Dengan logat bahasa sunda yang begitu khas, warga yang telanjur datang, memastikannya kebenarannya kepada Echa.
“Benar, Cha, laki-laki itu sudah kurang a-jar ke kamu?”
Sampai di titik ini, Rain masih cukup bisa tetap bersikap tenang. Terlebih, pada kenyataannya Rain memang tidak bersalah. Alasannya ada di sana, murni untuk menolong si wanita yang ternyata bernama Echa. Sementara kini, ia tengah difitnah.
“Eh, Cha. Berani kamu jujur kalau pelakunya kami, mati kamu!” ancam salah satu dari pelaku, dan bernama Asep.
Sampai detik ini, Asep sengaja memapah Echa. Gayanya tak ubahnya seorang pahlawan kebajikan. Meski pada kenyataannya, kelakuannya mirip dakjal. Detik itu juga, Echa sudah langsung ketakutan menatap Asep.
Sadar semua mata, termasuk tatapan Rain, sudah tertuju kepadanya, mau tak mau Echa harus memberikan jawaban. Apalagi, beberapa warga yang datang, kompak meyakinkannya.
“Enggak usah takut, Cha. Kami semua bakalan bela kamu. Kami semua bakalan lindungin kamu. Apalagi di sini, kamu jelas korban!” yakin si bapak-bapak bernama Gino, dan dari tadi paling lantang menegakkan keadilan.
Rain yang sadar waktunya bisa terbuang sia-sia, berangsur menghela napas dalam. “Ya sudah Teh, sekarang Teteh jujur saja. Kalau ada apa-apa, nanti saya bantu. Kalau sampai butuh pengacara, saya juga bisa siapkan secepatnya!”
“Eh kamu ya, ngeba-cot segampang itu!” kesal Amir, si pria yang sempat membogem Rain.
Amir yang merupakan ketua dari gengnya, dengan sangat percaya diri menyudutkan Rain. Ia berkecak pinggang, berlagak gagah seolah dirinya memang tidak bersalah. “Jelas-jelas kamu pelaku, tapi sekarang dengan enggak ngotaknya, kamu justru sok berlagak pahlawan!”
Kini, Amir kembali berusaha membogem Rain. Namun kali ini, dengan perkasa, Rain menahan kepalan tangan Amir. Menggunakan tangan kanan, Rain melakukannya di tengah kedua matanya yang menatap murka kedua mata Amir.
“Kamu habis minum?” lirih Rain kepada Amir. “Memang dasar baji-ngan!” batinnya apalagi ketika yang ia tanya sudah langsung kebingungan.
Asep yang sadar Amir dalam bahaya, segera bertindak. Ia merogoh saku sisi celana panjang levis sebelah kanannya. Sebuah belati kecil ia keluarkan dari sana. “Cha!” bisiknya sambil menekan belatinya di perut kanan Echa. “Berani kamu melawan Amir, bukan hanya kamu yang mati. Karena keluargamu pasti juga!” bisiknya.
“Jangan bo-blok kamu, Amir itu anak juragan tanah di kampung kita! Mikir kamu!” bisik Asep lagi, kali ini sengaja mengancam.
Echa yang sudah sangat deg-degan juga langsung gemetaran. Ia mengangguk-angguk, kenyataan yang juga langsung membuatnya ditatap bingung oleh Rain. Karena kebetulan, pemuda sangat tampan itu menoleh kepadanya.
Fatalnya, tidak ada yang tahu ancaman yang Asep lakukan kepada Echa. Hanya Echa yang mengetahuinya. Karena meski sebelumnya Rain sempat mendekati Echa, Asep dan kedua rekannya sengaja mendorong Rain. Agar Rain tidak dekat-dekat dengan Echa, hingga mereka bisa mengancam Echa dengan leluasa.
“Nih cewek lama-lama bikin emosi. Masa iya, urusan sepele seperti ini harus ngundang mafia bapak mertua!” sebal Rain dalam hatinya.
Rain yang awalnya masih sabar, mendadak seperti disambar petir di siang bolong. Ia menatap tak percaya Echa. Wanita yang awalnya akan ia tolong itu tersedu-sedu, mengabarkan bahwa Rain telah meno-dainya.
“Hah? Kesur-pan kamu bilang begitu?” kesal Rain hendak mendekati Echa.
