Dengan segera Monah membuyarkan kedua mata yang saling beradu pandang itu. Zainal terlihat kikuk sedangkan Monah terlihat merasa tidak enak hati.
“Emh, bagaimana kalau sekarang kita lanjut mencari anggrek hutannya?” ajak Zainal.
“Oh iya dong. Harus cepat ini. Ayo!” jawab Monah.
Setelah melakukan perjalanan dan memperhatikan satu per satu pohon yang jadi dugaan menjadi inang anggrek hutan itu, akhirnya mereka pun menemukannya.
“Mon… Mon… Lihat di sana!” ucap Zainal sambil menunjuk ke atas, bagian batang bercabang pada pohon yang besar di hadapannya.
“I-itu?” Monah terlihat sumringah dan sangat bersemangat.
“Lalu bagaimana kita mengambilnya? Kita butuh galah kan?”
“Tidak perlu Monah. Aku yang akan memanjatnya,” jawab Zainal.
Setelah berhasil mendapatkan bunga itu segenap akarnya, mereka pun bersiap untuk pulang. Waktu masih menunjukkan pukul tiga, tapi mendadak cuaca mendung membuat suasana gelap.
“Mau hujan Mon! Kita harus bergegas!” ucap Zainal sambil menarik tangan Monah untuk berlari mengikutinya.
Angin kencang di atas membuat kanopi pohon bergoyang, ranting-ranting berderak seram seperti suara cakaran-cakaran kuku penyihir.
GERRRRR…
Terdengar suara geraman hewan buas. “Zain! Kamu dengar itu? Apa di sini ada beruang, macan, atau…” rengek Monah.
“Sudah kubilang jangan berpikir macam-macam. Kadang suara angin lembah ketika badai pun suaranya seperti itu,” jawab Zainal.
Karena hujan mulai turun dengan sangat deras, Zainal pun mengajak Monah berlari ke arah lain berbelok dari jalur yang tadi mereka lewati. Mereka berteduh di bawah akar pohon raksasa yang berbentuk lubang seperti goa.
Suasana mendadak gelap sekali seperti selepas senja. Pakaian mereka sudah sedikit basah karena terkena hujan. Monah dan Zainal pun menunggu hujan reda di tempat itu.
Semakin ditunggu badai semakin kencang, seperti tidak ada tanda-tanda akan reda. Hutan begitu mencekam seperti tengah mengamuk. Monah dengan pakaian yang lembap mulai gemetaran. Udara dingin semakin menggigit.
“Zain, apa tidak masalah kalau kita membawa pergi bunga ini dari sini?” tanya Monah dengan suara gigi yang saling beradu karena tak kuasa menahan gigil di sekujur tubuhnya.
“Kamu kedinginan Mon, mari sini kuhangatkan.” Zain segera mendekap Monah dengan erat dan menggosok-gosok punggung gadis itu.
“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Bukankah sebelumnya tidak ada yang kamu pikirkan selain bagaimana cara agar bunga itu bisa kamu dapatkan?” lanjut Zainal.
“Iya, aku tak memikirkan akibat dari ambisiku. Dan sekarang kurasa hutan ini sedang marah karena perhiasannya telah kita curi,” ungkap Monah dalam dekapan Zainal.
Di luar sana terdengar suara-suara yang mengerikan dalam redam hujan. Seperti ada geraman hewan buas, jeritan, lolongan, semua bercampur padu sehingga tidak terlalu jelas.
“Hutan itu tidak seperti manusia yang bisa marah seperti kamu bayangkan Monah. Ini hanya perubahan cuaca biasa. Kamu belum terbiasa dengan hal seperti ini karena kondisinya berbeda dengan perkotaan,” jelas Zainal.
“Tapi, Zain… Bapak ojek tadi bilang kalau tempat ini keramat,” balas Monah lagi.
“Ssssst…” Zainal menutup bibir Monah dengan telunjuknya sambil menggeleng. “Jangan… pikirkan… hal… yang aneh-aneh…” lanjutnya.
Sentuhan bibir di permukaan jari Zainal membuat darah di tubuhnya berdesir lebih kencang. Begitu lembut, sensasi yang tak biasa kali ini baginya. Perlahan wajahnya pun mendekati wajah Monah.
Monah seakan terhipnotis dengan suasana, di mana tubuhnya didekap hangat oleh Zainal dan akhirnya sebuh kecupan mendarat di bibirnya.
Keduanya pun saling berpandangan. Zainal hendak mengulanginya sekali lagi. Namun, Monah menolak. Dilepaskannya dekapan Zainal dan ia sedikit menjauh.
“Ini salah, Zain! Ini tidak boleh!” ucap Monah.
“Monah, sebenarnya sudah sejak lama aku menaruh perasaan terhadapmu. Aku sayang sama kamu,” ungkap Zainal.
“Tidak, Zain. Kita hanya sahabat biasa. Tidak ada yang terjadi pada kita berdua, tidak ada,” jawab Monah.
“Apa kamu tidak punya perasaan yang sama terhadapku Monah? Bukankah kita sudah lama bersama? Tidak adakah…”
Monah menggeleng.
“Tidak mungkin,” lanjut Zainal.
