Monah dan Zainal bertemu di jalan belokan menuju sekolah Monah.
“ZAIN…”
Monah memanggil sambil melambaikan tangan ketika Zainal baru saja turun dari angkutan kota.
Zainal pun menghampiri Monah dengan langkah cepatnya dan sesekali melirik ke sekitarnya seakan menghindari keberadaan seseorang.
“Mon, kamu yakin mau bolos sekolah?” ucap Zainal yang sedang menggunakan sweater untuk menutupi seragam sekolahnya.
“Halah, seperti belum pernah bolos saja kamu Zain,” balas Monah yang sudah berganti pakaian tidak lagi menggunakan seragam sekolah.
“Kamu sudah ganti baju…”
“Iya, di sana… Ayo!” ungkap Monah sambil mengajak Zainal menuju sebuah warung.
Setelah sama-sama tidak menggunakan seragam sekolah, mereka berdua pun berangkat menggunakan dua buah ojek motor. Saat Monah sedang dibonceng, tukang ojek itu pun bercakap-cakap dengannya.
“Adik mau ngapain ke Singgalang?”
“Mau naik Pak.”
“Hanya berdua?”
“Memangnya kenapa Pak?”
“Saran saya lebih baik Adik membatalkan niat Adik untuk naik Singgalang. Ada tempat yang ketika kita baru naik kita disambut dengan tempat angker. Kalau hanya berdua itu akan sangat berbahaya Dik,” ungkap tukang ojek itu.
“Tempat angker? Masa sih Pak?”
“Iya. Banyak pendatang yang tidak tahu. Mereka tahu ketika sudah sampai di lokasi. Kalaupun bertemu dengan petugas polhut biasanya mereka hanya diberikan wejangan secara umum saja. Saya punya keluarga yang orang asli sana tahu betul bahwa ada bagian di kawasan itu yang sebenarnya tidak patut untuk dikunjungi orang luar,” jelas tukang ojek itu.
“Ada apa dengan tempat itu Pak?”
“Saya juga agak segan menceritakannya, takutnya kabar ini kalau tersebar bisa mematikan pariwisata di sana. Sama seperti masyarakat lain di sana juga. Jadi mereka di sana lebih banyak melarang demi kebaikan bersama daripada menceritakannya.”
“Oh seperti itu ya Pak.”
“Makanya saya minta Adik untuk membatalkan rencana kalian berdua.”
“Oh, sebenarnya kami berduanya hanya dari sini saja Pak. Di sana kami sudah janjian dengan rombongan yang lain.” Monah berbohong, tentu saja. Ia tidak ingin rancananya gagal.
“Syukurlah kalau begitu. Saya kira hanya berdua, rupanya dengan rombongan. Ada berapa orang Dik rombongannya?”
“Emh… sepuluh Pak. Ah, iya sepuluh orang. Hehe…”
“Baiklah. Ramai juga ternyata. Tapi ngomong-ngomong Dik, wajah Adik ini seperti tidak asing.”
Monah mulai kikuk. Ia tidak ingin identitasnya sebagai anak walikota terungkap. Monah sampai menggunakan topi dan masker tapi tak sadar Monah menurunkan maskernya saat berbicara dengan tukang ojek itu di awal tadi.
“Ah, mungkin Bapak salah lihat saja. Kita kan belum pernah bertemu Pak. Lagipula wajah orang sekilas kadang terlihat mirip-mirip,” Monah berkilah.
“Ah, tapi serius Dik. Wajah Adik ini…”
“Sudahlah Pak. Mungkin hanya perasaan Bapak saja.”
Monah dan Zainal pun sampai di lokasi. Kali ini Monah benar-benar berhati-hati dalam berkomunikasi dengan orang. Bahkan suaranya ia sembunyikan, ia lebih sedikit berbicara dan menyuruh Zainal saja yang berkomunikasi dengan orang lain.
Di perjalanan mereka, Monah pun bercakap-cakap dengan Zainal. Langkah Monah sangat tergesa-gesa.
“Mon, pelan-pelan saja jalannya. Nanti kamu capek,” ucap Zainal.
“Aku sudah tak sabar untuk mendapatkan bunga langka itu Zain,” jawab Monah.
“Bukannya apa-apa, kamu kan belum pernah naik gunung seperti ini. Kakimu itu belum terbiasa, kamu bisa cedera kalau jalanmu seperti ini. Orang kalau sudah kelelahan sudah tidak fokus lagi kalau berjalan.”
“Halah, kamu tidak perlu berlebihan begitu mengkhawatirkan aku Zain.” Monah pun melaju meninggalkan Zainal.
“MON! MON… TUNGGU MON!” Zainal mengejar Monah.
Tanpa mereka sadari, mereka baru saja melewati pohon dengan batang berdiameter besar. Di sana ada lingkar kayu cekung yang bentuknya menyerupai wajah. Seperti ada kepala manusia tersembunyi di sana. Wajah tersembunyi itu melirik memperhatikan Monah dan Zainal.
Wajah itu membukakan rongga mulutnya. Lubang itu menganga seperti mulut jasad manusia dengan rahang keduanya sudah tidak saling terkait lagi, menganga sangat lebar. Terdapat lendir-lendir hitam menetes dari langit-langit rongga mulut itu. Namun, kulit kayu kering yang menyerupai batang-batang tali di permukaan menyamarkan bentuk yang menyeramkan itu.