Namun, cangkul pak Gino sudah terlebih dulu menghantam kepala Rain. Rain langsung terkapar lemas menahan rasa pusing luar biasa karenanya. Kedua tangannya refleks meraba kepala, dan berakhir memeganginya. Saking sakitnya, Rain yang sadar dirinya langsung dikeroy-ok, justru tak bisa merasakan apa pun.
Rain mati rasa. Suara dari warga maupun Amir dan anak buahnya, juga perlahan tak dapat Rain dengar. Semuanya telanjur menyakitkan. Pandangan Rain yang awalnya perlahan kabur, kini benar-benar gelap. Termasuk juga dengan indra pendengaran Rain yang jadi tak berfungsi.
Gelap dan sangat sunyi, Rain tak lagi mengerti mengenai apa yang terjadi.
Echa yang menyaksikan sama sekali tidak merasa bersalah. Echa memilih melarikan diri. Apalagi, Rain tak hanya tak berdaya. Sebab Rain juga terluka parah. Hampir sekujur tubuh Rain, dipenuhi darah segar. Selain itu, kedua mata Rain juga sudah seutuhnya terpejam.
Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dari Rain. Hingga warga yang melakukan aksi main ha-kim sendiri, mulai berhenti menghaki-mi.
“Sebentar, ... sebentar,” ucap pak Gino berangsur menunduk.
Belum apa-apa, Amir dan Asep, kompak saling lirik. Keduanya terdiam tegang dan perlahan melipir meninggalkan kebersamaan.
“Si pemer-kosa ini masih bernapas, tapi sudah sangat lemah. Kumaha atuh, ini?” ucap pak Gino meminta pendapat.
Setelah pak Gino pastikan, di sana sudah tidak ada Echa, Amir, maupun Asep. Karenanya, mereka menanyakan solusi kepada kedua anak buah Amir.
“Kalau tahu polisi, kita bisa dihukum atau malah diper-as, Uwa Gino!” Ucap Salman, selaku anak buahnya Amir.
Kemudian, Rozi temannya Salman dan berdiri di sebelahnya, membenarkan. “Kalau begitu kita buang saja dia ke sungai. Asal ini enggak bocor, harusnya aman!” yakinnya.
Setelah mengawasi penampilan Rain, Rozi menyadari bahwa Rain bukan orang sembarangan. “Tampangnya orang kaya ini mah. Wajib diperiksa atuh, setiap sakunya. Sekalian jaket sama bajunya juga mani bagus gitu!” batinnya.
Karenanya, Rozi sengaja mengajak Salman untuk memboyong Rain ke sungai di sebelah. Di sana, ada jembatan dan sungainya berarus sangat deras. Sesuai rencana, keduanya sengaja membuang tubuh Rain. Disaksikan warga, Rozi yang sudah mengantongi ponsel Rain, sengaja menela-njangi Rain.
“Biar jadi mayat tanpa identitas. Ini bisa kita makin aman!” yakin Rozi. Padahal, alasannya melakukannya ia memang ingin memiliki pakaian Rain. Termasuk, celana dal-am Rain, Rozi juga sampai mengambilnya.
Disaksikan semuanya, tubuh Rain yang mereka anggap samp-ah, dibuang ke sungai berarus deras. Di lokasi tersebut dan terbilang pelosok, mereka yakin, Rain akan berakhir menjadi mayat tanpa identitas. Atau malah, menjadi santapan ikan dan binata-ng bua-s.
Di tempat berbeda, Hasna menatap bingung dompet dan beberapa barang Rain yang ada di dalam tasnya.
“Si sayang kebiasaan. Dompet, kacamata, semuanya di sini,” batin Hasna mendadak tersentak lantaran sang sopir mengerem mendadak.
“Astaghfirullah, Pak. Bapak enggak apa-apa, kan? Kenapa Bapak mengerem mendadak?” lembut Hasna seiring ia yang berusaha berdiri. Barang-barang Rain keluar dari dalam tasnya, setelah ia menjatuhkan tasnya akibat sang sopir mengerem mendadak.
Padahal, alasan sopir Hasna mengerem mendadak karena ada motor mendadak tergelincir dari atas. Motor tersebut dikendarai oleh Asep yang membonceng Amir. Keduanya terluka parah karena motornya saja sampai ringsek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Nartadi Yana
karma dibayar total habis perkosa dan fitnah langsung kecelekaan nggak sekalian jadi cacat tu Amir end the genk
2024-12-22
0
Ida Ulfiana
emng habis ngapain kok terluka parah
2024-06-04
2
bibuk duo nan
karma langsung dibayar tunai
2024-02-05
1