Hari telah semakin berganti. Monah sedang duduk di depan meja riasnya dalam kamar. Ia tengah menyisir rambut panjangnya yang lurus dan sedikit berombak. Hal itu membuat rambut hitam Monah terlihat bervolume dan berkilau di bawah sorot lampu kamar.
“Besok adalah hari keberangkatanku ke Gunung Merapi itu. Aku sudah tak sabar bertemu denganmu kembali Abang Rustam,” ucapnya dalam hati.
“Bukankah ayahmu telah mempersiapkan perjodohanmu besok malam?” Seseorang bergaun putih dengan wajah ayu tapi sayu sedang berdiri di sisi Monah. Sosok itu terlihat sedikit transparan dan bercahaya.
“Ibu…” Mata Monah berkaca-kaca memandangnya dari depan pantulan cermin.
“Aku memang anak yang tak berbakti. Aku tahu itu. Maafkan aku. Duhai, haruskan aku membatalkan semua rencanaku?” lanjutnya. Monah lalu menunduk, memperhatikan kedua tangannya yang tengah ia pangku di atas pahanya. Air matanya menetes jatuh di atas punggung tangannya itu.
Tanpa Monah tahu sosok gaib itu tersenyum lebar dan semakin lebar. Senyuman itu menjadi sangat mengerikan ketika mulut sosok itu melengkung membelah wajahnya sampai ke telinga.
Ketika Monah kembali meluruskan wajahnya untuk memandang pantulan cermin di depannya, senyuman sosok gaib itu pun kembali tampak normal. Tidak mengerikan lagi.
“Terkadang cinta memang membutuhkan pengorbanan Sayang,” ucap sosok yang wajahnya menyerupai ibu Monah itu.
“Pengorbanan?” tanya Monah lalu ia menatap kosong benda di atas meja.
“Cinta…” lanjutnya sambil melamun.
“Ya, Cinta! Aku tidak mencintai laki-laki yang dipilihkan ayah untukku! Aku mencintai Bang Rustam! Aku akan…”
Ketika Monah hendak meneruskan kata-katanya sambil kembali menatap sosok gaib itu, ia heran karena sosok itu sudah menghilang. Monah sempat celingukan mencari kehadiran sosok itu di sekitarnya, tapi tidak ada yang ia temukan dari pencariannya itu.
Monah lalu menatap kedua matanya sendiri dari pantulan cermin. “Aku mencintai Bang Rustam. Aku akan melakukan apapun untuk mengejar cintanya! Persetan dengan perjodohan itu!”
Monah pun menyisir rambutnya kembali dengan gerakan yang cepat. Kini ia tampak begitu emosional. Monah pun meletakkan sisirnya di atas meja dan bangkit menuju tempat tidur. Diliriknya barang-barang yang telah ia persiapkan untuk dibawanya besok pagi-pagi buta. Sebuah tas keril gunung, sepatu, jaket, topi dan satu stel pakaian untuk dipakainya besok.
Monah pun meninggalkan meja rias itu. Ia hendak beristirahat. Saat Monah sudah jauh dari meja rias itu setetes darah kental menetes ke atas tempat duduk yang baru saja ia tempati. Ternyata sosok gaib itu tengah menempel di langit-langit. Wajahnya hancur berdarah-darah, matanya putih tanpa pupil, rambutnya tergerai seperti tirai yang mengelilingi wajah mengerikan itu.
Ini adalah sosok gaib yang keluar melalui celah yang sama saat Monah keluar dari dunia gaib di hutan. Ia ternyata berhasil membuntuti Monah sampai sejauh ini. Sosok ini pula yang selalu membisiki Monah sehingga Monah memiliki kondisi emosional yang tidak stabil, cenderung kasar, berbeda dengan dirinya yang dulu.
Sosok ini pula yang mengarahkan Monah agar bisa bertemu dengan ibu-ibu pedagang kue itu sehingga Monah bisa mendapatkan informasi yang sangat detil agar ia pergi ke Gunung Merapi. Lalu Monah bisa melihat sosok pocong di warung itu tentu saja akibat kedua matanya yang dihinggapi sosok wanita mengerikan ini.
*
Pagi pun tiba. Jam 4 subuh Monah sudah hampir selesai menyiapkan diri untuk berangkat. Ia kini tengah duduk di atas kasur sambil mengunyah sepotong roti. Ia mengunyah dengan kasar, begitu buru-buru. Kalau perlu ia tak mengunyahnya, hanya menggigitnya dan menelannya kalau bisa.
