15 : Hikmah Di Balik Musibah

Kredibilitas pak Dartam yang selama ini dikenal sebagai orang tua, atau itu dukun sakti, langsung diragukan. Bukan hanya karena videonya dan Echa yang telanjur tersebar. Namun juga karena Adul ditemukan meninggal mengenaskan.

Sebagian dari warga yang terlalu percaya ilmu hitam, yakin bahwa alasan Adul meninggal justru karena dijadikan tumbal. Tumbal kesaktian pak Dartam. Desas desus tersebut telanjur menyebar. Hingga kebo-brokan orang paling berpengaruh di desa mereka, makin tak terelakan.

Padahal, Adul meninggal karena dipatok ular dan itu beberapa kali. Hanya saja, Adul tak kunjung mendapatkan penanganan tepat. Padahal, pak Dartam selaku bapak Adul dan juga telah menangani, dikenal mampu menyembuhkan segala penyakit. Namun, Adul justru meninggal mengenaskan dan sampai tidak diketahui orang rumah.

“Kan, ... dugaanku benar. Si Adul beneran sudah pindah alam!” batin Rain.

Rain sengaja datang ke kediaman pak Dartam untuk mengurus kasu-snya. Ia tak datang sendiri. Karena kali ini, ia ditemani orang tua Hasna, lengkap dengan Hasna. Mereka datang menggunakan mobil mewah dikawal oleh empat motor mafia pak Syam.

Suasana di rumah pak Dartam tengah ramai. Bukan karena sedang untuk keperluan pengobatan maupun konsultasi kepada pak Dartam. Melainkan karena sedang mengurus persiapan penguburan Adul. Di sana masih disertai polisi juga beberapa aparat desa.

Beberapa dari mereka sudah langsung mengenali Rain. Bahkan meski penampilan Rain yang sekarang, sangat berbeda dari sebelumnya.

Rain langsung menyapa dan tampangnya benar-benar gagah. Jauh berbeda dari kebiasaannya yang akan ceplas-ceplos jika sedang nelangsa. Hasna yang digandeng saja langsung terpesona. Hasna turut menyalami mereka yang ada di sana, mengikuti apa yang Rain lakukan.

“Jika Adul saja beneran pindah alam, jangan-jangan si Amer sama Asep masih di rumah kosong itu? Ah dasar, preman payah!” batin Rain kemudian menanyakan kabar pak Dartam.

“Pak Dartam sengaja kami tahan untuk pemeriksaan lebih lanjut, Mas!” jawab salah seorang polisi di sana kepada Rain.

“Berarti ada kemungkinan, korban pele-cehan akan bertambah, ya, Pak. Maksudnya, bukan hanya yang kemarin videonya sempat viral?” ucap Rain.

“Kemungkinan tersebut juga bisa terjadi, Mas!” jawab polisi.

Rain yang masih bisa menyikapi keadaan dengan sangat tenang, berangsur mengangguk-angguk. “Baik kalau begitu, Pak. Sekalian, saya mohon izin untuk membuat liputan berita di sini, Pak. Kebetulan, sebentar lagi kru saya datang. Oh iya, sekalian perkenalnya. Begini-begini, saya putranya Kim Oh Jan Paojan. Bapak dan ibu sekalian, pasti kenal, kan?” Rain tersenyum ramah kepada semuanya.

“Begini nih, yang bikin kita wajib jadi orang hebat. Jika kita memang tidak terlahir sebagai orang kaya, setidaknya kita harus berprestasi dan punya karya. Karena hanya dengan begitu, kita akan ada harganya di mata mereka. Seperti sekarang, mata-mata mereka jadi menatapku takjub!” batin Rain.

“Ingat ya, terkenal lah karena prestasi dan karya. Bukan malah karena perbuatan terce-la. Jangan seperti yang sering viral di negara kita tercinta. Ingat neraka!” batin Rain lagi.

“Rencananya saya ingin menampung pengaduan dari beberapa korban lainnya. Meski saya juga tidak yakin karena cara abah dukun mengelabuhi mangsanya itu pakai jampi-jampi.” Rain masih berbicara panjang lebar.

“Korban selalu dicekoki dengan minuman bermantra sirep. Percaya tidak percaya, mereka yang mengalaminya dalam keadaan lemah iman, akan langsung tidur panjang. Dampaknya lebih menakjubkan dari obat biu-s.”

“Jadi jangan heran, kalau ada korban abah dukun yang mendadak hamil, padahal enggak merasa melakukan!” Rain mengakhiri ucapannya sambil mengelus-elus punggung Hasna yang ia rangkul.

