“Aku mandi dulu?” lembut Rain, tapi tetap tidak mendapat balasan.
Kendati demikian, Rain tetap berinisiatif mandi sebelum kembali mendekati sang istri. Meski kenyataan Hasna yang buru-buru memunggunginya, mulai membuat Rain curiga.
Kedua tangan Rain tak lagi sibuk mengeringkan kepalanya. Sementara kedua matanya yang sudah mengawasi sang istri, menjadi menerka-nerka.
“S—sayang, kamu marah ke aku?” ucap Rain sengaja nyempil di hadapan Hasna.
Karena Hasna terus menghindarinya, Rain sengaja mengungkung tubuh Hasna. Ia menci-umi wajah Hasna.
“Jangan pegang-pegang apalagi ci-um, kalau kamu belum sadar kesalahan kamu apa,” ucap Hasna buru-buru merangkak ke sebelah. Kemudian, Hasna juga buru-buru menutup tuntas tubuhnya menggunakan selimut.
“Ih serius, kamu marah ke aku?” ucap Rain langsung lemas.
Untuk beberapa saat, Rain terdiam. Rain merenung serius, mencoba mencari kesalahannya. Hanya saja, Rain merasa tidak ada yang salah.
“Kamu marah karena aku telat masuk kamar?” sergah Rain sembari merangkak menghampiri Hasna.
Di dalam selimut, Hasna yang tidak tidur karena kedua matanya saja masih terjadi, menjadi berderai air mata.
“Tadi aku sengaja tunggu semuanya pulang. Kan enggak enak karena biar bagaimanapun, kita tuan rumah. Sementara papa mama kita pasti capek. Dan kamu pun aku tahu, capek juga. Masa iya, aku langsung ke kamar, sementara tamu undangan belum pada pulang?” ucap Rain berusaha menjelaskan.
“Duh, ... masih enggak sadar juga,” batin Hasna benar-benar sebal.
“Sayang, ....” Rain masih usaha. Ia kembali mengungkung tubuh Hasna. “Aku tahu kamu belum tidur. Aku minta maaf,” mohon Rain. “Ini tubuhnya jangan digulung begini mirip bungkusan pepes dong. Hei ....” Rain berangsur mendekap tubuh Hasna. Tubuh yang masih terbungkus selimut itu, terasa sangat kaku. Selain, Hasna yang tetap menolak ia peluk.
“Sekarang aku mau bilang ke kamu, kamu wajib biarin aku peluk-peluk, termasuk sayang-sayang sama laki-laki lain!” tegas Hasna yang memberontak keluar dari dekapan Rain.
Setelah menatap kesal Rain tanpa menghapus air matanya, Hasna berkata, “Yang namanya kebiasaan itu enggak bisa hilang. Sementara kebiasaan buru-k ibarat penyakit!”
Hasna tak butuh tanggapan Rain. Ia masuk kamar mandi, kemudian mengurung diri di sana. Fatalnya, Rain masih belum menyadari kesalahannya. Namun, kenyataan Hasna yang sampai menangis, benar-benar membuatnya merasa bersalah.
“S—sayang, jangan gitu dong. Aku minta maaf. Iya, aku salah. Tapi jangan begini,” ucap Rain sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.
“Dia bahkan tetap belum menyadari kesalahannya. Hmmm ....” Hasna menatap sedih pantulan bayangan wajahnya di cermin wastafel yang ada di hadapannya.
“Enggak enaknya kalau sudah menikah, apa-apa harus tetap dipertahankan,” batin Hasna seiring ia yang duduk di lantai. Ia menekuk kedua lututnya di tengah tatapannya yang kosong. Baru ia sadari, ia tengah merasakan apa itu arti pernikahan. Bahwa setelah seseorang menikah, mereka tak lagi bisa pilih-pilih pasangan. Ikatan pernikahan membuat seseorang wajib mempertahankan pasangan yang sudah dipilih.
“Sayang ....”
Dari luar, suara Rain masih terdengar. Jujur, itu makin membuat Hasna kesal.
“Tapi sepertinya, mas Rain tetap enggak akan paham, selagi aku tetap belum menjelaskan sejelas-jelasnya!” pikir Hasna yang kemudian berpikir untuk mengakhirinya. Toh, andai ia tetap bertahan mendiamkan Rain, selain Rain yang ia yakini tetap tidak akan paham mengenai kesalahannya. Hasna juga yakin bahwa saling diam hanya membuat keadaan makin buru-k.
Namun sebelum itu, Hasna sengaja membasuh wajahnya terlebih dahulu.
Sekitar lima menit kemudian, dibukanya pintu kamar mandi, dan itu oleh Hasna, membuat Rain mengembuskan napas lega.