Tak lama kemudian Monah kelelahan. Kali ini pergerakan mereka berdua sangat lambat. Mereka lebih banyak berhentinya.
“Sudah kuduga,” gerutu Zainal.
“Menyebalkan sekali. Bukannya menyemangatiku kamu malah meledekku seperti itu!” ucap Monah.
“Bukan meledek Mon, tapi kalau begini terus kapan sampainya?”
Monah merajuk. Ia berbalik badan dan tak berbicara dengan Zainal. Melihat hal itu Zainal ikut berbalik sehingga mereka saling membelakangi. Zainal pun jadi kesal melihat tingkah Monah.
Tanpa mereka sadari, seekor ular berwarna hijau perlahan turun dari dahan menuju tas punggung Monah. Ular itu merayap dan punggung Monah mulai merasakan pergerakannya.
“Zain! Jangan ganggu aku!” ucap Monah masih memunggungi Zainal.
“Memangnya apa yang…” Zainal berbalik dan ia terperanjat melihat ular di punggung Monah.
“Ular Mon! Jangan bergerak!”
Monah nyaris melompat, tapi ia menahan diri. Seluruh tubuhnya gemetaran, dari keningnya bercucuran keringat dingin.
Zainal mengambil sebatang kayu dan pelan-pelan ia menyingkirkan ular itu. Ia memindahkannya dengan gerakan yang sangat halus. Ular itu mendesis lalu terdengar suara lirih perempuan. “Pergi kalian dari sini!”
Ketika sudah agak jauh dari Monah, ular itu pun dilempar oleh Zainal. Anehnya mereka berdua tidak melihat ular itu jatuh ke tanah. Ular itu menghilang begitu saja.
Monah dan Zainal tersengal-sengal napasnya, mereka memendam panik. Setelahnya mereka berdua pun saling beradu pandang. Monah segera bangkit berdiri, ia menarik Zainal agar segera pergi meninggalkan tempat itu.
Terengah-engah mereka berlari lalu mereka kembali berhenti untuk beristirahat. Kali ini tempatnya sedikit terbuka. Keadaan dirasa lebih aman karena seluruh tempat bisa dipantau dengan mata, cahaya matahari masuk tanpa ada yang menghalangi.
“Kopi, Zain, kopi…” ucap Monah. Mereka pun menenangkan diri di tempat itu.
“Kamu dengar kabar bahwa di sini ada tempat angkernya?” tanya Monah lirih. Zainal menggaruk kepala, ia tampak kikuk.
Tak ingin menunggu Zainal yang tak juga menjawab pertanyaannya, Monah kembali berbicara.
“Ular tadi… gaib sekali,” lanjutnya.
“Mon…” Zainal menepuk bahu Monah. “Kita tidak perlu terlalu memikirkannya. Terkadang hal-hal sepeti itu disetir oleh pikiran sendiri, jadi tergantung persangkaan saja sebenarnya.”
Monah begitu percaya dengan Zainal. Bagi Monah Zainal adalah orang yang banyak pengalaman dan punya kemampuan untuk bertahan di alam bebas. Perkataan Zainal pun akhirnya bisa membuat Monah tenang.
Pencarian bunga pun dimulai. Zainal dengan saksama memperhatikan pohon-pohon yang ada dan ia juga menjelaskan tempat-tempat yang memungkinkan ada bunga anggrek hutan di sana.
“Hihihihihi…” terdengar suara cekikikan yang mengerikan. Monah menempelkan tubuhnya pada Zainal, ia ketakutan.
“Kuntilanak, Zain,” bisiknya.
Zainal memperhatikan gadis yang bersandar padanya lekat-lekat. Mata Zain mengarah pada leher kemudian turun ke bagian tubuh Monah yang menyembul di dadanya. Zainal menelan ludah. Ia pun segera menyadarkan diri dari lamunannya.
“Musang! Itu suara musang kalau lagi musim kawin,” ucap Zainal.
“Kamu yakin Zain?”
“Iya. Itu hanya suara musang.”
“Bukan kuntilanak?”
Zainal tersenyum. “Sudah kubilang jangan memikirkan yang aneh-aneh.”
Sekelebat asap setinggi manusia tiba-tiba ada di belakang Zainal. Monah sibuk melihat ke arah lainnya sedangkan Zainal hanya menatap tubuh Monah, sehingga mereka berdua tidak menyadari kehadiran asap itu.
Asap itu membisiki Zainal. Zainal jadi semakin ingin menyentuh tubuh Monah lebih jauh lagi.
“Sudah lama aku memendam rasa kepada Monah. Mungkin ini saatnya,” ucap Zainal dalam hati.
Saat Monah menoleh ke arah Zainal rupanya wajah Zainal sudah sangat dekat.
PLAK
“Tolol!” ucap Monah setelah menampar Zainal. Asap misterius itu hilang seketika.
“Ih, kamu ada masalah apa sih? Yang ada kamu yang nyosor, kok malah saya yang kena!” balas Zainal mengada-ada.
“Eh? Iyakah?” Monah kikuk.
“Ada-ada saja kamu Mon. Sakit tahu!”
“Emh… kalau begitu maaf ya… Maaf?” pinta Monah sambil mengelus pipi Zainal.
Zainal pun menangkap tangan Monah, mata keduanya pun beradu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
waduh 😣
2023-12-30
0