“Melalui musibah yang aku alami di sini, Allah ingin aku mengusut kasus dukun cab-ul. Ya sudah, aku tuntasin semuanya sekalian balas dendam. Meski buah bu-suk akan jatuh dengan sendirinya karena itu sudah takdirnya. Setidaknya lebih baik untuk segera melakukan tindakan, sebelum buah busu-k itu membuat yang lain menjadi korban,” pikir Rain lagi.

Sekitar lima belas menit kemudian, Rain sudah langsung bersiap melakukan liputan. “Jangan sorot ke wajah calon istriku. Aku enggak mau punya banyak saingan. Karena bersaing dengan bapak dan juga kembarannya saja, sudah sangat berat!” ujar Rain yang sudah melakukan segala sesuatunya dengan cepat.

Mendengar permintaan Rain barusan, Hasna dan orang tuanya langsung sibuk menahan senyum.

Rain sendiri yang menjadi pembawa acaranya. Hal tersebut Rain lakukan agar dirinya bisa memberikan informasi sebanyak-banyaknya. Apalagi, Rain pernah menjadi korban pak Dartam.

“Beresin yang di sini dulu, baru urus Amir dan Asep. Harusnya sih mereka belum pindah alam atau setidaknya busung lapar. Kan aku sudah memenuhi mulut mereka dengan dedaunan kering buat modal menghadapi kehidupan yang kejam,” ucap Rain sambil melepas jasnya. Ia baru saja beres menjalani liputan.

Namun sepanjang Rain melakukan liputan, ponselnya terus bergetar.

“S—sayang, tadi daddy kamu telepon. Khawatir banget ke kamu, masih trauma kayaknya. Takut kamu kenapa-kenapa,” ucap Hasna sudah langsung menghampiri. Ia memberi Rain sebotol air mineral. Selain tutupnya sudah sengaja ia buka, Hasna juga sampai menaruh sedotan untuk mempermudah Rain minum.

“Iya. Ini ke aku juga WA. Mau telepon juga. Tapi aku juga sudah WA, kalau aku masih hidup!” ucap Rain sambil menerima sebotol air mineral pemberian Hasna.

“Ih Sayang, ... jangan gitu. Daddy kamu beneran khawatir. Kalau memang sudah enggak ada urusan, kita langsung ke daddy kamu saja,” ucap Hasna berusaha memberi Rain pengertian.

“Paling nanti agak sore. Soalnya habis ini, aku mau bawa polisi ke TKP buat jemput tersangka utama kasusku!” balas Rain agar Hasna paham.

“Harusnya ini tak seberat kasus Binar. Meski bagi mereka yang sampai hamil, sepertinya memang akan sulit menerima kenyataan. Buat pembelajaran sih, agar tidak gampang percaya ke iming-iming hidup damai tanpa kerja,” batin Rain.

Menggunakan mobil orang tua Hasna, Rain mendatangi rumah kosong dirinya meninggalkan Amir dan Asep. Selain para mafia yang mengawal mereka, empat orang polisi juga mengikuti.

“Semoga kasus kamu segera selesai dan dapat keadilan, yah, Mas!” batin Hasna ikut serta masuk ke rumah kosongnya. Ia sengaja menggenggam erat tangan kiri Rain menggunakan kedua tangannya.

“HAH? KALIAN BENERAN BEKUM PINDAH ALAM?” ucap Rain benar-benar syok. Karena saat sampai di kamat tengah tempat dirinya meringkus keduanya, Asep dan Amir sungguh masih ada di sana.

Keadaan Asep dan Amir masih sama persis dengan saat Rain meninggalkannya. Hanya saja, selain tampak sudah sangat lemas, keduanya juga bau. Rain bahkan semuanya yakin, Asep dan Amir terpaksa kencing maupun bab di tempat karena keadaan keduanya.

“Setelah ini, apakah mereka bisa kapok? Jujur aku enggak yakin. Karena biasanya, yang seperti mereka memang sulit tobat!” batin Rain.

“Orang-orang ini ... mereka yang nyungseb pas aku pulang dari peninjauan lokasi resepsi,” batin Hasna yang akhirnya mengenali wajah Asep maupun wajah Amir.

Keadaan Amir dan Asep memang sangat mengenaskan. Bayangkan saja, keduanya dalam keadaan seperti itu hampir satu minggu lamanya. Meski beberapa warga berdalih, absennya Asep dan Amir dari kampung mereka, membuat desa sekaligus kehidupan mereka tenteram.

“Iya, ... sepertinya ini memang hikmah dari musibah yang aku dapatkan,” pikir Rain lagi.

Rain merasa bersyukur. Bahwa di balik luka sekaligus kesedihannya, ada masalah besar di sana yang akhirnya terpecahkan. Masalah besar yang baru bisa tumbang oleh uang dan kekuasaan.

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***