Menangkap kehadiran Panglima Peturun di antara orang-orang desa itu, tubuhku pun kembali bergerak. Kulepaskan kepala balita yang sejak tadi kumainkan. Aku pun kembali melompat-lompat di kanopi pohon menjauhi tempat itu.
Lelaki itu pun melesat mengejarku dari bawah. Ia berlarian mengejarku, tidak menunjukkan pergerakannya yang tak wajar di hadapan orang-orang desa itu.
Ia terus mengejarku dengan berlarian di lantai hutan. Tiba di tempat yang sudah tak ada warga desa lagi, ia pun melompat tinggi, melayang menjangkauku.
“Lepaskan tubuh tak berdosa ini wahai iblis!” ucapnya sambil menarik pakaianku di bagian punggung.
Ia menyentakku hingga aku jatuh dan terjerembab di atas rimbunnya semak belukar. Menatap kedua mata lelaki ini, sepertinya aku mulai merasakan kembalinya pupil-pupil di kedua mataku. Bola mataku tak lagi sepenuhnya putih, aku bisa melihat sosoknya dengan jelas.
Aku rasa Nek Monah ketakutan dengan sosok lelaki ini. Ia mengembalikan kesadaranku, tapi aku dapat merasakan bahwa ia masih bersembunyi di dalam tubuhku.
Aku pun mendekap lelaki gagah ini dengan serta-merta. Tangisku pecah, ketakutanku membuat dekapanku gemetar.
“To-tolong… Tolong aku Bang,” rengekku.
Lelaki itu memperhatikanku hingga ia benar-benar yakin bahwa aku telah sadarkan diri.
“Apa yang merasukimu wahai adik?” ucapnya menyambut dekapanku.
Aku sesenggukan, tak bisa berkata-kata lain untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku. Kata-kata yang bisa keluar dari mulutku hanya permintaan tolong.
“HEI, SIAPA DI SANA?” Sebuah teriakan lelaki lainnya mengejutkan kami. Aku menoleh mencari sumber suara itu, tapi tiba-tiba Panglima Peturun berubah menjadi seekor macan kumbang.
“Ya ampun…” Salah satu lelaki berujar setelah menemukanku. Mereka datang berlima.
Macan kumbang itu menunjukkan taringnya ke arah para lelaki yang baru datang itu lalu pergi meninggalkan kami. Ia melesat kencang menjauh dan memasuki rimbunan perdu di tempat yang jauh sana. Ia pun menghilang.
Kelima lelaki ini berpakaian tradisional seperti para prajurit kerajaan.
“Kasihan sekali dia.”
“Hei, apa kau baik-baik saja?”
“Sepertinya dia terluka. Lihatlah semua darah itu.”
“Pasti ulah macan tadi.”
Perasaanku bercampur aduk. Ada kelegaan yang kurasakan karena aku merasa aman telah ditemukan oleh mereka. Namun, aku ragu dan takut juga. Aku tak mengenal mereka, aku takut mereka melakukan hal yang tidak-tidak kepadaku.
“Kita bawa saja.”
“Ya, lihatlah. Dia tidak bicara apapun. Sepertinya dia mengalami syok atau semacam trauma.”
“Ya, kita bawa saja.”
Aku sempat menolak untuk disentuh.
“Tidak apa-apa Dik. Adik ini tersesat. Kami mencoba membantu Adik. Mari ikut.”
“Ya, mari ikut kami Dik. Tidak perlu takut.”
Aku pun dibawa ke sebuah peradaban asing. Pakaian orang-orang di sini begitu kuno. Ini pasti para warga desa dari sebuah kerajaan.
Aku duduk dibonceng di atas seekor kuda dengan empat orang lainnya juga mengendarai kendaraan yang sama. Para warga desa memperhatikanku lekat-lekat ketika aku lewat. Ada pula di antara mereka yang berbisik-bisik.
Aku pun sampai di dalam sebuah istana yang bentuknya seperti rumah tradisional yang sangat besar.
Aku pun dihadapkan pada sesosok lelaki yang dari penampilannya sepertinya ia adalah penguasa di sini.
“Kasihan sekali. Kamu pasti orang jauh Nak. Kamu tersesat di sini bukan?” ucapnya khawatir.
“Tinggallah di sini hingga keadaanmu membaik,” lanjutnya.