“Aku yakin kamu berbohong. Pasti kamu punya perasaan yang sama, walaupun sedikit.” Zainal memaksa untuk mendekap kembali tubuh Monah. Wajahnya ia luncurkan secara kasar. Zainal memaksa Monah untuk melakukan percintaan tapi Monah menolak dengan sekuat tenaga.
Mereka berdua akhirnya keluar dari persembunyian mereka. Mereka berdua kembali sama-sama diguyur hujan.
“Kita hanya teman Zain!”
“Tidak mungkin!”
Keduanya cekcok di bawah guyuran hujan. Suara mereka tinggikan demi untuk mengalahkan suara hujan yang bising karena badai.
Zainal memaksa untuk memegang kedua lengan Monah tapi gadis itu meronta agar lepas dari cengkraman Zainal.
“Aku mohon lepaskan! Lepaskan Zain!” Monah marah dengan nada suara merengek dan tangis yang tumpah di antara hujan yang membasahi pipinya.
Tiba-tiba saja seseorang datang dengan gerakan secepat kilat. Tahu-tahu orang asing itu berada di antara Monah dan Zainal untuk memisahkan mereka.
Zainal yang ternyata menguasai gerakan beladiri pun akhirnya berkelahi dengan orang asing itu. Dari pakaiannya orang asing itu nampaknya adalah penduduk asli desa sekitar hutan ini. Pakaiannya sangat kuno.
Ia adalah lelaki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, menggunakan kain sebagai ikat kepala, rambutnya panjang terurai sampai dadanya, pakaiannya seperti khas minang atau melayu. Wajahnya tampan terlihat berwibawa dan tentu saja ahli beladiri.
Monah menunggu di muka lubang pohon tadi, sementara kedua laki-laki itu berkelahi. Hujan badai menyamarkan pembicaraan di antara keduanya.
“Dasar maling! Selain mencuri kau juga berani-beraninya melakukan perbuatan tak senonoh di sini! Hendak merenggut kesucian seorang gadis!” bentak lelaki asing itu.
“HIYAAAAAT…”
BUG BUG BUG
“Jangan sok tahu! Dia itu kekasihku! Dan kami datang ke sini atas kemauan bersama!” jawab Zainal.
“HAAAAAAIT…”
PAAK BUUG
“Kau pikir aku bodoh? Ini daerah kekuasaanku! Aku tahu betul, aku bisa merasakan kemarahan alam ini!” balas lelaki asing itu.
Perkelahian itu membuat Zainal oleng. Lelaki asing itu lebih kuat darinya. Namun, tiba-tiba dari arah lain datanglah sesosok makhluk bersayap. Perawakannya kurus, kepalanya terlihat besar karena dominan terlihat bentuk tengkoraknya yang tanpa rambut. Wajahnya sangat mengerikan, matanya besar dan tampak lebih dekat berbeda dengan jarak mata pada manusia, hidungnya rata dan mulutnya lebar dengan gigi tajam yang dipamerkannya saat menganga.
Makhluk itu menyambar orang yang paling lemah di antara mereka berdua. Zainal pun dibawa pergi. Monah yang menangis karena syok melihat makhluk bersayap itu jatuh berlulut lemas. Ia berteriak memanggil-manggil Zainal. Namun, suaranya masih kalah dengan suara hujan.
“ZAAAAIN…” Monah mengisak.
“Sudah, tenang, tenang,” ucap lelaki asing itu sambil menepuk-nepuk bahu Monah.
“Bagaimanapun dia adalah temanku Bang,” rengek Monah.
“Rimba telah menunjukkan kuasanya. Hukum sebab akibat berlaku di sini Dik. Yang bersalah akan dihukum, dan dia telah menerima ganjarannya,” ungkap lelaki asing itu.
Tak lama cuaca yang mencekam itu perlahan sirna. Hujan badai mereda, hanya tinggal tersisa dingin dan suasana berawan.
Lelaki asing itu pun menawarkan diri untuk mengantar Monah pulang dan Monah pun mengiyakannya.
Sepanjang perjalanan lelaki asing itu mengajak Monah bicara, tapi gadis itu masih syok sehingga selalu murung dan enggan berkata-kata.
Lelaki itu mengenalkan diri sebagai Rustam. Tidak banyak yang diceritakannya tentang dirinya dan kehidupan pribadinya. Rustam tampak berusaha menghibur Monah. Monah pun merasa nyaman. Ia merasa Rustam adalah orang baik.
Sebagai orang dewasa yang memiliki kekuatan yang lebih besar, Rustam punya kesempatan untuk menodai Monah seperti Zainal tadi, tapi hal itu tak terjadi. Rustam justru benar-benar menjaga Monah dengan sangat baik.
Mereka berdua naik angkutan dan tampak Rustam melindungi Monah yang pakaiannya lembab itu. Bagian dadanya sedikit terlihat menerawang dan Rustam melepas kain ikat kepalanya, melebarkannya dan menjadikannya sebagai penutup tubuh atas Monah.
Monah juga merasa risih apabila ada orang yang memandang wajahnya, jadi Rustam membantu Monah untuk menghalangi pandangan orang kepada dirinya, khususnya wajahnya. Rustam merangkul kepala Monah tanpa kesan kurang ajar. Lama-lama tatapan mata Monah terlihat simpati kepada Rustam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Siapa sebenarnya Rustam 🤔
2023-12-30
0