Perjodohan

Sebagai anak perempuan dengan budaya yang memposisikan dirinya harus selalu berada di lingkungan rumah dengan pantauan (dipingit), membuat Monah merencanakan keberangkatannya ke Pulau Jawa secara diam-diam.

Monah bisa saja mengambil langkah dengan terlebih dahulu melakukan tawar menawar dengan orang tuanya perihal keberangkatannya ke pulau seberang yang jauh, seperti bibinya, Etek Revi. Namun, Monah tahu betul hal itu akan berujung sia-sia.

Dengan adanya kejadian yang menggegerkan lingkungan keluarganya bulan lalu, hal yang pasti terjadi adalah Monah tidak mungkin diperbolehkan untuk pergi ke luar daerah manapun tanpa ada kepentingan orangtuanya di sana.

Monah pun berselancar menggunakan internet. Dari usahanya itu ia mendapatkan kontak panitia yang mengadakan open trip pendakian bersama ke tempat tujuannya, Gunung Merapi. Pendakian akan dilakukan dua pekan mendatang dengan titik kumpul berlokasi di Jakarta. Monah pun melakukan registrasi dengan memalsukan beberapa dokumen perizinan.

Monah lalu merencanakan perjalanannya yang seorang diri itu dengan menggunakan pesawat dari Bandar Udara Internasional Minangkabau ke Bandar Udara Internasional Halim Perdana Kusuma dengan transit terlebih dahulu di Medan. Setelah sampai di Jakarta nanti ia akan berkumpul dengan rombongan dan melanjutkan perjalanan bersama mereka.

Untungnya Monah berasal dari kalangan orang berada. Monah punya tabungan yang cukup untuk membiayai kepergiannya. Ia secara rutin sedikit demi sedikit melakukan tarik tunai tabungannya dari rekeningnya agar orang tuanya tidak curiga kenapa Monah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.

Selain untuk keperluan akomodasi, Monah juga membelanjakan sebagian tabungannya untuk membeli peralatan untuk mendaki gunung. Setelah persiapan akomodasi beres, ia pun mempersiapkan fisiknya sebagaimana arahan dari panitia pendakian bersama.

Setiap hari Monah berolahraga, pagi dan sore. Ia melakukan jogging dengan jarak bertahap di mana semakin hari standar jaraknya selalu bertambah. Monah juga melakukan berbagai latihan seperti gerakan kaki, tangan dan pundak setiap harinya.

Melihat perubahan rutinitas pada Putrinya, Tuan Rajo pun merasa senang.

“Alhamdulillah putri ambo sekarang kondisinya terlihat semakin baik. Orang bilang dia mungkin sudah move on, hahahaha…” ucap Tuan Rajo dari balkon rumahnya kepada Mamak Gaek.

“Iya Yuang. Semoga yang terjadi seperti yang terlihat,” jawab Mamak Gaek dengan tatapan sinis kepada Monah dari kejauhan.

“Maksud Mamak?”

“Kita tidak tahu permukaan air sungai yang terlihat tenang itu – apakah karena hanya menggenang saja tanpa ada apapun yang terjadi di dalamnya, ataukah itu adalah sungai dalam beraliran deras. Kita akn benar-benar mengetahuinya hanya dengan mencobanya sendiri ke dasarnya,” ucap Mamak Gaek.

Wajah sumringah Tuan Rajo yang sedang melihat anaknya berolahraga di pekarangannya pun berubah. Wajahnya menjadi serius dan tatapannya kepada Monah sungguh tajam.

“Benar juga apa kata Mamak. Kita harus tetap memantaunya, jangan sampai lengah,” ucap Tuan Rajo.

“Baralek.”

“Hah? Bagaimana Mamak?”

“Ya, pernikahan. Kenapa tak mencobanya? Saya dengar salah satu anak gubernur kita menyukai Monah. Dan kalau pernikahan itu terjadi bukankah bisa memperkuat posisi Yuang di kancah politik?” ucap Mamak Rajo.

Kedua lelaki itu pun saling pandang sambil memicingkan mata dan sedikit sunggingan di tepi bibir mereka.