Setelah semua persiapan selesai, Monah mulai membuka balkon dengan sangat pelan. Ia menunduk dan mengintip keadaan sekitar. Suasana udara masih begitu dingin, begitu menggigit. Tapi, Monah sudah melakukan hal ini berulang-ulang, sudah biasa baginya. Sebagai upaya simulasi atau latihan sebelum hari ini tiba.
Monah keluar dan meniti tepian dinding dengan hati-hati. Dari jauh hari ia telah menyiapkan tali yang ia sembunyikan dalam keadaan telah terpasang untuk membantunya turun dari kamarnya di lantai dua menuju pekarangan.
Monah melakukannya dengan mulus, ia sudah berada di pekarangan. Monah pun lanjut mengendap-endap menembus halaman belakang dan keluar dari sana melalui kebun di luar pagar belakang rumahnya.
Monah pun berjalan cepat menembus kebun yang kondisinya serimbun hutan. Dibantu dengan senter kecil di genggamannya, di mana cahaya senter itu bisa menyorot sangat terang atau sangat jauh melampaui bentuknya yang sangat kecil. Namun Monah menggunakan pencahayaan redup untuk melindungi dirinya agar tidak ketahuan orang.
Sosok-sosok gaib mengerikan ada di kanan kiri jalur yang ia lewati. Mereka tampak hanya menonton Monah begitu saja. Diri Monah terlindungi ‘sesuatu’ sehingga ia tidak menyadari apalagi melihat sosok-sosok mengerikan itu. Ada pocong, genderuwo, siluman-siluman kera, arwah-arwah penasaran berpakaian tentara, makhluk-makhluk bunian. Sosok-sosok itu silih berganti Monah jumpai.
Permukaan kulit Monah mulai bergidik saat ia hendak meninggalkan kebun itu. Dengan penasarannya maka Monah membalikkan tubuh untuk melihat apa yang ada di belakangnya.
Mata Monah membulat gemetaran. Ia melihat semua sosok itu dengan sangat jelas. Semua sosok itu memperhatikan Monah seakan mengucapkan selamat jalan untuknya.
Monah menutup mulutnya kuat-kuat dengan tangannya, air matanya menetes. Sebisanya ia menahan diri untuk berteriak, sebab Monah sadar kalau ia berteriak maka pelariannya ini akan ketahuan orang. Monah pun mengatur napasnya dan segera berbalik. Ia mempercepat langkah kakinya meninggalkan tempat itu.
“Jadi selama ini aku lewat-lewat di tempat barusan mereka ada di sana? Aku jadi bahan tontonan mereka? Sialan!” gerutunya.
Monah terus berjalan, ia menembus perkampungan, sawah bahkan pemakaman dengan jalur potong kompas yang beberapa kali ia coba sebelumnya. Saat ada orang kampung yang hendak lewat, Monah dengan cekatan bersembunyi. Ia melakukannya sampai tiba di jalan aspal besar yang jauh dari rumahnya.
Monah pun melanjutkan perjalanannya dengan ojek motor yang ia pesan secara online lalu mobil yang juga ia pesan secara online. Monah pun sampai di bandara.
Dengan leganya Monah telah melakukan semua prosedur keberangkatan, ia kini dapat dengan tenang duduk di ruang tunggu. Monah duduk sambil membolak-balikkan ponselnya di tangannya. Ponsel yang dalam keadaan mati. Ia sengaja mematikan ponselnya itu.
“Hapenya lowbet ya? Kenapa tidak dicas saja? Atau jangan-jangan lupa bawa charger? Mau saya pinjamkan?” ucap seseorang yang tanpa Monah sadari tengah duduk di belakang Monah.
Kursi panjang itu berjajar dalam dua sisi. Orang-orang bisa duduk dalam keadaan saling memunggungi di sana.
Seseorang lelaki asing itu membuat Monah segera menurunkan topinya, ia pun sedikit menunduk. Hal itu ia lakukan ke semua orang yang kira-kira akan melakukan kontak dengannya.
Monah menggeleng menjawab tawaran lelaki itu. “Kau ni seperti anak hilang, sendirian. Tapi tanpa kau sadar sangat ramai orang yang sedang mengawalmu. Hahahaha…” Kata-kata itu terlontar dengan suara yang berubah. Suara satu orang menjadi berat lalu menjadi suara beberapa orang sekaligus. Terdengar sangat menyeramkan.
Monah gemetar. Tapi ia memberanikan diri untuk menoleh. Ketika menoleh, ia tidak menemukan siapapun duduk di dekatnya. Kursi panjang ini kosong di dua sisinya. Orang-orang duduk di kursi yang berbeda dengan jarak yang berjauhan.
“Sial!” gerutu Monah kesal di tengah gemetarannya karena takut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Seraaaam sekali 👻👻👻
2024-01-05
0