Sosok nenek buruk rupa itu pun tiba-tiba berubah kembali menjadi seorang gadis belia seusiaku.
“To-tolong… “ Ia menjuntaikan tangannya ke arahku, seakan hendak meraihku dengan jari jemari lentiknya.
Kami pun semakin dekat dan Monah muda itu membelai pipiku. Se-per sekian detik rasanya sentuhan itu berubah menjadi sentuhan ujung jari nenek buruk rupa, lalu kembali menjadi sentuhan seorang gadis dan kembali menjadi sentuhan nenek lalu kembali menjadi sentuhan seorang gadis.
“Kakak haus dan lapar? Makanlah kue bolu buatanku ini Kak,” ucap Monah muda.
Ia menyodorkanku sepotong kue bolu, menyuapiku langsung dengan tangannya.
KRUS… KRUS… KRUS…
Aku mengunyahnya. Ada rasa yang aneh pada kue bolu itu. Rasanya seperti begitu anyir.
Yaik! Apa yang telah kumakan?!
Gadis itu berubah menjadi nenek buruk rupa dan ia tertawa dengan tawa yang mengerikan.
“HAHAHAHAHA…”
Aku pun segera memuntahkan sesuatu yang ia jejalkan ke dalam mulutku itu. Itu adalah sepotong daging mentah dengan bersimbah darah. Mulutku hingga pipiku dipenuhi darah yang berceceran.
Aku merasa begitu mual. “Wueeeg…”
“Tolong aku Etek…” Suara belia seorang gadis muda kembali terngiang, tapi suara itu dihimpit oleh tawa mengerikan nenek buruk rupa. “HAHAHAHAHA…”
Ini adalah ilusi! Nenek buruk rupa ini baru saja hendak mempengaruhiku, ia menipuku dengan menjejalkan ilusi aneh. Ia kira aku akan bersimpati padanya?
Dengan rasa gemetar yang teramat dahsyat aku pun mencoba menggerakkan kakiku untuk mundur, menghindar dari dirinya.
Aku mundur lalu berbalik secepat yang kubisa. Aku tak menoleh kembali pada apa yang menakutiku di balik punggungku itu. Aku menuju keluar pintu.
Namun apa yang terjadi, ketika aku tiba di pintu gang menganga lebar itu sosok nenek buruk rupa itu muncul di hadapanku. Ia mencegatku dalam keadaan melayang.
Tubuhnya yang busuk mengeluarkan lendir kehitaman dari balik pakaiannya yang lusuh. Lendir-lendir kental seperti lumpur itu menetes-netes jatuh melalui kakinya kemudian ke ujung-ujung jemari kakinya yang melayang membasahi tanah di bawahnya.
Aku terperanjat lalu jatuh terduduk ke belakang. Aku tak berdaya. Aku ketakutan dan menangis menatap apa yang ada di atasku. Ia terus mendekat seolah ingin menerkamku dengan senyumnya yang mengerikan.
Ia menjulurkan kedua tangan keriputnya, mengarahkan semua kuku-kuku panjang tajamnya ke arahku. Ia hendak mencekikku.
Aku tak paham apa yang terjadi. Kurasa tubuhku telah dikuasainya. Aku tak dapat mengendalikan tubuhku lagi. Kepalaku mendongak ke langit-langit ruangan dan mataku serasa kabur.
Kurasa aku baru saja kehilangan pupil mataku sehingga yang tersisa dari kedua mataku ini hanya retina putihnya saja. Jantungku terasa terbakar, aku pun menganga lebar menahan kesakitan ini.
Di saat aku menganga lebar, wajahku pun menjelma nenek buruk rupa itu. Gigi-gigi tajam menganga, liur kental kehitaman menetes, dan pembukaan rahang yang begitu lebar.
Segala gerak-gerikku adalah atas penguasaannya. Aku bangkit dan berjalan tegak. Kepalaku miring dengan raut wajah seperti binatang buas yang mengancam musuhnya, mendengus-dengus dengan amarah yang begitu geram.
Kedua tanganku terasa kejang. Aku mencoba menguasai diriku, tapi aku tak berdaya. Kedua tangan itu bengkok ke belakang sambil membuka dan menutup dengan urat yang tegang maksimal.
Demikian pula dengan langkah kakiku. Aku merasa keduanya bergerak sambil terseret-seret kaku. Aku bergerak seperti sesosok mayat hidup mengerikan.
Aku menangkap keinginan hati nenek buruk rupa ini. Ia ingin menuntut balas kepada Kakek Kalajorang. Sosok tua itu ada di dalam diriku dengan amarah yang membakar seluruh aliran di pembuluh darahku.
“HAHAHAHA…” Dengan kekuatan yang seolah baru diperolehnya, Nek Monah membawaku terbang hinggap dari satu dahan ke dahan lain di ketinggian kanopi pohon.
“Aku mohon lepaskan aku…” ucapku dalam hati.
Rengekanku tak mengubah apapun. Ia bergerak melesat tanpa ampun.
