hilang.
Ketika akhirnya mereka yang mengawal pak Dartam tak tersisa. Rain segera maju, kemudian nekat membogem wajah pak Dartam.
“Aaaa!” Pak Dartam langsung kesakitan. Napasnya pun sudah langsung sesak hanya karena bogem Rain.
“Orang-orang seperti abah dukun ini ... beneran bikin gemes, pengin cubit ginjalnya pakai tang panas!” batin Rain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Nuryanti Yanti
lhooo tiwas kabur...GK taunya balik lagi/Facepalm/
2024-05-07
0
Bulan Bintang
merinding 😂
2024-02-18
0
bibuk duo nan
cubit ginjal gimana caranya rain😁😁
2024-02-05
0