“Aku enggak suka ya, kamu dekat-dekat, sentuh-sentuh, sayang-sayangan sama wanita lain. Meski itu kerabat kita. Karena dengan saudara saja, semuanya tetap ada batasnya. SUMPAH DEMI APA PUN, LIHAT KAMU PELUK-PELUK, MANJA-MANJA HYERA, ... AKU MERASA JI-JIK!” tegas Hasna, benar-benar tegas melebihi ketegasan seorang laki-laki.
“Aku harus mengatakan ini. Karena selain itu beneran bukan prinsipku, apa yang kamu lakukan dan sudah langsung bikin aku j-ijik, juga akan tetap tidak dibenarkan. Dosa, dan dosa itu tetap berdampak ke kita!” lanjut Hasna.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, ... Sayang. Kok kamu mikirnya sejauh itu? Kita kan sama-sama sudah kenal,” jelas Rain.
“Dari status saja jelas bukan mahram,” tegas Hasna. “Apa susahnya sih, belajar buat jadi lebih baik? Apa salahnya belajar menaati peraturan. Seberat itu, menjaga perasaan pasangan?”
“Meski terkesan sepele, ... bahkan bisa jadi aku juga sampai dianggap leba-i, bayangkan kalau itu juga terjadi padaku dan laki-laki lain.”
“Kalau belum menikah sih enggak apa-apa. Ya terserah kamu sih. Sekarang aku tanya sama kamu, bisa jalani prinsip aku enggak? Menghindari kebiasaan yang bisa jadi penyakit? Kalau enggak ya enggak apa-apa. Berarti memang enggak bisa.” Hasna sempat tak bisa melanjutkan ucapannya hanya karena pelukan dadakan yang dilakukan oleh Rain.
“Enggak usah peluk-peluk, kalau kamu saja belum tahu kesalahan kamu!” tegas Hasna sama sekali tidak membalas pelukan suaminya.
“Iya ... iya, aku salah. Aku sudah tahu kesalahanku!” lembut Rain. Belum pernah ia setakut sekarang. Ia sampai deg-degan karena ternyata, kebiasaannya memeluk kerabat dekatnya, termasuk itu mereka yang memang berlawan jenis dengan dirinya, merupakan kesalahan fatal.
“Seharusnya kamu malu! Daddy kamu saja enggak pernah sengak-sengok apalagi peluk-peluk wanita lain!” lanjut Hasna lagi masih merasa sangat gondok.
Hasna terus berusaha mengakhiri dekapan Rain. Namun, Rain yang tak mau kehilangan Hasna, tak membiarkan itu terjadi. Rain tetap mendekap Hasna. Bahkan meski keputusan Rain itu membuatnya menjadi beban baru untuk Hasna.
“Sayang maafin aku. Please, ... aku janji, yang tadi itu yang terakhir.” Rain sampai berlutut kepada Hasna yang sudah duduk di bibir tempat tidur.
Hasna masih bersedekap, masih bertahan dengan kekesalannya.
“Sumpah! Kamu boleh hukum aku karena aku memang salah. Namun tolong, ... tolong maafin aku,” mohon Rain.
Hasna mengangguk-angguk tanpa kembali menatap Rain. Padahal, tanggapannya itu sukses membuat Rain tersenyum bahagia.
“Aku mau tidur bentar. Habis itu kita shalat malam. Namun Mas jangan berharap malam ini kita bisa melakukan hubun-gan suami istri. Sementara buat aku, naikin mood sangat susah,” ucap Hasna.
“Aduh ....” Rain langsung uring-uringan. Ia berakhir sibuk membenamkan wajahnya di pangkuan Hasna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Elizabeth Zulfa
laaaahhh... kn krna trbiasa peluk sana sini mski itu kerabat sndiri jdi gagal mp.. kacian bngt bang rain 😁😁
tpi plajaran jga sih buat para suami gak hnya didunia halu aja tpi diluaran sana juga jngn suka main nemplok sana sini apa lagi sama lwan jenis, krna kamu gak bkal tau perasaan istrimu zg liat klakuanmu itu gmna.. mungkin diluar kliatan biasa aja tpi bneran asli sumpah pasti bakaln cemburu zg dipndam sendiri.. bhkn kamu puun gak sadar udah nyakitin perasaan istrimu dngn kebiasaan buruk itu.. begitupun sebaliknya buat para istri...
2024-01-12
1
Sarti Patimuan
Suka sama sikapnya Hasna yang tegas terhadap rain.Emang kebiasaan pelukan sama lawan jenis harus diubah.Bagaimanapun perasaan pasangan yang harus dijaga
2024-01-11
0
🥰
Good job Hasna,emang harus di kasih pelajaran tuh c Rain. Emang kita jadi perempuan suka serba salah sih,kalau kita lihat suami terlalu dekat dengan lawan jenis terus kita protes dikira lebai,eehh giliran kita yg cuma tegur sapa sama lawan jenis suami ngamuk.. Lah ko jadi ikutan curhat🤭
2024-01-11
0