Sekian lama berada di lingkungan dengan pengaruh gaib yang begitu besar, tubuh manusia Nek Monah terkikis oleh kekuatan antara dua alam itu. Kini ia hanyalah sosok entitas yang terombang-ambing oleh keduanya. Ia membutuhkan wadah baru untuk melancarkan aksinya.
Aku melihat seseorang di bawah kanopi. Aku tidak yakin itu manusia atau salah satu penghuni dunia gaib. Tubuhku atas kuasa Nek Monah pun turun dan mendekatinya.
Ia memberikan teror mengerikan pada orang tersebut. Tidak hanya satu orang, ternyata seorang wanita itu tengah menggendong balitanya yang diikatkan dengan sebuah kain panjang di punggungnya.
Ternyata itu adalah seorang wanita yang sedang mengais-ngais tanah dengan perkakas sederhananya untuk mencari umbi-umbian hutan.
Tubuhku membunuh wanita itu. Aku menjambak rambutnya hingga sebagiannya terlepas dari kulit kepalanya. Aku punya kekuatan untuk menolak kedua tangan wanita itu yang mencoba menahan seranganku.
Aku merobek lehernya dengan gigi-gigiku, hingga darah bermuncratan dari sana. Darah segar itu mengalir deras keluar membuat dirinya kehilangan nyawa.
Adegan mengerikan itu disaksikan oleh balita mungil yang terjatuh di tanah. Ia terus menangis memecah keheningan hutan itu.
Aku bisa menebak yang akan dilakukan Nek Monah. Pasti ia ingin membunuh anak kecil ini juga kemudian memakannya seperti yang tadi aku saksikan di gubuk reot itu.
Aku benar-benar tak menginginkannya. Sekuat apapun aku mencoba menolak penguasaan Nek Monah atas tubuhku, tetap saja upayaku sia-sia. Aku terjebak dalam ruang sempit di tubuhku sendiri, tak bisa kemana-mana, tak bisa berbuat apapun. Aku kesurupan dan menjadi gila.
Tubuhku pun mengangkat tubuh balita itu tinggi-tinggi dengan memegang sebelah kakinya. Ia pun menggantung terbalik sambil terus menangis terjerit-jerit.
Dari berbagai penjuru lalu hadir orang-orang yang mungkin adalah para kerabat atau keluarga wanita yang telah meninggal dunia itu.
“HOY IBLIS PEREMPUAN SIALAN, HENTIKAN!” teriak salah satu di antaranya.
Mereka semua menunjukkan senjata mereka yang berupa golok yang diacung-acungkan kepadaku.
Aku pun kembali melayang ke kanopi pohon. Tentu saja sambil membawa balita yang masih terus menangis meraung-raung ini.
“HAHAHA…” Tawaku menjadi sangat mengerikan. Aku bergelayutan di kanopi pohon.
Lama kelamaan aku pun menjadi tontonan banyak pasang mata. Mereka di bawah sana meneriakiku, memekikkan sumpah serapah mereka. Ada pula yang menangis-nangis ingin agar balita ini dikembalikan.
Aku pun duduk di sebuah dahan. Aku memelintir leher balita ini sehingga ia tak lagi bernyawa.
Seperti memelintir paha hewan buruan yang telah dimasak hingga bagian tubuh itu putus, demikian pula yang kulakukan terhadap balita ini.
KRUS… KRUS… KRUS…
Aku merasakan gigi-gigiku mengoyak dan mengunyah daging berlumuran darah itu. Aku terus, terus dan terus menyantapnya. Bukan aku yang melakukannya, melainkan Nek Monah yang sedang menguasai tubuhku ini.
Beberapa orang telah berupaya memanjat pohon tempat aku duduk. Mereka ingin menangkapku tapi usaha mereka sia-sia. Sebab aku dapat dengan mudahnya berpindah-pindah.
Aku tengah bermain-main dengan kepala balita ini. Aku memegang rambutnya sehingga kepala ini bergoyang-goyang menggantung. Aku cekikikan karena terhibur dengan apa yang sedang aku lakukan.
Tiba-tiba aku menangkap sebuah pemandangan dari bawah sana. Di antara warga desa yang sedang berkerumun, terdapat sesosok lelaki gagah baru saja hadir.
Pakaian mereka sepintas mirip, kehadirannya begitu membaur, tapi aku bisa membedakan orang tersebut dengan yang lain. Jelas lelaki ini bukan bagian dari orang-orang desa tersebut.
Ia adalah Panglima Peturun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
kak othor ini ada revisi kah? sebelumnya yang aku baca nek monah dibebaskan dari kutukan oleh Nurmala dgn sisik ular 🐍, pas baca lagi eeh Nurmala kesurupan 😱😱
gag jadi tamat, masih lanjut yaa?
2024-01-23
1
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Akhirnya Nurmala bisa mengakhiri kutukan 🤗
2024-01-16
0
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
wow benarkah kutukannya sudah lenyap? semoga Monah benar2 sadar dan melupakan Pangeran Peturun..
2024-01-16
2