Aku pun diarahkan kepada beberapa orang pelayan. Aku dipersilakan masuk ke dalam sebuah kamar. Di sana mereka membantuku membersihkan diri, memberikanku pakaian bersih dan memberi aku makanan dan minuman lalu mempersilakan aku untuk beristirahat.
Sepertinya aku berada di lingkungan yang tepat. Mereka benar-benar menyelamatkanku. Setelah ini, mungkin besok, aku akan minta diantarkan pulang ke rombonganku. Bagaimanapun aku adalah seorang pendaki yang terpisah dari rombongan.
Saat para pelayan mempersilakan aku untuk beristirahat dan hendak meninggalkanku, aku mulai dapat bicara. Traumaku sedikit mereda. Aku menahan salah satu di antara mereka.
“Ma-maaf Bu, sa-saya ada di-dimana?” tanyaku terbata-bata.
“Cah ayu ndak perlu takut. Sekarang cah ayu ada di tempat yang aman,” jawabnya.
“Ta-tapi di-dimana i-ini?” tanyaku kembali.
“Tuan Kalajorang adalah orang yang baik. Cah ayu sekarang ada di dalam perlindungan beliau,” jawabnya ramah.
Mataku membulat. Aku ingat sosok itu. Kalajorang! Sosok yang ada dalam kehidupannya Nek Monah!
“Si Mbok permisi dulu ya cah ayu. Beristirahatlah,” pamit pelayan itu.
Aku masih termangu. Aku hampir tak percaya, ternyata aku ada di tempat ini. Tempat yang kuketahui dari sebuah bayangan film usang serupa mimpi.
Karena kelelahan, aku pun mengikhlaskan tubuhku dan keberadaanku. Aku pun berbaring di ranjang.
*
Aku terbangun dengan serta-merta. Kepalaku berat. Sepertinya aku telah tidur beberapa jam dan ini adalah tengah malam.
Walaupun kepalaku berat, dengan posisi kepala yang miring, aku bangun. Aku merasakan bahwa aku kembali kehilangan pupil di kedua bola mataku. Pergerakanku kembali terasa terseok-seok.
Ada yang kembali menyetir alam bawah sadarku. Aku yakin aku kembali dikuasai oleh Nek Monah, sehingga semua pergerakanku kembali tak lagi dapat kukontrol.
Pandanganku berkelana dan mataku menangkap keberadaan sebuah benda di atas meja. Itu adalah sebuah pisau pengupas buah. Ia berada di antara beberapa buah apel.
Aku meraihnya, lalu aku pun mencoba ketajamannya dengan mengiris sebagian telapak tangan kiriku. Darah mengucur dari sana. Tapi bukannya mengaduh dan sedih, aku justru terkekeh dengan tawa yang mengerikan.
Aku pun berjalan ke luar kamar sambil menyembunyikan sebilah pisau itu di balik punggungku. Aku berjalan dengan tujuan yang mantap, entah ke arah kamar siapa aku berjalan.
“Apa yang kau lakukan di sini Dik?” ucap salah satu penjaga.
“Ya, sudah malam. Kembalilah ke kamarmu. Bukankah kamu butuh istirahat?”
Aku menggeleng.
“Paman Kalajorang,” ucapku sambil menunjuk ke arah sebuah lorong di depan.
Ketiga penjaga itu pun saling berpandangan. Seperti mengerti akan kondisi sesuatu, mereka bertiga pun mempersilakan aku lewat. Ada sesungging senyum cemooh yang terukir di antara mereka.
Apakah baru saja merek berpikiran mesum tentangku?
Aku pun terus berjalan. Aku mengetuk pintu sebuah kamar yang besar. Penjaga di depan pintu itu mencegah ketukanku lebih lanjut dan dia sendiri yang mengantarkan aku masuk.
“Ada apa malam-malam begini datang?” tanya Kalajorang.
Tak ada yang kukatakan saat berhadapan dengannya. Aku hanya menunduk.
Aku meliriknya. Pandangan ramahnya seakan berubah menjadi tatapan yang lancang.
Kalajorang pun memberi isyarat kepada penjaganya agar pergi meninggalkan aku dan dia di kamar itu. Pintu pun ditutup.
Tatapan mesum itu seolah menelanjangiku.
“Sebenarnya niat saya hanya ingin menyelamatkanmu. Saya paham kamu adalah seseorang yang tersesat dan perlu memulihkan diri,” ucapnya.
Ia berjalan berkeliling perlahan sambil memandangiku dengan tatapan yang nakal.