“Politik dinasti. Ya! Hahahaha… Betul-betul cemerlang ide Mamak,” ucap Tuan Rajo lalu menggeleng-geleng gembira.

*

Waktu pun berlalu. Lusa adalah hari keberangkatan Monah. Rencana Monah masih tersimpan dengan sangat rapi. Bahkan teman-teman maupun pengasuhnya tidak mengetahuinya.

Malam ini Monah dan keluarganya sedang makan malam bersama. Di sana ada adik-adik Tuan Rajo juga sepupu-sepupu Monah.

“Sayang, Ayah lihat semakin hari kamu semakin terlihat bersemangat. Olahraga pagi dan sore, mengurusi tanaman-tanaman, melakukan hobimu dengan bunga-bunga indah itu. Ayah senang sekali melihatnya Sayang,” ucap Tuan Rajo sambil menyantap makan malamnya di depan sebuah meja panjang besar.

“Oh, itu… I-iya Ayah. Hemm…” Monah mengukir senyum yang dipaksakan.

“Sepertinya putri Ayah sudah siap menyambut jenjang kehidupan ke depannya.”

“Jenjang kehidupan ke depannya? Maksud Ayah? Oh, ya… Emh… Tapi Monah belum tertarik untuk bekerja Yah,” jawab Monah.

“Bekerja? Hahaha… Kamu tidak perlu memikirkan itu. Kita berasal dari keluarga yang berkecukupan jadi, ah… tidak perlu pusing dengan masalah pekerjaan,” balas Tuan Rajo.

“Maksud ayahmu ini bukan itu Mon. Menikah, itu maksudnya,” ucap salah satu bibi Monah.

“Apa? Ayah mau menikah lagi? Iya Ayah?” tanya Monah.

Paman, bibi dan ayah Monah saling beradu pandang. Beberapa tersenyum dan ada pula yang cekikikan.

“Bukan begitu. Kamu yang menikah Monah, bukan ayahmu ini,” sambung salah seorang paman Monah.

“Ayah?” Monah heran.

“Ya. Lihatlah dirimu Sayang. Apa yang membuatmu untuk menundanya?” ucap Tuan Rajo.

“Tapi Akak Mon apa sudah benar-benar move on dari mantan pacarnya?” celetuk salah satu sepupu Monah.

“Huss!”

“Aw,” sepupu Monah diinjak kakinya oleh ibunya. Ia diminta untuk tidak bicara seperti itu.

Suasana ceria mendadak memudar. Orang-orang di ruangan itu tahu apa yang terjadi dengan Monah beberapa waktu lalu. Hal traumatis itu seharusnya tidak kembali dibahas.

“Amalsyah,” celetuk Tuan Rajo.

“Hah?” Monah heran.

“Salah satu anak gubernur kita. Dia tertarik dengan kamu Sayang. Lusa kita akan melakukan pertemuan dengan keluarga mereka. Jangan sampai kamu mengecewakan Ayah,” ucap Tuan Rajo dengan mimik serius.

“A-apa? Kenapa Ayah tidak bertanya dulu dengan Monah? Monah tidak mau dijodoh-jodohkan seperti ini Ayah!” jawab Monah.

Salah satu bibi Monah yang duduk dekat Monah mengekus lengan gadis itu. Wajahnya mengisyaratkan agar Monah menurunkan egonya di depan ayahnya itu.

“Ayah sudah memutuskan pertemuan itu. Kamu tidak boleh mengacaukannya Monah! Jangan kamu bela egomu sendiri lalu membuat harga diri keluarga kita jatuh, apalagi di depan umum. Karena setiap yang kamu lakukan bahkan katakan di depan mereka akan menjadi sorotan masyarakat. Ayah tidak mau kamu mengacaukannya!”

“Tapi Ayah…”

“Persiapkan dirimu untuk pertemuan itu,” ucap Tuan Rajo sembari mengelap mulutnya dan bersiap meninggalkan meja makan itu.

Bibi Monah pun kembali memperlihatkan isyarat di wajahnya agar Monah tenang dan tak perlu membantah.

“Tapi Etek…”

Tuan Rajo pun meninggalkan meja makan itu dengan raut wajah sedikit kesal.

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

wah Monah mau kabur nih 😣

2024-01-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!