“Tapi sepertinya… Emh… baiklah, tidak ada salahnya kalau…” lanjutnya diiringi dengan kekeh genit atau tawa kecil yang mencurigakan.
Perlahan lelaki itu pun menyentuhku. Lalu aku pun mengambil pisau yang kusembunyikan di balik punggungku. Nek Monah kembali membuatku terlihat tidak normal, seperti kesurupan. Ya, aku memang sejak tadi sedang kesurupan. Hanya saja ia sering membuat kondisiku ini tak disadari orang-orang.
Aku menusukkan pisau ini ke dada Kalajorang dari jarak yang sangat dekat. Aku berhasil melukainya, tapi sayangnya hanya melukai kulitnya dan sedikit dalam ke arah daging dekat tulang dadanya saja. Lukanya tidak membuatnya sekarat.
“Dasar setan! Berani-beraninya kau tumpangi tubuh gadis ini untuk membunuhku!” bentak Kalajorang.
Keributan di dalam kamar itu membuat para penjaga berdatangan. Mereka, sekitar lima orang lalu disusul lagi dengan kedatangan yang lain yang bersiap sedia dari pintu kamar, mereka meringkusku.
Aku meronta-ronta dengan geram, berteriak, semua kondisi yang kukeluarkan adalah selayaknya seseorang yang sedang kesurupan.
Aku dibawa oleh para penjaga menuju tahanan. Tapi di tengah perjalanan aku bisa melepaskan diri. Aku pun kabur dengan sekuat tenaga. Bukan atas kehendakku. Semua pergerakan itu adalah penguasaan Nek Monah. Ia telah meminjam ragaku dan aku tak punya daya apa-apa terhadap tubuhku sendiri.
Aku melayang di kanopi-kanopi pohon menghindari pengejaran para prajurit kerajaan.
Di tengah pengejaran itu aku melihat seekor macan kumbang di bawah sana. Aku pun turun mendekat.
“Tolong aku! Tolong!” pintaku terengah-engah.
Sosok macan itu pun menerkamku lalu tiba-tiba aku dan Panglima Peturun terjatuh, terjerembab di sebuah tempat yang berbeda. Masih di dalam hutan, tapi sudah terhindar dari kejaran para prajurit kerajaan.
Kami jatuh terduduk dalam posisi aku sedang didekap oleh Panglima Peturun. Ia sudah menjelma seperti manusia kembali.
Panglima Peturun menatap kedua mataku dengan tatapan yang aneh. Ia pasti menangkap keanehan dalam diriku, aku bersyukur ia bisa merasakannya.
Lelaki itu pun membuat aku terdorong. “Siapa kau sebenarnya!” bentaknya.
Aku menangkap kehati-hatian dari gerakannya tapi lelaki ini mendekat untuk menghajarku.
“Keluar! Keluar dari gadis ini! Siapa kau?” ucapnya lagi.
Aku ditampar-tamparnya. Beberapa totokan mendarat di punggung dan leherku, membuat aku terkekeh gila. Tawa yang keluar dari mulutku begitu memilukan.
Tangan lincah Panglima Peturun dengan totokan-totokannya membuat aku kembali bisa mengendalikan tubuhku. Aku benar-benar merasakan bahwa aku sudah kembali tersadar.
Nek Monah mewujudkan diri. Ia benar-benar telah keluar dari tubuhku. Aku terbaring lemas. Nenek buruk rupa itu tampak berkelahi dengan Panglima Peturun.
Aku melihat Nek Monah hanya membela diri, pergerakannya bukan penyerangan. Berbeda dengan Nek Monah, Panglima Peturun dengan bengisnya melakukan penyerangan berkali-kali.
Nek Monah di sela-sela penghindarannya dari serangan lelaki itu, ia berkali-kali mencoba menjelaskan sesuatu tapi lelaki itu kelihatan tak peduli. Lelaki itu terus saja menyerang Nek Monah.
Pandanganku lama kelamaan terasa kabur. Rasa lemas di tubuhku sudah tidak dapat kutahan lagi. Aku pun tak sadarkan diri, pingsan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
akhirnya berakhir bahagia 💕💕💕
2024-01-16
0
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
udah tamat ajah, btw enak juga jadi panglima Peturun, bisa balik lagi dgn monah yang cantik, coba kalau monah masih wujud nenek2 jelek masih mau gak kira2..?🤔🤔
2024-01-16
1